Oleh Nugroho SBM
MENJELANG peringatan Hari Antiko-rupsi Sedunia tiap tanggal 9
Desember, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi ”hadiah istimewa”
berupa penetapan status tersangka dan pencekalan Menpora Andi Alifian
Mallarangeng terkait dengan kasus korupsi pada pembangunan Pusat
Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Sentul
Kabupaten Bogor Jabar.
Ini untuk kali pertama KPK mengenakan status tersebut terhadap menteri yang masih aktif.
Sebelumnya, komisi antikorupsi itu menahan perwira tinggi Polri yang
juga masih aktif, Irjen Djoko Susilo, terkait kasus korupsi pengadaan
simulator kemudi roda dua dan empat di Korlantas Mabes Polri. Banyak
pihak memuji langkah berani itu mengingat selama ini sebagian kalangan
meragukannya.
Penetapan Andi sebagai tersangka juga menambah deret panjang aparatur
pemerintah yang terjerat kasus korupsi. Tak salah bila World Economic
Forum (WEF) dalam publikasi terbaru tahun 2012 masih menempatkan
korupsi sebagai hambatan utama menjalankan bisnis di Indonesia.
Korupsi merupakan penghalang utama bisnis. Pertama; korupsi
memperbesar biaya karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tidak resmi
dan tambahan. Penelitian Mudrajad Kuncoro (2004) pada industri
berorientasi ekspor yang padat karya di 10 kabupaten/ kota di Indonesia
menyimpulkan biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3% dari biaya
perusahaan.
Penelitian Ari Kuncoro (2001) terhadap 1.736 perusahaan di 285
kabupaten/ kota di Indonesia menemukan besar biaya tambahan akibat
korupsi mencapai 10% dari biaya total perusahaan. Biaya tambahan ini
tentu mengurangi keuntungan dan efisiensi. Penelitian menarik di Afrika
yang dilakukan Arthur dan Teal (2004) menyimpulkan produktivitas
perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari yang tak pernah menuap.
Kedua; efek dari adanya biaya tambahan, perusahaan menggeser beban
itu ke konsumen dengan cara menaikkan harga barang. Kenaikan harga itu
akan mengurangi daya beli konsumen, dan pengusaha menanggung akibat dari
penurunan daya beli konsumen karena omzet penjualan menurun.
Ketiga; biaya tambahan akibat korupsi lebih ”merugikan;; dibanding
pajak. Dalam tulisan berjudul ”Why is Corruption So Much More Taxing
than Tax?” (”Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?”) sebagai
hasil penelitian di 45 negara, Shang Jin Wei (1997) menyatakan korupsi
lebih merugikan daripada pajak.
Balas Jasa
Pasalnya, biaya tambahan sebagai hasil korupsi tak diimbangi dengan
balas jasa apa pun dari oknum pemungut. Sementara jika pengusaha taat
membayar pajak, ia mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan
infrastruktur yang dibutuhkan.
Di samping menyumbang angka korupsi, aparat pemerintah menyumbang
birokrasi yang tidak efisien dan tak punya semangat melayani. Dalam
survei dan publikasi yang sama, WEF menyebut setelah korupsi, hambatan
kedua bisnis di Indonesia adalah birokrasi pemerintah yang tidak
efisien. Tidak efisien karena jumlah PNS saat ini 4 juta dari 235 juta
total penduduk.
Belanja untuk PNS pun sangat besar. Pada APBN 2013 alokasi belanja
pegawai Rp 241,12 triliun atau 14,54% dari total belanja, sedangkan
belanja modal hanya Rp 193,8 triliun (11,69%).
Padahal belanja modal sangat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan
ekonomi yang tahun 2013 dipatok 6,5%. Pemerintah pun sudah mencanangkan
program reformasi birokrasi secara bertahap dengan memberi insentif gaji
sesuai kompetensi dan kinerja, yang dikenal sebagai program renumerasi.
Soal ketidakefisienan kinerja PNS terungkap dalam keluhan Kepala BKPM
Chatib Basri pada acara ”Kompas100 CEO Forum” (Kompas, 06/12/12). Dia
mengungkapkan, ” ”Masak saya telepon ke kantor saya, tidak ada yang
menjawab. Bagaimana kalau ada investor dari luar mau meminta informasi
investasi? Saya coba email juga nggak dibalas. Bagaimana kita mau bicara
investasi kalau aparaturnya begini?”
Keluhan Chatib dicoba dibenahi oleh Kepala Dinas P
erindustrian dan Perdagangan Jateng Ihwan Sudrajat. Dalam artikel
”Jangan Relokasi karena Upah” (SM, 30/11/12), dia menulis UMK di Jateng
masih relatif rendah dibanding daerah/ provinsi lain.
Tetapi upah tersebut jangan dijadikan faktor utama menarik investasi
ke Jateng. Upah yang belum layak memang harus dinaikkan. Tetapi kenaikan
UMK hendaknya harus diimbangi dengan pelayanan, baik oleh pemprov
maupun pemkab/ pemkot, secara transparan, efektif, akuntabel, dan
efisien.
Sehari sebelumnya, penulis bertemu dengan dia sebelum acara
talkshowdi stasiun swasta. Dari obrolannya, terlihat tekad Ihwan
mewujudkan birokrasi yang melayani investor dan masyarakat di lingkungan
dinasnya. Dia mengatakan teleponnya selalu terbuka untuk pengusaha dan
investor yang mengeluhkan berbagai hal.
Menanggapi berbagai masalah, Ihwan sering langsung menelepon atasan
di Jakarta meminta kejelasan atau penyelesaian. Kadang ia membantu
pengusaha menyelesaikan masalah secara lintas departemen atau dinas.
Lang-kah itu dikatakan untuk mengompensasi berbagai kesulitan berusaha
di Jateng, infrastruktur yang buruk, seperti jalan, pelabuhan, dan
bandara yang masih perlu pembenahan. (10)
– Dr Nugroho SBM MSP, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, serta
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang
(Artikel sudah dimuat di Rubrik WACANA NASIONAL Harian SYARA Merdeka 11 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar