HAMPIR semua kalangan menyatakan setuju bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 tetap tinggi. Pendapat itu mendasarkan pada kecenderungan beberapa tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi negara kita selalu positif di tengah badai krisis keuangan di Eropa dan AS sejak 2008.
Hanya tiga negara yang tumbuh positif di tengah badai krisis, dua lainnya adalah China dan India. Tahun ini pemerintah kita memprediksi pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8%, bahkan Bank Indonesia (BI) lebih optimistis dengan angka 7%.
Persoalannya, pertumbuhan tinggi itu dibarengi dengan ketimpangan pembagian (distribusi) pendapatan.
Ada beberapa indikator kemelebaran kesenjangan distribusi pendapatan. Pertama; peningkatan indeks Gini Indonesia, yang terus meningkat. Jika pada 2005 adalah 0,32, tahun 2008 meningkat menjadi 0,37, dan tahun 2011 menjadi 0,41.
Kedua; data rekening tabungan. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 2011 menyebutkan ada 591.890 rekening kakap dengan nilai di atas Rp 500 juta, dengan jumlah total Rp 1.750,97 triliun. Kekayaan 40 orang kaya di negara kita itu setara dengan kekayaan 60 juta penduduk. Peningkatan kekayaan orang-orang kaya itu melejit rata-rata 80% selama 5 tahun terakhir, jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi yang berkisar 6% lebih per tahun.
Ketiga; data kekayaan dan jumlah orang miskin. Forbes 2012 melaporkan kekayaan 40 orang kaya Indonesia Rp 850 triliun. Nilai itu setara dengan 10% pendapatan nasional (PDB) Indonesia atau setara dengan 60% APBN kita tahun lalu. Pada sisi lain jumlah orang miskin meningkat. Data ADB menunjukkan penduduk miskin di negara kita meningkat, dari 40,4 juta (2008) menjadi 43,1 juta (2010), atau bertambah 2,7 juta orang dalam 3 tahun terakhir.
Kesalahan Kebijakan
Ada beberapa penyebab kemelebaran ketimpangan distribusi pendapatan. Pertama; ketimpangan distribusi aset. Ketimpangan itu terlihat sangat parah, terutama di sektor pertanian. Data dari sensus pertanian menyebutkan, 57,8% petani memiliki lahan hanya 0,018 ha, 38% tidak memiliki lahan, dan 4,2% memiliki lahan 0,5 ha atau lebih. Lahan yang sempit itu tentu tidak mencukupi untuk memperoleh tingkat pendapatan layak.
Kedua; masih besarnya pekerja sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah dan tidak ada jaminan kepastian usaha. Jumlah pekerja sektor informal di negara kita saat ini 62,7%.
Besarnya angka itu disebabkan makin padat modalnya teknologi produksi dan makin kecilnya kesempatan kerja. Dulu tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu pekerja baru, kini hanya bisa menyerap 200 ribu tenaga kerja baru.
Ketiga; akibat kesalahan kebijakan pemerintah. Salah satu contoh adalah pemberian subsidi BBM dan listrik. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang Brojonegoro mengatakan, tambahan APBN-P 2012 untuk subsidi BBM Rp 79,4 triliun mengingat semula hanya dianggarkan Rp 137,4 triliun tetapi hingga akhir 2012 diperkirakan subsidi membengkak hingga Rp 216,8 triliun.
Demikian juga subsidi listrik, menurut Bambang, butuh tambahan Rp 103,5 triliun. Jadi, tambahan subsidi BBM dan listrik dalam APBN-P 2012 total Rp 305,9 tri-liun. (SM, 06/10/12). Padahal sebagian besar dari subsidi BBM dan listrik itu dinikmati oleh golongan menengah ke atas.
Kebijakan lain yang kurang mengena sasaran adalah subsidi pupuk. Studi Osario, Abriningrum, Armas, dan Fidaus (2011) menyebutkan 65% petani termiskin hanya menerima subsidi pupuk 3% dari total yang diberikan pemerintah, dan 5% petani kaya menerima 90% subsidi pupuk. Hal itu karena petani kaya punya akses lebih besar kepada pemerintah dan distributor pupuk.
Sektor Produksi
Bagaimana memperbaiki distribusi pendapatan Indonesia yang kian timpang? Pertama; harus ada kebijakan meredistribusi aset agar golongan tidak mampu bisa memperoleh aset sebagai modal berusaha. Redistribusi lahan yang merupakan aset utama bagi sektor pertanian sebenarnya sudah ada, yaitu UU Pokok Agraria, tinggal bagaimana keberanian pemerintah menerapkannya.
Cara lain, membentuk pertanian kolektif seperti di China, yakni menggabungkan (mengonsolidasikan) lahan-lahan pertanian yang sempit untuk bersama-sama digarap, dan hasilnya dibagi. Untuk sektor lain, pemerintah bisa mencontoh Pemprov Jatim yang membentuk badan asuransi Kredit bagi UMKM. Badan itu bisa meningkatkan akses UMKM terhadap kredit usaha dari bank.
Kedua; meminimalisasi pertumbuhan pekerja sektor informal, dengan mendorong pertumbuhan sektor produksi (pertanian dan industri) sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Untuk sektor pertanian misalnya, pemerintah perlu mendorong petani beralih ke tanaman yang bernilai ekonomis lebih tinggi, semisal hortikultura. Pembatasan atau penghapusan sistem alih daya (outsourcing) bisa dipertimbangkan agar tak mudah terjadi PHK yang mendorong orang bekerja di sektor informal.
Ketiga; menghapus subsidi BBM dan listrik, menggantinya dengan program lain yang lebih tepat sasaran bagi rakyat miskin. Pemerintah harus berani melakukan meskipun secara politik bukan langkah populer. SBY tidak mungkin maju dalam Pilpres 2014 sehingga inilah kesempatan membuktikan bahwa ia berani mengambil lang-kah tidak populer demi kepentingan lebih besar. (10)
– Dr Nugroho SBM MSi, dosen Jurusan IESP Fakultas Ekonomika dan Bisnis, serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang (/)
Aerikel dimuat di rubrik WACANA NASIONAL Harian Suara Merdeka, Senin 7 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar