KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK)
menetapkan mantan ketua BPK Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus korupsi pajak
yang diduga merugikan negara sampai Rp 375 miliar. Sangkaan itu dikenakan
terhadapnya semasa menjabat direktur jenderal Ditjen Pajak Kemenkeu.
Modusnya, ia menyetujui pembebasan
pajak bagi PTBCA yang mengajukan keberatan atas penetapan PPh Badan dengan
dalih merugi. Tak hanya di Indonesia, perpajakan memang sektor ”basah” pada
banyak negara, yang menjadi lahan subur korupsi. Korupsi sektor pajak sangat
merugikan karena penerimaan pajak yang sampai saat ini menjadi andalan APBN
kita (sekitar 70% penerimaan APBN berasal dari pajak) berkurang dari
seharusnya.
Akibatnya, kemampuan negara
membiayai berbagai program, antara lain pembangunan infrastruktur, menjadi
berkurang. Kondisi itu pasti merugikan masyarakat. Antisipasi pencegahan
korupsi pada sektor pajak, perlu tahu lebih dulu pola korupsi pada sektor itu.
Ada tiga pola korupsi perpajakan (Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi, SH Alatas,
1987), pertama; pola transaktif-nepotis.
Pola ini terjadi pada perekrutan
atau penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif karena ada transaksi
dalam korupsi. Bagian personalia mendapat uang suap terkeiat penempatan
pegawai, sedangkan pegawai itu mengincar Kantor Pajak yang ’’basah’’ atau
menghindari penempatan di daerah terpencil. Bersifat nepotis karena biasanya
dilakukan oleh mereka yang masih ada hubungan saudara atau sudah mengenal baik
satu sama lain.
Pola ini juga menjadi mekanisme
mempertahankan budaya korupsi pada sektor perpajakan. Pegawai baru di Ditjen
Pajak selalu berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada
dua pilihan: ikut dalam praktik korupsi atau tetap lurus/jujur. Memilih jujur
tak menjadi masalah, sepanjang tidak bicara. Kalau sampai membongkar praktik
korupsi, pegawai yang jujur tersebut berisiko dimutasi ke daerah terpencil.
Kedua; pola autogenik-ekstortif.
Pola ini biasanya terjadi dalam administrasi pajak. Disebut bersifat autogenik
karena korupsi yang dilakukan petugas pajak mengikuti kewenangan yang melekat
padanya. Adapun bersifat ekstortif karena dengan kewenangan itu terjadi pula
praktik pemerasan.
Pola ini menggambarkan bagaimana
petugas pajak meminta imbal jasa untuk pengurusan administrasi. Proses
administrasi perpajakan seperti pembebasan pajak, keringanan pajak, restitusi
pajak, dan lain-lain selalu melalui proses rumit dan panjang . Dengan
memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses itu bisa dipersingkat.
Ketiga; pola transaktif-autogenik. Pola ini biasa terjadi dalam negosiasi
pajak.
Pola ini menunjukkan bagaimana
praktik korupsi pada sektor pajak berjalan dengan asas saling menguntungkan,
baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapat
pengurangan dari kewajiban seharusnya, sedangkan petugas pajak mendapat komisi
atas pengurangan kewajiban tersebut.
Dalam beberapa kasus, kadang
negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak diperas
oleh petugas pajak dengan mengenakan tagihan teramat besar. Tapi besar tagihan
itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada oknum pegawai
pajak.
Pembuktian Terbalik
Pola-pola korupsi transaktif yang
saling menguntungkan pada sektor pajak sulit dibongkar, kecuali dengan
sepenuhnya menerapkan sistem pembuktian terbalik. Sayang, perangkat hukum kita
belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor hanya menerapkan
pembuktian terbalik secara terbatas.
Pembuktian terbalik menjadi hak
terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, dan beban
pembuktian masih ada pada kejaksaan sebagai penuntut umum. Karena itu, usulan
menerapkan pembuktian terbalik sulit dilakukan karena harus mengubah UU
Antikorupsi terlebih dulu. Terobosan yang bisa digunakan adalah memberikan
perlindungan terhadap saksi dengan menggunakan UU tentang Perlindungan Saksi.
Dirjen Pajak bisa memberikan perlindungan kepada pelapor yang menginformasikan
petugas pajak yang nakal. Atas informasinya, wajib pajak tak akan mendapat
sanksi, baik pidana maupun denda.
Secara pendekatan ekonomi keuangan
sebenarnya banyak yang sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah korupsi pada
sektor perpajakan. Ada dua contoh, pertama; dengan mengurangi kontak langsung
antara petugas pajak dan wajib pajak supaya tak terjadi negosiasi.
Upaya ini dilakukan misal melalui
pelaporan dan pembayaran pajak secara online. Memang belum semua transaksi bisa
dilakukan secara online serta tidak semua wajib pajak melek teknologi dan
memiliki sarana dan prasana elektronik untuk melakukannya. Ke depan, Ditjen
pajak perlu didorong untuk terus menyempurnakan sistem perpajakan online agar
semua transaksi perpajakan bisa dilakukan secara online. Kedua; menaikkan gaji
pegawai pajak atau dikenal dengan program renumerasi. Namun tampaknya seberapa
pun tinggi gaji yang diterima, pegawai negeri tetap ’’tidak puas’’. Kuncinya
bukan pada gaji melainkan sistem perekrutan.
Selama ini aspek moralitas memiliki
bobot kecil dalam perekrutan pegawai negeri, lebih menonjolkan aspek
keterampilan dan pendidikan. Ke depan, aspek moral hendaknya menduduki syarat
paling utama dalam perekrutan pegawai negeri. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas
Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro