Minggu, 24 Oktober 2010

NOBEL EKONOMI 2010 DAN INDONESIA

Oleh Nugroho SBM

Panitia penerimaan Hadiah Nobel telah mengumumkan 3 orang pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomi yaitu Peter A Diamond (70 tahun) seorang profesor di MIT, Dale T Mortensen (71 tahun) seorang profesor di North Western University, dan Christopher A Pissarides (62 tahun) seorang profesor di London School of Economics. Ketiganya dianggap berjasa telah menemukan Model Diamond-Mortensen-Pisarides (DMP) yang bisa menerangkan mengapa di banyak negara termasuk di negara-negara maju pengangguran tetap tinggi meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi.
Selama ini pengangguran dalam teori ekonomi konvensional selalu dianggap sebagai kelebihan jumlah orang yang bersedia bekerja (penawaran tenaga kerja) atas kebutuhan atau permintaan tenaga kerja. Tetapi teori ini gagal menjelaskan mengapa tingkat pengangguran tinggi di negara-negara maju.
Lewat model DMP, ketiga pemenang nobel ekonomi 2010 mencoba menawarkan suatu analisis terhadap pengangguran yang mereka sebut sebagai “Teori Friksi”. Pengangguran terjadi karena gesekan atau friksi yang ditimbulkan oleh berbagai ketidaksesuaian. Pertama, ketidaksesuaian antara harapan para pencari kerja dengan mereka yang membutuhkan tenaga kerja. Akibatnya di satu sisi banyak perusahaan tidak bisa memperoleh karyawan ternaik yang sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi di sisi yang lain banyak pencari kerja dengan ketrampilan dan pendidikan yang tidak mau bekerja karena tidak cocok dengan gaji dan pekerjaan yang ditawarkan.
Dalam hal friksi karena ketidaksesuaian anatara penawaran dan permintaan tenaga kerja ini sebenarnya bagi mereka yang pernah belajar ilmu ekonomi makro bukanlah hal yang baru. Ketidaksesuaian tersebut dalam teori ekonomi bisa disebabkan oleh ketidaksesuaian pendidikan atau ketrampilan antara pencari kerja dengan pendidikan dan ketrampilan tenaga kerjayang dibutuhkan oleh lembaga atau perusahaan. Ketidaksesuaian itu juga terjadi karena ketidaksempurnaan informasi yang terjadi di pasar kerja.
Ketidaksesuaian kedua dalah antara kebijakan pemerintah di sektor keuangan dengan kebutuhan penciptaan lapangan kerja. Pissarides – salah seorang pemenang nobel ekonomi 2010- pernah mengkritik kebijakan pemerintah AS dan banyak pemerintah lain di dunia yang memberi talangan bagi perusahaan-perusahaan keuangan yang hanya bermain di instrumen keuangan yang tidak banyak menyerap tenaga kerja. Sebaliknya perusahaan-perusahaan di sektor riil yang banyak menyerap tenaga kerja tidak mendapatkan akses pendanaan atau dana talangan yang memadai.
Ketidaksesuaian ketiga menyangkut kebijakan ekonomi banyak negara yang memberikan tunjangan atau kupon bagi para penganggur. Kebijakan itu – menurut ketiga pemenang nobel ekonomi 2010- sangat kontraproduktif terhadap upaya pengurangan jumlah pengangguran. Kebijakan tersebut kontraproduktif terhadap upaya penurunan angka pengangguran karena orang meskipun sebenarnya mampu dan ada kesempatan tetapi tidak mau bekerja karena menganggur toh tetap mendapat jaminan dari pemerintah.

Bagi Indonesia
Bagi Indonesia apa yang selama ini dikembangkan oleh ketiga pemenang Nobel Ekonomi 2010 tentulah sangat relevan. Saat ini di Indonesia terdapat sedikitnya 26 juta orang penganggur terbuka (artinya sama sekali tidak bekerja). Yang menarik, sebagian besar penganggur terbuka itu kini makin terdidik. Penganggur terbuka di Indonesia (mereka yang sama sekali tidak bekerja) saat ini menurut tingkat pendidikannya sebagian besar adalah lulusan SMU sebesar 36 persen dan “mengalahkan” mereka yang lulusan SD sebesar 32,74 persen.
Di samping itu penganggur sarjana juga tidak kalah besar jumlahnya yaitu sampai saat ini sebesar 400.000 orang. Meskipun relatif kecil tetapi penganggur dengan tingakt pendidikan sarjana ini tetap mengkhwatirkan karena jumlah sarjana kecil tetapi tingkat penganggurannya cukup tinggi.
Timbul pertanyaan apakah terjadi ketidaksesuaian pendidikan antara pendidikan para pencari kerja dengan pendidikan yang dibutuhkan oleh mereka yang membutuhkan tenaga kerja? Jawabannya adalah ya. Lulusan SMU sebenarnya tidak dipersiapkan untuk langsung mencari kerja tetapi diharapkan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) lah yang sebenarnya dipersiapkan untuk langsung bekerja. Maka sebenarnya ada yang salah di sini. Banyak lulusan SMU yang tampaknya karena ”gengsi” meskipun orangtuanya tidak mampu lebih memilih sekolah di SMU. Ketika lulus SMU mereka tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya kuliah sekarang ini makin mahal (termasuk di perguruan tinggi negeri). Maka memang perlu didorong agar anak didik yang sekiranya tidak mampu lebih memilih SMK sehingga nantinya siap kerja.
Khusus untuk perguruan tinggi, memang perlu introspeksi benarkah kurikulum pendidikannya sudah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasar? Jaman dulu ramai dibicarakan tentang pendidikan yang ”Link and Match” (terkait dan cocok) dengan kebutuhan pasar kerja. Tampaknya hal tersebut perlu dikaji lagi sekarang ini.
Tentang ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah di sektor keuangan dengan kebutuhan penciptaan lapangan kerja juga relevan untuk Indonesia. Berkali-kali pemerintah dan BI melakukan penalangan untuk sektor perbankan – terakhir talangan bagi Bank Century- yang jumlahnya sangat besar. Tetapi pemerintah tidak begitu peduli dengan perusahaan di sektor riil yang banyak menyerap tenaga kerja.
Sedangkan ketidaksesuaian pemberian tunjangan bagi penganggur dengan kebijakan untuk mengurangi pengangguran, juga masih relevan. Sekarang ini pemerintah lebih memilih memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat daripada mencipatakan proyek-proyek padat karya. Meskipun pemberian BLT perlu dalam kondisi darurat tetapi dalam jangka panjang akan membuat orang malas bekerja atau mencari pekerjaan.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

1 komentar:

Nugroho SBM mengatakan...

@profiluii: terima kasih komentar dan kunjungannya.