Jumat, 19 November 2010

PENCABUTAN SUBSIDI TURUNKAN DAYA SAING HANYA MITOS

Jumat, 19 Nov 2010 15:17:25 WIB | Oleh : Achmad Zaenal
ANTARA - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai pengurangan atau pencabutan subsidi bahan bakar minyak bakal mengurangi daya saing produk nasional hanya mitos karena ekonomi biaya tinggi lebih banyak bersumber dari beragam pungutan.
Ia ketika diminta pendapatnya di Semarang, Jumat, mengatakan sejumlah negara yang tidak menerapkan subsidi harga BBM tetap memiliki daya saing tinggi karena mereka mampu mengelola birokrasi yang bersih, efisien, dan transparan.

"Subsidi harga BBM bisa saja dicabut, namun birokrasi (perizinan) harus disederhanakan. Berbagai pungutan liar (red tape) yang saat ini bisa mencapai 10-30 persen dari ongkos produksi, wajib dihilangkan," katanya.

Ia mengingatkan berbagai pungutan itulah yang secara riil lebih menganggu daya saing dibanding masalah lain, misalnya, pengurangan atau pencabutan subsidi harga BBM.

Menurut dia, selama ini subsidi harga BBM lebih banyak dinikmati kelompok menengah atas yang memiliki daya beli tinggi. Segmen ini sebenarnya lebih dari sekadar mampu untuk membeli BBM nonsubsidi, katanya.

APBN 2010 mengalokasikan anggaran subsidi BBM Rp88,8 triliun dengan kuota volume dari semula 36,5 juta kiloliter, menjadi 38 juta kiloliter dalam APBN Perubahan 2010.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan dari plafon 36,5 juta kiloloter, kemungkinan konsumsi BBM bersubsidi akan terlampaui sampai 38 juta kiloliter meski anggarannya masih memadai.

Subsidi harga BBM dikhawatirkan bakal melonjak bersamaan dengan melonjaknya penjualan sepeda motor dan mobil, yang hingga akhir 2010 diperkirakan masing-masing terjual hingga tujuh juta dan 750 ribu unit.

Setelah Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi menakjubkan selama tiga tahun terakhir di tengah krisis ekonomi dahsyat yang melanda AS dan Eropa, menurut Nugroho, inilah momentum terbaik untuk mengkaji ulang subsidi harga BBM.

Pengurangan atau bahkan pencabutan subsidi BBM selama ini selalu mendapat penentangan dari berbagai kelompok, termasuk kelas menengah yang memiliki memiliki saluran dalam mengartikulasikan kepentingannya.

"Kebijakan pengurangan subsidi harga BBM memang ujian berat bagi pemerintah, soalnya jika tidak pandai-pandai mengelola golongan menengah, maka akan ada gejolak. Semua revolusi biasanya digerakkan golongan menengah," kata Nugroho.

Ia mengatakan, anggaran yang diperoleh dari pengurangan subsidi harga BBM sebagian besar nantinya harus dimasukkan dalam pos belanja dengan sasaran kelompok bawah, misalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan modal usaha.

Bentuknya, kata Nugroho, bisa berupa kompensasi langsung dalam wujud bantuan langsung tunai maupun penggratisan biaya pendidikan dan kesehatan untuk mereka yang miskin. Sistem subisidi yang tepat sasaran harus dibarengi dengan pengawasan ketat, misalnya, dengan sistem kupon.

Menurut dia, selama ini komunikasi politik menyangkut kebijakan populis tidak dibarengi dengan teladan konkret para petinggi sehingga kebijakan itu malah mendapat penentangan, seperti menaikkan harga BBM atau tarif dasar listrik.

"Komunikasi politik yang baik, tentu saja dengan perbuatan dan contoh nyata, misalnya, selalu membeli BBM nonsubsidi atau tidak membagikan kupon subsidi kepada kerabatnya," demikian Nugoroho SBM. m


tersedia di http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=37524

Tidak ada komentar: