Oleh Nugroho SBM
Pada Tahun 2007 silam, majalah ekonomi terkemuka The Economist meramalkan bahwa di tahun 2011 Indonesia hanya akan menduduki peringkat 36 dari 82 negara yang disurvai dalam nilai Penanaman Modal Asing (PMA) nya. Nilai PMA yang diterima Indonesia tersebut sekitar 6,6 milyar dolar AS. Apa yang diramalkan oleh The Economist tersebut tampaknya mendekati kenyataan di tahun 2011 mendatang yang segera akan kita masuki.
Kontras dengan PMA yang masih rendah, aliran dana asing dalam bentuk instrumen keuangan jangka pendek seperti deposito, tabungan dan SBI atau yang dikenal dengan uang panas meningkat dengan tajam. Cadangan devisa Indonesia yang saat ini berkisar 93 milyar dolar AS ditengarai sebagian besar merupakan uang panas. Aliran uang panas dalam bentuk dolar AS tersebut telah membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami apresiasi dengan tajam sampai saat ini.
Terapresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi akhir-akhir ini ditambah dengan berlakunya ACFTA (ASEAN China Free Trade Area) telah membuat membanjirnya barang-barang impor ke Indonesia khususnya dari China. Atas dasar kecenderungan tersebut banyak kalangan yang meramalkan akan terjadi deindustrialisasi atau penutupan/bangkrutnya industri di tahun-tahun depan ini. Deindustrialisasi tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya peningkatan pengangguran dan kemiskinan.
Kecenderungan Deindustrialisasi
Kekhawatiran terhadap deindustrialisasi di Indonesia secara kebetulan mendapatkan dukungan dari kecenderungan deindustrialisasi di Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Deindustrialisasi di AS ditandai dengan menrunnya sumbangan nilai tambah industri manufaktur AS terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 15,3 persen pada tahun 1997 menjadi 11,1 persen pada tahun 2009 lalu. Pangsa ekspor produk industri manufaktur AS juga turun dari 82 persen pada 1997 menjadi 75 persen tahun 2009. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri manufaktur juga menurun dari 15,1 persen dari total tenaga kerja di tahun 1990 menjadi 8,4 persen pada tahun 2010.
Hal serupa terjadi di Uni Eropa. hanya saja data yang tersedia hanya menyangkut pangsa nilai tambah industri manufaktur terhadap PDB. Pangsa nilai tambah industri manufaktur terhadap PDB negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa turun dari 21,1 persen tahun 1997 menjadi hanya 16,4 persen tahun 2009.
Deindustrialisasi yang terjadi di AS dan Uni Eropa tersebut diduga karena imbas krisis finansial, lebih tertariknya investor untuk terjun ke sektor jasa khususnya sektor jasa keuangan, serta meningkatnya persaingan dari produk industri manufaktur dari negara-negara lain khususnya China dan Jepang. Mengapa produk manufaktur China sekarang bisa menjadi saingan AS dan Uni Eropa? Karena produk China yang selama ini dianggap murah dan"murahan" ternyata telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan. China sekarang telah banyak menghasilkan produk-produk bermutu tinggi dengan harga yang tetap lebih murah karena peran perusahaan-perusahaan internasional yang berlokasi di China.
Apakah Sudah Terjadi di Indonesia?
Pertanyaannya kemudian adalah apakah deindustrialisasi sudah terjadi di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilihat beberapa data. Pertama, dari pertumbuhan sektor industri manufaktur. Pertumbuhan sektor industri manufaktur Indonesia tampaknya sudah kembali pulih. Pada triwulan III tahun 2009 - karena imbas krisis finansial - tumbuh lambat dengan 1,3 persen. Namun pada triwulan I tahun 2010 pertumbuhannya menjadi 3,7 persen dan meningkat lagi menjadi 4,1 persen pada triwulan III tahun 2010.
Kedua, dari kontribusi atau pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia. Kontribusi atau pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur terhadap PDB selalu konstan berkisar antara 27 sampai 28 persen. Pangsa tersebut memang sempat menurun menjadi 26,3 persen pada tahun 2009 karena imbas krisis finansial tetapi saat ini sudah pulih kembali.
Ketiga, dari kontribusi atau pangsa ekspor sektor industri manufaktur terhadap total ekspor Indonesia sempat menurun tetapi membaik kembali. Pada tahun 2005 pangsa ekspor industri manufaktur terhadap total ekspor Indonesia sebesar 50 persen, turun menjadi 42 persen pada tahun 2008. Penurunan pangsa ekspor industri manufaktur karena meningkat tajamnya harga komoditas primer (pertanian dalam arti luas dan pertambangan). Karena harga komoditi pertanian dalam arti luas dan pertambangan meningkat tajam maka banyak pengusaha dan investor yang lebih tertarik berbisnis di sektor pertanian dan pertambangan khususnya dalam hal perdagangannya. namun sesuai karakteristik produk pertanian dan pertambangan maka kenaikan harganya hanya bersifat musiman dan tidak bertahan lama. Maka pada tahun 2009 pangsa ekspor industri manufaktur telah kembali naik menajdi 44 persen.
Keempat, dari persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur. Pada kenyataannya tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur cenderung tidak berubah. Pada tahun 2000 sebesar 12,8 juta orang. Pada tahun 2009 mereka yang bekerja di sektor industri manufaktur menurun sedikit menjadi 11,6 juta orang.
Kelima, dari realisasi investasi. Realisasi investasi di sektor industri manufaktur saat ini sekitar 40 persen dari total pengajuan investasi. Sedangkan investasi di sektor primer (pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan) hanya 10 persen dari pengajuan investasi.
Kesimpulannya, dari kelima indikator yang telah diuraikan sebenarnya Indonesia belum terkena deindustrialisasi. Namun deindustrialisasi akan terjadi juga kalau beberapa kebijakan ekonomi masih seperti yang sekarang.
Kebijakan Ekonomi yang Salah
Beberapa kebijakan ekonomi yang salah yang dapat mendorong terjadinya deindustrialisasi tersebut antara lain: pertama, pembenahan infrastruktur yang tidak kunjung dilakukan. hal ini akan menyebabkan para pemilik modal (asing maupun domestik) tidak tertarik melakukan investasi di sektor industri manufaktur. Mereka lebih tertarik berbisnis di sektor jasa sebagai pedagang atau mencari rente dengan memainkan uangnya di pasar modal atau di pasar valuta asing. Maka pembenahan infrastruktur ekonomi merupakan kebijakan yang tidak dapat ditawar lagi.
Kedua, kebijakan mempertahankan suku bunga tinggi untuk Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI) telah membuat para pemilik uang (domestik dan asing) memilih untuk memarkir uangnya di obligasi negara tersebut dan tidak tertarik menanam uangnya di sektor industri manufaktur. Dimanapun bunga untuk obligasi yang dikeluarkan negara tidak pernah tinggi. Tanpa bunga tinggipun obligasi negara tetap menarik karena tidak pernah ada negara yang bangkrut. oleh karena itu suku bunga SUN dan ORI yang saat ini masih sangat tinggi perlu diturunkan.
Ketiga, pengaturan arus modal asing jangka pendek atau uang panas yang belum juga dilakukan oleh BI dan pemerintah. Padahal uang panas tersebut telah menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terlalu kuat sehingga menyebabkan impor mengalir deras dan jika tidak hati-hati akan menyebabkan produk-produk industri manufaktur lokal akan tersaingi. Oleh karena itu BI perlu mengatur arus uang panas ini dengan misalnya mewajibkan kepemilikan instrumen-instrumen keuangan yang lebih panjang.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar