Selasa, 02 November 2010

APA YANG SALAH DENGAN SBY?

Oleh Nugroho SBM

Gelombang protes dari mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat dalam memperingati 1 tahun pemerintahan SBY- Boediono menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono selama 1 tahun.
Ada yang menyatakan sebenarnya lebih tepat mengatakan peringatan dan ketidakpuasan itu sebagai peringatan 6 tahun pemerintahan SBY dan dengan demikian juga ketidakpuasan terhadap pemerintahan SBY. Pasangan SBY dalam dua periode pemerintahannya memang berganti tetapi dalam sistem presidensial memang tanggungjawab pemerintahan ada pada presiden.

Justru Membaik
Banyak aspek disoroti dalam evaluasi pemerintahan SBY yang menimbulkan ketidakpuasan. Salah satu aspek yang paling dominan adalah aspek ekonomi. Hal yang aneh sebenarnya terjadi dalam aspek ekonomi ini. Dalam pemerintahan SBY beberapa indikator ekonomi justru membaik.
Pertama, pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2008 Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1 persen. Pada tahun 2009 ketika hampir semua negara terkena imbas krisis keuangan yang dipicu oleh krisis keuangan di AS, Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 4,5 persen. Hanya tiga negara yang mampu tumbuh positif di tahun 2009 tersebut yaitu China, India, dan Indonesia.. Pada tahun 2010 ini, pertumbuhan ekonomi ditarget mencapai 5,5 persen dan pada semester pertama 2010 telah dicapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen.
Kedua, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melejit dari 2.502 pada 20 Oktober 2009 menjadi 3.578 pada tanggal yang sama tahun 2010 ini. Indeks Harga Saham Gabungan ini menunjukkan bahwa kepercayaan pemilik modal sangat tinggi sehingga aktivitas perdagangan surat-surat berharga berjalan sangat aktif.
Ketiga, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini juga telah menguat dan stabil pada kisaran Rp 9.000,- per dolar AS. Bahkan akhir-akhir ini nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar AS cenderung menguat ke level yang lebih tinggi. Meskipun hal ini banyak dikeluhkan oleh para eksportir tetapi ada sisi positifnya. Eksportir mestinya sudah harus mulai berpikir untuk menumpukan daya saingnya bukan pada harga tetapi pada hal lain seperti kualitas dan persyaratan lain yang antara lain termuat dalam berbagai ISO.
Keempat, penurunan tingkat kemiskinan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 17,7 persen dari total jumlah penduduk, menurun menjadi 15,4 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2010 menjadi 13 persen. Jika angka tahun 2010 tersebut bisa dipercaya maka ini merupakan rekor angka kemiskinan terendah yang pernah dicapai Indonesia.
Kelima, angka pengangguran juga terus menurun. Kalau pada tahun 2006 pengangguran mencapai 10,28 persen dari total angkatan kerja maka pada tahun 2007 menurun menjadi 9,9 persen, menurun lagi menjadi 8,5 persen tahun 2008, turun lagi menjadi 7,87 persen tahun 2009, dan pada Februari 2010 menjadi 7,4 persen.

Apa yang Salah?
Kalau indikator-indikator ekonomi makro seperti telah diuraikan membaik, mengapa masyarakat tetap tidak puas? Apa yang salah dengan SBY?
Pertama, para pengambil kebijakan ekonomi di pemerintahan harus sadar bahwa yang penting dalam melihat indsikator ekonomi makro jangan hanya kuantitasnya tetapi juga kualitasnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan selalu positif yang ditunjukkan oleh Indonesia belum tentu menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat juga membaik. Yang penting bukan hanya aspek kuantitatif dari pertumbuhan ekonomi tetapi juga kualitasnya.
Pertumbuhan yang berkualitas antara lain ditunjukkan oleh siapa yang menyumbang dan sekaligus menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan kualitasnya bisa gampang dicapai misalnya hanya dengan perintah dari menteri kepada beberapa industri besar untuk menaikkan produksinya sekian persen. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi tinggi akan berguna dan berkualitas jika yang menyumbang adalah para petani dan nelayan kecil, UMKM, dan seluruh elemen masyarakat khususnya mereka yang selama ini tingkat kehidupannya pas-pasan.
Pertumbuhan ekonmi yang berkualitas juga akan terjadi jika yang menyumbang bukannya pengusaha asing melainkan pengusaha nasional. Pertumbuhan ekonomi di Papua mungkin tinggi tetapi disumbang oleh produksi PT Freeport yang pemiliknya orang asing , tenaga kerjanya juga orang asing, hasil produksinya diangkut ke luar negeri, dan keuntungan perusahaan juga ditransfer ke luar negeri.
Yang menyedihkan justru kebijakan ekonomi pemerintah akhir-akhir initidak menunjukkan keberpihakan kepada pelaku ekonomi nasional. Contohnya adalah kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kebijakan ini sudah pasti akan memukul daya saing industri nasional. Contoh lainnya adalah pemberian ijin untuk impor barang jadi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 39/M-DAG/PER/10/2010. Di bidang kesehatan, Menteri Kesehatan yang baru usul untuk memperbolehkan kepemilikan asing 100 persen dalam industri farmasi. Hal ini aneh sebab usul itu akan bertentangan dengan Permenkes Nomer 1010/ tahun 2010 yang mendorong agar obat yang dijual di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri.
Hal kedua, perlu dicermati benar apakah indikator ekonomi makro menampilkan kondisi dan aktivitas di sektor riil (sektor produksi dan perdagangan) ataukah tidak. Indikator IHSG yang meningkat dan membaik tidak mencerminkan bahwa aktivitas di sektor riil juga membaik. Aktivitas di BEI berupa jual-beli surat-surat berharga sama sekali tidak terkait dengan aktivitas ekonomi berupa produksi dan distribusi. Motif utama orang melakukan jual-beli saham adalah murni spekulasi. Dalam tindakan spekulasi itu ”manipulasi” bisa dilakukan. Misalnya bisa saja saham dari perusahaan yang tidak begitu bagus kinerjanya dibuat harganya naik terus karena ulah para pialang atau spekulan. Meskipun hal ini dilarang dalam aktivitas di Bursa Saham, tetapi pengalaman selama ini menjukkan belum pernah ada transaksi-transaksi terlarang di BEI yang sampai ke pengadilan.
Hal ketiga, mengenai data yang dijadikan bahan dasar untuk menyusun indikator makro. Pertanyaan mengenai data yang dijadikan dasar untuk menyusun indikator makro tersebut menyangkut dua hal yaitu definisi dan kulaitas atau validitas data yang bersangkutan. Contoh persoalan definisi ini misalnya definisi tenatng bekerja penuh. Menurut definisi Organisasi Perburuhan International atau International Labour Organization (ILO) orang dikatakan bekerja penuh jika bekerja minimal 40 jam seminggu. Tetapi definisi Indonesia seseorang dikatakan bekerja penuh jika minimal bekerja 1 jam saja selama seminggu.
Tentang kualitas data, kita bisa melihat bahwa banyak data dikumpulkan tidak dengan teknik pengumpulan data yang baik. Kita bisa melihat bagaimana data dari tingkat desa dan kecamatan dikumpulkan oleh para mantri statistik yang karena keterbatasan gaji dan sarana prasarana menjadikan data yang dikumpulkan tidak begitu baik kualitasnya.
Di samping ketiga kritik terhadap indikator makro seperti yang sudah diuraikan perlu juga para pengambil kebijakan ekonomi dengan dibantu oleh para ahli dari perguruan tinggi untuk menyusun indikator-indikator ekonomi baru yang lebih realistik. Artinya tidak terlalu makro atau global tetapi lebih mencerminkan kondisi masyarakat senyatanya (lebih mikro). Misalnya saja indikator soal apakah masyarakat bisa menyekolahkan anaknya, apakah harga-harga kebutuhan dasar mampu dijangkau, apakah upah minimum benar-benar mampu mencukupi kebutuhan minimum para pekerja, dan sebagainya.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Tidak ada komentar: