Kamis, 24 November 2011

BERBAGAI MASALAH DALAM DIVESTASI FREEPORT

Oleh Nugroho SBM

DI samping tuntutan kenaikan upah karyawan, PT Freeport digugat masalah penjualan saham atau divestasi kepada pemegang saham Indonesia. Pemegang saham Indonesia bisa pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta.

Tuntutan divestasi itu wajar karena di satu sisi, dalam kontrak karya jilid II Freeport yang dimulai 1991 (kontrak karya jilid I 1967-1997, tetapi 1991 Freeport mengajukan perpanjangan kontrak dan dikabulkan-Red) Freeport tidak dikenai kewajiban melakukan divestasi.

Namun berdasarkan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara divestasi saham diharuskan. Dalam UU tersebut Pasal 112 Ayat 1 disebutkan setelah lima tahun berproduksi, badan usaha asing pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan divestasi saham. Sampai saat ini kepemilikan saham pemerintah pusat hanya 9,36%.

Divestasi saham merupakan upaya pemerintah dan DPR agar perusahaan pertambangan asing mampu membawa manfaat yang lebih besar baik bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Tetapi divestasi saham Freeport bukanlah perkara mudah karena akan timbul beberapa masalah.

Masalah potensial pertama yang akan timbul adalah perebutan pembelian saham yang didivestasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Contoh yang sudah ada dalam hal ini adalah divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Akar dari masalah itu ada pada landasan hukum atau peraturan dan perundang-undangan.
Landasan hukum utama divestasi saham Freeport adalah UU No 4/2009. Dalam UU tersebut hanya disebutkan bahwa perusahaan pertambangan asing wajib melakukan divestasi setelah lima tahun berproduksi. Penjelasan teknis yang lebih mendetail tentang divestasi saham akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pada Bab IX Pasal 97 sampai 99 disebutkan perusahaan asing pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan divestasi saham setelah lima tahun berproduksi sehingga sahamnya paling sedikit 20% dimiliki oleh peserta Indonesia. Divestasi tersebut dilakukan secara langsung dan berjenjang kepada peserta Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta.

Berjenjang artinya hak pertama diberikan kepada pemerintah pusat; jika pemerintah pusat tidak menggunakan haknya untuk membeli saham yang didivestasi, giliran berikutnya pada pemerintah provinsi dan seterusnya.
Pada PP No 23/ 2010 dinyatakan bahwa hal lain yang lebih mendetail lagi tentang divestasi saham akan diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang belum terbit.

Untuk mengatasi ketidakjelasan peraturan itu ada beberapa alternatif solusi. Pertama, merevisi PP No 23/ 2010 dengan penjelasan lebih detail tentang tata cara divestasi saham yang antara lain menyangkut hak antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Alternatif kedua, sebagaimana diamanatkan oleh PP No 23/2010 yaitu dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM yang lebih mendetailkan UU No 4/2009 dan PP itu, khususnya tentang hak pembelian saham antara pemerintah pusat dan daerah.

Kesulitan

Tetapi kesulitan yang timbul adalah pemerintah daerah mungkin tingkat kepatuhannya rendah terhadap peraturan menteri karena sifatnya tidak mengikat dan tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan menurut UU No 10/2004.
Kesulitan lainnya, masalah divestasi sebenarnya tidak hanya urusan Kementerian ESDM tetapi juga Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Alternatif ketiga, pembelian saham yang telah didivestasi secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Alternatif keempat, melakukan pengkajian dengan tolok ukur tertentu pihak mana antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih pantas membeli saham yang telah didivestasi.

Jadi Boneka

Masalah lain di samping perebutan hak pembelian saham antara pemerintah pusat dan daerah adalah ada kemungkinan pemerintah daerah hanya dijadikan boneka atau jalan masuk bagi perusahaan swasta untuk melakukan pembelian saham yang akan menghasilkan keuntungan yang besar.

Kekhawatiran itu juga muncul pada saat divestasi PT NNT. Untuk melakukan pembelian 24% saham PT NNT Pemprov Nusa Tenggara Barat, Pemkab Sumbawa Barat, dan PT Multi Capital (perusahaan swasta) membentuk PT Daerah Maju Bersaing. Dikhawatirkan justru PT Multi Capitallah yang akan memperoleh porsi terbesar dari pembelian saham PT NNT dan bukan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten.

Masalah berikutnya adalah kesulitan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah pusat karena harus melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan Freeport. Sebagaimana telah disebutkan dalam kontrak karya Freeport ternyata mempunyai hak istimewa untuk tidak melakukan divestasi saham.
Setelah divestasi disetujui pun belum tentu mudah dilaksanakan. Contoh sekali lagi dalam kasus divestasi PT NNT, sampai 2008 PT NNT ternyata tidak memenuhi kewajibannya melakukan divestasi.

Lalu, Pemerintah Indonesia menggugat lewat lembaga arbitrase internasional dan akhirnya pada 2009 lembaga itu memenangkan Indonesia dan mengharuskan PT NNT melakukan divestasi 27% sahamnya yang terdiri atas kewajiban divestasi 2006 sebesar 3%, tahun 2007 sebesar 7%, dan tahun 2008 sebesar 3%. Masalah lainnya, bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten atau kota memanfaatkan kepemilikan saham hasil divestasi. (29)

— Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Undip Semarang

Tidak ada komentar: