Minggu, 21 November 2010

HUBUNGAN EKONOMI INDONESIA-AS PASCA KUNJUNGAN OBAMA

Oleh Nugroho SBM
Jarang sekali diungkap dalam pemberitaan media massa soal kepentingan ekonomi AS terhadap Indonesia dalam kunjungan Presiden Obama baru-baru ini. Padahal mungkin sekali dalam pertemuan tertutup antara presiden SBY dan Obama, kepentingan ekonomi ini dibicarakan dengan sangat serius.
Kepentingan ekonomi AS tersebut adalah bagaimana meningkatkan kembali peran ekonomi AS ke Indonesia . Sebagaimana diketahui neraca perdagangan Indonesia-AS selalu surplus untuk Indonesia sejak tahun 2005. Pada tahun 2009 surplus tersebut berjumlah 3,7 miliar dolar dan selama periode Januari-Agustus 2010 surplus 2,8 miliar dolar.
Data yang lain menunjukkan bahwa impor Indonesia dari AS akhir-akhir ini juga lebih kecil dibanding impor Indonesia dari negara-negara lain. Berdasarkan data statistik bulan November 2009, impor nonmigas Indonesia dari AS menempati urutan keempat dan hanya mencapai 7,91 persen dari total impor nasional, jauh di bawah China yang sebesar 17,92 persen, disusul Jepang 13,47 persen dan Singapura 10,92 persen.
Melemahnya peran ekonomi AS di Indonesia ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, gempuran krisis keuangan yang dimulai dari AS dan menglobal yang sekarang belum sepenuhnya berakhir. Kedua, adanya ACFTA (ASEAN China Free Trade Area) yang membuat dominasi ekonomi China di ASEAN umumnya dan Indonesia pada khususnya semakin menguat. Karena itu, kunjungan Presiden Obama ke Indonesia salah satu agendanya adalah untuk meningkatkan ekspor negaranya Ke kawasan ASEAN, khususnya Indonesia. Hal tersebut dinyatakan sendiri oleh Obama sebelum kunjungannya bahwa jika AS hanya meningkatkan sedikit nilai persen ekspornya ke ASEAN, maka hal itu artinya ratusan, ribuan, mungkin jutaan lapangan pekerjaan di AS akan bertambah.

Bagaimana Caranya?
Bagaiamana cara AS memingkatkan kembali ekspor produk dan jasanya ke Indonesia? Selama ini memang ada beberapa cara yang digunakan AS untuk memasarkan produk dan jasanya ke berbagai negara. Pertama, lewat paket-paket utang luar negeri yang terikat syarat-syarat tertentu (Tied Loans). AS baik secara bilateral maupun lewat lembaga-lembaga donor akan memberi bantuan dan utang luar negeri dengan syarat tertentu misalnya tenaga asing dan bahan yang digunakan dalam proyek dan program yang didanai dengan utang luar negeri harus berasal dari AS.
Kita ingat pola ini dalam kasus bantuan untuk program keluarga berencana (KB). Dalam paket bantuan untuk program KB tersebut salah satu alat kontrasepsi yang dipakai adalah susuk KB yang berasal dari pabrik salah satu negara pemberi bantuan untuk Indonesia. Yang menjadi masalah adalah ternyata susuk KB tersebut di negara salnya sudah tidak boleh digunakan karena alasan kesehatan. Rupa-rupanya perusahaan pembuat susuk tersebut tidak mau rugi dan melobi pemerintahnya untuk memasukkan produknya dalam paket-paket bantuan luar negeri terutama ke negara-negara sedang berkembang.
Hal serupa juga terjadi dengan pemakaian tenaga-tenaga ahli asing dalam paket-paket bantuan dan utang luar ngeri yang terikat dengan syarat-syarat tertentu tersebut. Banyak tenaga ahli asing yang dikirim ternyata adalah pensiunan dari negara asalnya atau tidak dipakai karena tidak memenuhi kualifikasi untuk pekerjaan di negara asalnya. Saya sendiri pernah punya pengalaman ada seorang profesor yang dikirim ke FE Undip untuk suatu projek perikanan. Ketika dia memberikan kuliah umum ternyata kulaitasnya jauh dari profesor yang berasal dari luar negeri seperti yang dibayangkan. Mungkin di negaranya sang profesor sudah tak terpakai lagi.
Cara kedua AS untuk meningkatkan kembali peran ekonominya di ASEAN umumnya dan Indonesia khususnya dalah dengan melakukan lobi-lobi kepada pejabat yang membuat kontrak-kontrak usaha antara perusahaan AS dan Indonesia. Kita melihat cara ini efektif digunakan dalam kontrak-kontrak perusahaan pertambangan, misalnya EXXON, Freeport, dan lain-lain. Dalam kontrak-kontrak tersebut terlihat sekali kejanggalannya dimana kita sebagai pemilik berbagai sumberdaya mineral hanya mendapatkan sedikit sekali bagian dari hasil pertambangan baik dari royalti maupun pajak. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau pejabat pembuat kontrak mendapat bagian secara pribadi dari kotrak-kontrak tersebut.
Kedua acara tersebut sama-sama buruknya bagi Indonesia sehingga harus selalu diwaspadai oleh semua elemen masyarakat. Di sisi yang lain , Indonesia mestinya harus melakukan serangan balik dengan cara makin agresif menggarap pasar AS. Salah satu caranya dalah dengan mengoptimalkan peran atase perdagangan dan duta besar Indonesia untuk AS yang tidak hanya sekedar simbol hubungan diplomatik tetapi juga berperan sebagai salesman baik untuk produk dan jasa buatan Indonesia maupun menjual Indonesia baik untuk tujuan wisata maupun untuk tempat berinvestasi.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Tidak ada komentar: