Oleh
Nugroho SBM
Menurunnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS atau depresiasi rupiah terhadap dolar AS
akhir-akhir ini menjadi pembicaraan banyak pihak. Meskipun sudah sering terjadi
tetapi kali ini depresiasi menjadi bahan pembeicaraan yang serius di banyak
kalangan karena nilai tukar rupiah sudah menembus batas psikologisnya yaitu
sudah menembus Rp 10.000 per dolar AS.
Depresiasi
nilai tukar rupiah selalu menjadi topik pembicaraan karena menimbulkan banyak
masalah terutama karena beberapa hal. Pertama, harga barang-barang impor
menjadi lebih mahal. Padahal industrimanufaktur masih mengimpor sekitar 40
sampai 60 persen bahan baku. Kedua, pembayaran bunga dan cicilan utang luar
negeri baik pemerintah maaupun swasta menjadi lebih besar tanpa bertambahnya
utang baru. Ketiga, depresiasi akan menurunkan daya saing produk ekspor
Indonesia. Jika terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar AS maka harga produk
dan jasa Indonesia menjadi lebih mahal dipandang dari sudut mata uang asing
(dolar AS). Padahal selama ini yang menjadi andalan daya saing ekspor produk
dan jasa Indonesia hanyalah harga yang murah.
Karena
dampaknya yang begitu serius maka pertama-tama perlu diketahui penyebab
depresiasi nilai tukar terhadap rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini. Lalu
apa yang menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
akhir-akhir ini?
Pengetatan
Likuiditas di AS
Depresiasi
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjadi dari dua sisi yaitu sisi Amerika
Serikat (AS) dan sisi Indonesia. Dari sisi AS penyebab utamanya adalah mulai
diketatkannya kembali kebijakan moneter AS setelah ekonomi AS mulai membaik. Seperti
diketahui, sebelumnya The Fed sempat melonggarkan likuiditas moneternya untuk
memacu ekonomi AS dengan cara membeli obligasi pemerintah AS senilai 40 miliar
dolar AS. Tetapi era likuiditas longgar tersebut sudah mulai diketatkan setelah
ekonomi AS membaik.
Membaiknya ekonomi AS
tersebut antara lain ditandai dengan menurunnya tingkat pengangguran AS secara
drastis menjadi hanya 7,6 persen pada Mei 2013 setelah bulan-bulan sebelumnya
tingkat pengangguran di AS mencapai 10 persen lebih. Karena ekonomi membaik
maka Ben S Bernanke - Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) - memberi sinyal akan
menaikkan suku bunga di AS (Fed rate). Ini membuat para pemilik uang segera
menukar asset-ssset keuangannya dengan dolar AS karena menyimoan dolar AS akan
lebih menarik. Pembelian dolar AS secara besar-besaran oleh para pemilik uang
inilah yang ditengarai menjadi sebab menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap
hampir semua mata uang dunia. Menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap mata
uang semua negara berarti juga melemahnya nilaia tukar hampir semua mata uang –
termasuk rupiah – terhadap dolar AS.
Kesalahan
Undang-Undang
Dari
sisi Indonesia ada beberapa faktor. Faktor yang paling fundamental adalah adanya
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar. Dalam Undang-undang dikatakan secara eksplisit bahwa Indonesia menganut
rejim devisa bebas. Artinya orang boleh membawa ke luar ataupun masuk mata uang
asing (devisa) – termasuk dolar AS – berapapun dan kapanpun. Artinya jika dolar
AS dalam jumlah besar diambil dari pasar uang Indonesia untuk disimpan di AS
karena bunganya lebih menarik maka hal itu dengan mudah dilakukan tanpa
hambatan apapun. Ada yang mengatakan sistem atau rejim devisa Indonesia paling
bebas di dunia bahkan dari AS sendiri. Sistem nilai tukar yang dianut Indonesia
sejak krisis tahun 1997/1998 adalah sistem nilai tukar mengambang (floating
rate). Artinya berapapun nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing- termasuk
dolar AS – akan dibiarkan. Paling-paling BI akan sedikit melakukan intervensi
kalau nilaitukar rupiah terhadap dolar AS melampaui batas psikologis yaitu Rp
10.000 per dolar AS. Tetapi batas itu tampaknya kini tak bisa dipertahankan
lagi atau dengan kata lain semua harus terbiasa menerima “keseimbangan baru”
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Implikasi dari semua ini adalah perlunya
UU Nomer 42 tahun 1999 harus ditinjau ulang.
Faktor
berikutnya yang menyebabkan depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah besarnya
defisit neraca perdagangan Indonesia. Sepanjang tahun 2013 ini hanya bulan
Maret neraca perdagangan Indonesia surplus, selebihnya defisit. Pada April 2013
defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai 1,7 miliar dolar AS dan pada Mei
2013 senilai 590 juta dolar AS. Defisit neraca perdagangan Indonesia tersebut
disebabkan oleh turunnya ekspor
non-migas Indonesia karena turunnya harga komoditas primer serta daya beli negara-negara
tujuan ekspor Indonesia antara lain China, India, dan Jepang. Tahun 2013 ini
pertumbuhan ekonomi China diperkirakan hanya sebesar 6,5 persen setelah
tahaun-tahun sebelumnya sempat tembus dua digit atau 10 persen. Jepang juga
turun pertumbuhan ekonominya. Demikian juga India tahun 2013 ini pertumbuhan
ekonominya juga hanya 5 persen.
Faktor lain defisitnya
neraca perdagangan Indonesia adalah masih
besarnya impor migas meskipun harga BBM sudah dinaikkan. Defisit neraca
perdagangan menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah atau
depresiasi karena berarti ekspor lebih
kecil dari impor. Hal tersebut berarti pasokan dolar AS berkurang (karena
ekspor turun) atau permintaan dolar AS meningkat (karena impor yang meningkat).
Faktor
ketiga adalah tingginya tingkat inflasi karena dinaikkannya harga BBM dan
disusul dengan meningkatnya permintaan hampir semua barang dan jasa di bulan
ramadhan dan menjelang lebaran. Inflasi berarti rupiah yang beredar bertambah
sementara dolar AS yang beredar tetap atau bahkan berkurang. Akibatnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS akan berkurang.
Membiasakan
Diri
Apa
yang kemudian harus dilakukan menghadapi depresiasi rupiah terhadap dolar AS?
Pertama, masyarakat khususnya dunia bisnis harus membiasakan diri untuk
menerima “keseimbangan baru” rnilai tukar rupiah. Batas psikologis nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 10.000 per dolar AS sebenarnya hanyalah
mitos yang diciptakan oleh pihak yang tak jelas. Mitos itu seolah-olah tak
boleh dilanggar maka BI maati-matian
mempertahankan nilai tukar rupiah di bawah Rp 10.000 per dolar AS dengan biaya
yang sangat mahal yaitu merosotna cadangan devisa yang pernah mencapai sekitar
120 miliar dolar AS menjadi kini hanya sekitar 98 miliar dolar AS. Oleh karena
itu semua pihak sekarang harus mulai terbiasa dengan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS Rp 10.000 per dolar AS ke atas.
Semua
pihak harus menerima “keseimbangan baru” nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
Rp 10.000 per dolar AS ke atas karena menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap
rupiah di tahun 2013 ini adalah yang paling kecil kecuali terhadap dolar
Singapura, Yuan China, dan dolar Hongkong. Menurut catatan Bloomberg (per 21
Juli 2013), menguatnya dolar AS terhadap rupiah tahun 2013 (dari nilai terkuat
Rp 9.488 per dolar AS ke nilai terlemah Rp 10.205 per dolar AS) senilai 8
persen. Angka ini lebih kecil dari menguatnya nilai dolar AS terhadap Yen
Jepang (33 persen), Baht Thailand (22 persen), Rupee India (19 persen), Won
Korea (10 persen), Ringgit Malaysia (9 persen), Peso Filipina (9 persen).
Menguatnya dolar AS terhadap Rupiah hanya kalah dari Dolar Singapura (6
persen), Yuan China (4 persen), dan Dolar Hongkong (0,2 persen). Jadi posisi
rupiah masih lumayanlah.
Kebijakan
selanjutnya mau-tidak mau adalah meningkatkan kembali BI rate. Memang BI rate
sudah dinaikkan 75 basis poin dari 5,75 persen menjadi 6,50 persen. Tetapi
kenaikan tersebut belum cukup mampu untuk membuat orang tertarik menabung dalam
rupiah sehingga mampu menahan depresiasi rupiah terhadap dolar AS. BI perlu
mempertimbangkan untuk menaikkan lagi BI rate hingga 7 persen. Toh suku bunga
deposito perbankan saat ini sudah mencapai 7 persen. Jadi tindakan menaikkan BI
rate tersebut hanya “melegalkan” apa yang sekarang sudah terjadi di perbankan.
Kebijakan
strategis berikutnya adalah bagaimana mentransformasikan perekonomian Indonesia
dari perekonomian yang bertumpu pada komoditas primer dan padat sumberdaya alam
yang harganya tidak stabil dan bahkan
menurun di pasaran dunia ke perekonomian yang bertumpu pada jasa dan komoditas
padat teknologi. Demikian juga negara tujuan ekspor Indonesia hendaknya
didiversifikasikan. Negara-negara Arab yang potensial, misalnya, selama ini
belum digarap serius sebagai negara tujuan ekspor Indonesia.
(Dr.
Nugroho SBM, Msi, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar