Selasa, 05 Mei 2015

Mengkritisi Kebijakan Keringanan Pajak

Oleh Nugroho SBM

DI tengah target penerimaan pajak di APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2015 yang sangat tinggi yaitu Rp 1.489,3 triliun (atau naik Rp 109,3 triliun dari target di APBN 2015 sebesar Rp 1.380 triliun), pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kontroversial berupa keringanan pajak (tax allowance).
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2015 tentang Keringanan Pajak Bagi Penanam Modal yang terbit tanggal 6 April 2015 dan efektif berlaku rencananya 6 Mei 2015. Kebijakan Keringanan pajak tersebut berupa keringanan pajak penghasilan (PPh) sebesar lima persen selama enam tahun bagi perusahaan baru di bidang usaha tertentu.
Bidang usaha tertentu yang mendapat keringanan pajak adalah: pembibitan dan budidaya sapi potong; pengusahaan panas bumi, pertambangan bijih tembaga, emas, dan perak; industri makanan dari cokelat dan kembang gula serta makanan bayi; industri pemintalan benang dan kain rajutan; industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi; industri bahan farmasi; industri ban; industri besi dan baja dasar; industri semi konduktor; industri kendaraan roda empat atau lebih; industri kapal dan perahu; angkutan perkotaan; bongkar muat barang; kegiatan pemrograman komputer; daan kawasan pariwisata.
Di samping itu, dalam paket kebijakan yang sama ditentukan juga perusahaan yang menderita kerugian selama lima tahun lebih tetapi kurang dari 10 tahun akan mendapat pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) dengan mempertimbangkan batas minimal kerugian dan penyerapan tenaga kerja. Sebenarnya kebijakan pemotongan dan pengampunan pajak tidak sekali ini saja diambil oleh pemerintah.
Pada 2008 kebijakan serupa pernah diambil oleh pemerinah. Bila ditelusuri, maka kebijakan pemotongan pajak maupun penurunan tarif pajak sudah banyak dilakukan oleh banyak negara. Bila dicari lebih jauh maka kebijakan yang kelihatannya kontroversial ini berasal dari seorang profesor bernama Arthur Laffer yang memaparkan hipotesisnya yang kemudian dikenal dengan Kurva Laffer sekitar tahun 1974.
Laffer adalah penasihat ekonomi Presiden AS waktu itu, Ronald Reagan. Ronald Reagan memperkenalkan kebijakan ekonomi yang kemudian dikenal sebagai Reaganomics. Inti dari kebijakan ekonomi Reagan adalah lebih menitikberatkan atau memihak kepada pengusaha atau produsen atau sektor produksi.
Reagan berpikir bahwa jika sektor produksi bisa bergerak dengan baik maka akan banyak tenaga kerja terserap sehingga pendapatan masyarakat akan meningkat pula. Meningkatnya pendapatan akan menyebabkan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi. Begitu seterusnya proses akan berlangsung.
Kebijakan Reagan yang demikian kemudian dijabarkan oleh Laffer dengan saran tentang perlunya pemotongan pajak baik nominal maupun tarifnya. Untuk menjabarkan idenya tersebut Laffer menggunakan ilustrasi grafik yang kemudian dinamakan Kurva Laffer. Kurva ini menggambarkan hubungan antara tarif pajak dengan penerimaan pemerintah dari pajak di APBN.
Ada tarif pajak yang memaksimalkan penerimaan pemerintah dari pajak. Setelah tarif tersebut maka jika pemerintah menaikkan tarif lagi maka justru penerimaan pemerintah dari pajak akan menurun.
Sebab penurunan penerimaan pemerintah dari pajak tersebut adalah tarif pajak yang terlalu tinggi menyebabkan adanya penggelapan pajak dan juga motivasi berproduksi dan bekerja akan turun sehingga basis pemungutan pajak pun akan turun. Apa yang dihipotesisikan oleh Laffer dengan Kurva Laffernya sudah banyak dibuktikan sercara empiris. Penulis juga pernah menjadi anggota tim peneliti tentang penerimaan cukai. Waktu itu pada 2004, target penerimaan cukai rokok pemerintah di APBN diperkirakan tidak akan tercapai.
Lalu Fakultas Ekonomi Undip diberi tugas oleh Kementerian Keuangan untuk meneliti apakah Kurva Laffer terbukti secara empiris dalam kasus cukai rokok. Ternyata hasil lapangan menunjukkan memang Kurva Laffer berlaku untuk kasus cukai rokok. Cukai rokok yang terus naik ternyata menyebabkan banyak terjadi penggelapan cukai (banyak rokok tanpa cukai beredar) dan banyak paabrik rokok mengurangi produksinya.
Pertanyaannya tepatkah kebijakan pemotongan pajak pada 2015 tersebut? Menurut penulis hal itu tidak tepat. Pertama, administrasi perpajakan di Indonesia masih belum sempurna. Banyak wajib pajak yang belum bisa didentifikasikan dengan baik. Dengan kata lain, kecilnya penerimaan pajak pemerintah bukan karena sudah terlalu tingginya tarif pajak tetapi karena banyak wajib pajak yang belum teridentifikasi.
Kedua, penggelapan pajak hasil kerja sama aparat pajak dan wajib pajak juga banyak terjadi bukan karena tarif yang terlalu tinggi, tetapi karena moral yang tidak baik dari petugas pajak dan wajib pajak.
Tarif pajak di Indonesia, sampai saat ini masih dalam batas wajar dan dibanding beberapa negara justru malah lebih rendah. Kongkalikong petugas pajak dan wajib pajak justru disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum. Ketiga, kebijakan pemotongan pajak yang dilakukan berulang- ulang seringkali membuat wajib pajak nakal menunggu kebijakan yang sama di masa mendatang untuk melunasi kewajibannya.
Atau sikap lain yang tak kalah tidak baiknya adalah, mungkin wajib pajak akan merekayasa laporan keuangannya supaya kelihatan rugi selama lima tahun sampai kurang dari 10 tahun untuk mendapatkan pemotongan pajak penghasilan seperti yang termuat dalam PP No 18 Tahun 2015 yang telah dibahas.
Akhirnya perlu ditekankan, bahwa seringkali analisis dan saran kebijakan yang sudah diterapkan di negara-negara maju, seperti dalam analisis Kurva Laffer, belum tentu cocok diterapkan di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Laffer membuat analisis dengan kondisi administrasi perpajakan di negara-negara maju yang sudah tertib dan juga tiadanya penyelewengan moral dari wajib pajak karena sanksi hukum yang keras. (81)


 — Nugroho SBM, staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mohon maaf jika postingan ini menyinggung perasaan anda semua tapi saya hanya mau menceritakan pengalaman pribadi saya yang mengubah kehidupan saya menjadi sukses. Perkenalkan terlebih dahulu saya Sri Wahyuni biasa di panggil Mba Sri, TKI tinggal di kota Pontian johor Malaysia,Saya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, tapi saya tidak menyerah dengan keadaan saya, tetap ikhtiar.
pengen pulang ke indonesia tapi gak ada ongkos pulang. sempat saya putus asa,gaji pun selalu di kirim ke indonesia untuk biaya anak sekolah,sedangkan hutang banyak, kebetulan teman saya buka-buka internet mendapatkan nomor hp Mbah Suro (+6282354640471) katanya bisa bantu orang melunasi hutang nya melalui jalan togel dan pesugihan tampa tumbal... dengan keadaan susah jadi saya coba beranikan diri hubungi dan berkenalan dengan beliau Mbah Suro, Dan saya menceritakan keadaan saya.Beliau menyarankan untuk mengatasi masalah perekonomian saya,baiknya melalui jalan togel saja.Dan angka yang di berikan beneran tembus ,4607 dan saya dapat 275 juta alhamdulillah terima kasih banyak ya allah atas semua rerjekimu ini. walaupun ini melalui togel