Rabu, 15 Juli 2015

BELAJAR DARI KRISIS YUNANI

Oleh Nugroho SBM



Krisis Melanda Yunani. Negara tersebut terancam bangkrut dan akan dikeluarkan dari  Zona Euro. Sebabnya tak lain adalah Yunani gagal membayar utang kepada IMF senilai 1,6 miliar euro yang jatuh tempo 30 Juni 2015 lalu.  Utang tersebut merupakan bagian dari dana talangan lembaga donor untuk menyelematkan Yunani dari Krisis tahun 2008 yang disepakati tahun 2010 lalu.Untungnya IMF menyetujui perpanjangan pembayaran utang tersebut.
Namun, Yunani belumlah aman dari jebakan utang luar negeri karena akan ada utang luar negeri yang juga akan jatuh tempo. Utang luar negeri Yunani yang akan jatuh tempo pda Juli 2015 mencapai 5,95 miliar euro dan pada bulan Agustus 2015 mencapai 4,38 miliar euro. Akibatnya lembaga-lembaga internasional telah menurunkan peringkat Yunani dalam pembayaran utang. Standard & Poor’s menurunkan peringkat Yunani dari CCC ke CCC-. Sementara Fitch menurunkan peringkat bank-bank Yunani menjadi Restricted Default (Bangkrut Terbatas).
            Sebenarnya lembaga-lembaga donor yang mengutangi Yunani – terdiri dari IMF, Bank Sentral Eropa dan Komisi Eropa atau dikenal dengan Troika – telah menyiapkan dana talangan baru senilai 7,6 miliar Euro sebagai kelnjutana dari skema pinjaman untuk menyelamatkan Yunani  dari Krisis tahun 2008 yang disepakati tahun 2010.  Tetapi PM Yunani yang sekarang Alexis Tsipras keberatan dengan syarat Troika agar ia melakukan disiplin dan pengetatan anggaran. Lalu ia ingin meminta dukungan rakyat berupa referendum tentang apakah rakyat akan setuju dengan syarat Troika atau tidak. Referendum tersebut akan dilakukan pada 5 Juli 2015.
            Dampak dari krisis di Yunani tersebut tentu sangat menyakitkan bagi masyarakat dan investor. Pemerintah telah membatasi pengambilan uang tunai lewat ATM hanya 60 euro per hari. Pemerintah juga telah menerapkan aturan pembatasan modal yang bisa ke luar dari Yunani

Pelajaran
            Pelajaran apakah yang bisa dipetik dari krisis Yunani bagi Indonesia?  Pertama, negara yang tergantung pada utang luar negeri yang terus menerus bukanlah sesuatu yang baik. Yunani telah sejak lama tergantung pada utang luar negeri. Jumlah utang luar negeri yang disepakati oleh lembaga donor sejak tahun 2010 mencapai 240 miliar euro. Jumlah tersebut tentu merupakan beban bagi pemerintah Yunani dan rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia? Akhir Januari 2015 jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar 298,6 miliar dolar AS atau dengan nilai tukar Rp 13.000 an per dolar AS dalam nilai rupiah besarnya adalah Rp 3.904,195 triliun. Ini senilai dengan seluruh kredit yang disalurkan industri perbankan Indonesia. Jumlah ini meningkat 10,1 persen dibanding akumulasi sampai Januari 2014 lalu. Jadi ini ibarat minum air laut. Makin banyak minum maka akan makin haus untuk terus minum lagi. Jika Jokowi-JK konsisten dengan Nawa Citanya maka sudah saatnya utang luar negeri Indonesia dibatasi jika tidak ingin seperti Yunani.
            Kedua, pemanfaatan utang luar negeri haruslah dilakukan dengan benar dan displin kebijakan ekonomi haruslah tetap ditegakkan. Pada jaman pemerintahan sebelum PM Tsipras yaitu di era PM Lucas Papademos, Panagiotis Pikrammenos, dan Antonio Samaras kebijakan ekonomi dan anggaran Yunani cukup baik. Program penghematan pengeluaran pemerintah dijalankan dengan baik dan kebijakan ekonomi yang sehat dijalankan. Namun era tersebut harus berakhir ketika Tspras memenangi pemilu di Januari 2015 dengan tawaran program yang populis. Ia menghamburkan uang negara dengan program yang menyenangkan rakyatnya tetapi sifatnya tak produktif. Ketika Troika ememperingatkannya, Tsipras malah mengatakan bahwa Troika hendak mempermalukan, menekan, dan memeras Yunani. Tapi kini Tsipras harus membayar mahal. Atas dasar tersebut maka pemerintah Indonesia harus menjaga agar pengelolaan utang luar negerinya baik.  Salah satunya adalah dengan mewajibkan utang luar negeri yang mayoritas adalah utang jangka pendek dan utang swasta harus dilindungi dengan fasilitas lindung nilai tukar (hedging).
            Ketiga, krisis di Yunani juga disebabkan oleh adanya perilaku korup para pejabatnya serta penggelapan pajak besar-besaran yang dilakukan secara konspiratif antara petugas pajak dan pengusaha. Penerimaan pajak yang bisa digunakan untuk pembiayaan pemerintahan  menjadi sangat berkurang. Hal ini menyebabkan kepercayaan investor terhadap ekonomi Yunani juga kian terpuruk.
Indonesia saat ini juga menghadapi krisis kepercyaan dari para pelaku usaha dan pemegang uang. Hal itu tercermin dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tak kunjung membaik. Bahkan saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS encapai di atas Rp 13.000 per dolar AS. Padahal banyak analis mengatakan bahwa mestinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang wajar saat ini adalah Rp 12.500 per dolar AS. Hal tersebut dikaitkan dengan fundamen ekonomi Indonesia- yang tercermin dari misalnya cadangan devisa yang cukup besar dan terus menurunnya nilai impor - yang saat ini baik-baik saja. Berarti penyebabnya adalah krisis kepercayaan dari para pemilik uang dan pelaku usaha. Maka sudah saatnya pemerintah bekerja keras untuk terus merealisasikan beberapa program ekonomi yang akan memperbaiki iklim dunia usaha. Dikebutnya pembangunan jalan tol dan perbaikan jalan di berbagai wilayah merupakan langkah yang baik dan tepat dan perlu diikuti dengan kebijakan nyata yang lain dari pemerintah.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FEB Undip Semarang)

Sabtu, 13 Juni 2015

Mobilisasi Dana Dalam Negeri

Oleh Nugroho SBM

SAAT ini, ekonomi Indonesia lebih banyak bergantung pada dana dana asing, yang bisa ditunjukkan lewat beberapa indikator. Pertama; tahun 2015 kepemilikan asing di pasar saham mencapai 64,3%.
Kedua; hal sama terjadi di pasar obligasi, 70% transaksi dilakukan pemilik modal asing. Ketiga; dominasi asing di pasar Surat Utang Negara (SUN) ditunjukkan oleh besarnya transaksi, yaitu Rp 507,6 triliun atau 38,6% dari total SUN per April 2015. Celakanya, ada kecenderungan uang milik pemodal asing itu makin lama makin berubah bentuk menjadi ”uang panas”.
Semestinya, ekonomi yang baik meskipun bergantung pada dana milik asing, dana itu seiring berjalannya waktu makin ditempatkan dalam bentuk investasi asing langsung atau penanaman modal asing (PMA). Tahun 2014 modal asing yang masuk sebagai PMA tercatat 25,686 miliar dolar AS. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2013 sebesar 23,407 miliar dolar AS. Namun dana asing yang masuk sebagai ”uang panas” atau investasi portofolio juga meningkat lebih besar.
Kalau tahun 2013 dana asing dalam bentuk investasi portofolio 12,148 miliar dolar AS maka tahun 2014 meningkat drastis jadi 23,407 miliar dolar AS atau meningkat hampir 100% dan makin mendekati investasi asing langsung atau PMA. Ketergantungan terhadap dana asing tersebut membuat ekonomi Indonesia sangat berisiko.
Selain itu, kecenderungan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menjadi beban tersendiri mengingat beban impor dan utang luar negeri masih tinggi. Per Februari 2015, utang luar negeri Indonesia 298,888 miliar dolar AS, terdiri atas utang pemerintah 134,755 miliar dolar AS dan swasta 164,133 miliar dolar AS. Sebenarnya potensi dana milik orang Indonesia cukup besar.
Survei Mac Kinsey dan Mandiri Institute menunjukkan dana warga kita yang diparkir di Singapura 200 miliar dolar AS, dan 150 miliar dolar AS di antaranya ditempatkan di aset keuangan. Ini sebenarnya potensi sangat besar untuk menggantikan ketergantungan pada dana asing yang berisiko tinggi.
Ada dua kebijakan yang bisa diambil berkait fenomena tersebut. Pertama; mengubah dana asing dari investasi portofolio ke investasi langsung. Kedua; memobilisasi dana dalam negeri guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan awal yang bisa diambil adalah bagaimana mengubah dana asing dari investasi portofolio atau ”uang panas” menjadi investasi langsung. Untuk itu dibutuhkan kebijakan agar pemilik dana asing lebih tertarik menanamkan modal berupa investasi langsung, dan bukannya investasi portofolio.

Pembebasan Pajak
Pertama; ada arah kebijakan ekonomi yang membuat investor nyaman menanamkan modal, dan ini sudah dilakukan pemerintahan Jokowi-JK. Kedua; pembangunan infrastruktur secara besar-besaran perlu dipercepat.
Bila perlu mengubah kebijakan yang menghambat meski bertujuan baik semisal mencegah korupsi. Ketiga; memberantas praktik ekonomi biaya tinggi dalam bentuk pungutan resmi dan tidak resmi, terutama di daerah.
Kebijakan lain adalah memobilisasi dana milik warga Indonesia yang selama ini ”menganggur” dan diparkir di luar negeri. Bagaimana memulangkan dana tersebut semisal dengan membebaskan pajak andai dana itu ditanam sebagai tabungan atau deposito. Setelah dana itu pulang, bagaimana mendorong dana itu jadi investasi langsung.
Langkah lain adalah melakukan pendalaman di sektor keuangan (financial deepening) dengan menawarkan berbagai instrumen keuangan alternatif untuk masyarakat agar dapat menempatkan dananya, selain cara tradisional seperti tabungan dan deposito. Dangkalnya sektor keuangan Indonesia terlihat pada 77% aset sektor keuangan ada di perbankan. Itu pun lebih dari separuh penduduk belum memiliki rekening tabungan dan hanya 17% penduduk meminjam kredit dari bank.
Padahal ada pasar modal dan pasar surat utang yang menawarkan alternatif. Pihak pemerintah di pasar modal perlu menciptakan instrumen baru seperti obligasi dengan berbagai termin waktu jatuh tempo. Kebijakan bank tanpa kantor (branchless banking), uang elektronik atau uang nontunai, dan lain-lain perlu diteruskan. Dengan berbagai langkah itu maka dana milik warga Indonesia bisa dimobilisasi dan ditransmisikan ke sektor riil sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (10)


— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro

Senin, 25 Mei 2015

Mengatasi Pelambatan Ekonomi

Oleh Nugroho SBM

PEMERINTAHAN Jokowi-JK tampaknya tak sempat menikmati masa bulan madu yang panjang. Ada beberapa indikator makro ekonomi yang menunjukkan hal itu. Pertama; pertumbuhan ekonomi kuartal I-2015 hanya 4,7 persen, turun dibanding kuartal yang sama tahun 2014 dengan persentase 5,14. Ini semakin memberi tanda bahwa target pertumbuhan ekonomi di APBNP2015 sebesar 5,7 persen.
Kedua; angka pengangguran naik dari 5,70 persen pada kuartal I-2014 menjadi 5,81 persen pada kuartal yang sama 2015. Ketiga; nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga tak kunjung menguat. Akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh Rp 13.200.
Melemahnya indikator-indikator makro ekonomi itu, khususnya pertumbuhan ekonomi, disebabkan oleh faktor domestik sekaligus global. Faktor domestik antara lain belum selesainya penataan organisasi di kementerian dan lembaga baru sehingga dana APBN belum bisa dicairkan. Pelaksanaan pembangunan infrastruktur juga baru dimulai sehingga dampaknya mungkin baru dirasakan jangka menengah dan panjang.
Adapun faktor global yang membuat ekonomi Indonesia melemah ñ khususnya pertumbuhan ekonomi ñ adalah melemahnya ekonomi Tiongkok sebagai salah satu tujuan utama ekspor Indonesia. Di samping itu, faktor global lain adalah terus menurunnya harga komoditas primer. S&P mencatat harga komoditas global khususnya komoditas primer menurun 34 persen dalam 12 bulan terakhir secara kumulatif. Padahal ekspor Indonesia sampai saat ini masih didominasi komoditas primer.
Bagaimana mengatasi kemelemahan ekonomi Indonesia? Pertama; menjaga daya beli masyarakat dengan cara menjaga inflasi tetap rendah. Sampai saat ini konsumsi rumah tangga mencapai 55 persen dari produk domestik bruto sehingga mendongkrak konsumsi rumah tangga yang akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa komponen konsumsi rumah tangga, yaitu makanan, pakaian, gadget, transportasi, pendidikan, perumahan, kesehatan, dan rekreasi. Cara mendongkrak konsumsi rumah tangga adalah dengan menjaga inflasi tetap rendah. Biasanya inflasi bulan April rendah, tetapi data menunjukkan bahwa inflasi dari April 2014 sampai April 2015 mencapai 6,79 persen dan khusus April 2015 mencapai 0,36 persen. Padahal nanti masih ada musim liburan, tahun ajaran baru, dan bulan Ramadan.
Agar inflasi terjaga maka mau tak mau segala hal yang menyebabkan ekspektasi pelaku usaha bahwa inflasi akan naik bisa dicegah. Beberapa hal yang menyebabkan ekspektasi pengusaha bahwa inflasi akan naik antara lain pernyataan-pernyataan: pemerintah tidak akan mengimpor beras (sehingga diartikan harga beras akan naik), kuota sapi impor akan dipangkas (bisa diartikan harga daging sapi akan naik), premium akan diganti pertalite (biaya transportasi akan naik), dan lain-lain. Untuk sementara pernyataan-pernyataan seperti itu hendaknya ditunda dulu.
Sumber Inflasi
Hal lain yang perlu dilakukan untuk mengendalikan inflasi adalah mengefektifkan kerja Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) karena kepala BPS barubaru ini menyatakan bahwa inflasi nasional saat ini 80 persen disumbang oleh inflasi di daerah. TPID perlu memantau sumber-sumber inflasi, misalnya ulah spekulan yang menimbun barang.
Di samping itu, perlu memperpendek rantai distribusi barang dari produsen ke konsumen sehingga harga produk bisa lebih rendah. Caranya mendorong usaha eceran (retail) baik tradisional maupun modern ke pelosok-pelosok. Di samping itu pemanfaatan jalur rel kereta api ganda di utara Jawa bisa lebih dioptimalkan agar distribusi barang terjaga sehingga harga stabil.
Kedua; mempercepat pembangunan infrastruktur. Pemerintah telah mengalokasikan dana cukup besar untuk pembangunan infrastruktur di tahun 2015 yaitu Rp 290 triliun. Jumlah itu mencapai 25 persen dari total belanja pemerintah.
Kini tinggal bagaimana pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur dengan secara cepat menyelesaikan masalah-masalah yang biasa timbul yaitu pembebasan lahan, perizinan, proses lelang, serta benturan dan kekosongan aturan yang memayungi serta birokrasi yang berbelit.
Ketiga; mempercepat pencairan dana APBN. Pemerintah memang telah membentuk Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran untuk mempercepat realisasi anggaran. Tinggal kini bagaimana tim tersebut didorong untuk bekerja lebih cepat dan maksimal. Tak kalah penting adalah bagaimana agar restrukturisasi lembaga kementerian dan nonkementerian baru segera selesai supaya dana bisa segera dicairkan. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Semarang



Selasa, 05 Mei 2015

Mengkritisi Kebijakan Keringanan Pajak

Oleh Nugroho SBM

DI tengah target penerimaan pajak di APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2015 yang sangat tinggi yaitu Rp 1.489,3 triliun (atau naik Rp 109,3 triliun dari target di APBN 2015 sebesar Rp 1.380 triliun), pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kontroversial berupa keringanan pajak (tax allowance).
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2015 tentang Keringanan Pajak Bagi Penanam Modal yang terbit tanggal 6 April 2015 dan efektif berlaku rencananya 6 Mei 2015. Kebijakan Keringanan pajak tersebut berupa keringanan pajak penghasilan (PPh) sebesar lima persen selama enam tahun bagi perusahaan baru di bidang usaha tertentu.
Bidang usaha tertentu yang mendapat keringanan pajak adalah: pembibitan dan budidaya sapi potong; pengusahaan panas bumi, pertambangan bijih tembaga, emas, dan perak; industri makanan dari cokelat dan kembang gula serta makanan bayi; industri pemintalan benang dan kain rajutan; industri pemurnian dan pengilangan minyak bumi; industri bahan farmasi; industri ban; industri besi dan baja dasar; industri semi konduktor; industri kendaraan roda empat atau lebih; industri kapal dan perahu; angkutan perkotaan; bongkar muat barang; kegiatan pemrograman komputer; daan kawasan pariwisata.
Di samping itu, dalam paket kebijakan yang sama ditentukan juga perusahaan yang menderita kerugian selama lima tahun lebih tetapi kurang dari 10 tahun akan mendapat pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) dengan mempertimbangkan batas minimal kerugian dan penyerapan tenaga kerja. Sebenarnya kebijakan pemotongan dan pengampunan pajak tidak sekali ini saja diambil oleh pemerintah.
Pada 2008 kebijakan serupa pernah diambil oleh pemerinah. Bila ditelusuri, maka kebijakan pemotongan pajak maupun penurunan tarif pajak sudah banyak dilakukan oleh banyak negara. Bila dicari lebih jauh maka kebijakan yang kelihatannya kontroversial ini berasal dari seorang profesor bernama Arthur Laffer yang memaparkan hipotesisnya yang kemudian dikenal dengan Kurva Laffer sekitar tahun 1974.
Laffer adalah penasihat ekonomi Presiden AS waktu itu, Ronald Reagan. Ronald Reagan memperkenalkan kebijakan ekonomi yang kemudian dikenal sebagai Reaganomics. Inti dari kebijakan ekonomi Reagan adalah lebih menitikberatkan atau memihak kepada pengusaha atau produsen atau sektor produksi.
Reagan berpikir bahwa jika sektor produksi bisa bergerak dengan baik maka akan banyak tenaga kerja terserap sehingga pendapatan masyarakat akan meningkat pula. Meningkatnya pendapatan akan menyebabkan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi. Begitu seterusnya proses akan berlangsung.
Kebijakan Reagan yang demikian kemudian dijabarkan oleh Laffer dengan saran tentang perlunya pemotongan pajak baik nominal maupun tarifnya. Untuk menjabarkan idenya tersebut Laffer menggunakan ilustrasi grafik yang kemudian dinamakan Kurva Laffer. Kurva ini menggambarkan hubungan antara tarif pajak dengan penerimaan pemerintah dari pajak di APBN.
Ada tarif pajak yang memaksimalkan penerimaan pemerintah dari pajak. Setelah tarif tersebut maka jika pemerintah menaikkan tarif lagi maka justru penerimaan pemerintah dari pajak akan menurun.
Sebab penurunan penerimaan pemerintah dari pajak tersebut adalah tarif pajak yang terlalu tinggi menyebabkan adanya penggelapan pajak dan juga motivasi berproduksi dan bekerja akan turun sehingga basis pemungutan pajak pun akan turun. Apa yang dihipotesisikan oleh Laffer dengan Kurva Laffernya sudah banyak dibuktikan sercara empiris. Penulis juga pernah menjadi anggota tim peneliti tentang penerimaan cukai. Waktu itu pada 2004, target penerimaan cukai rokok pemerintah di APBN diperkirakan tidak akan tercapai.
Lalu Fakultas Ekonomi Undip diberi tugas oleh Kementerian Keuangan untuk meneliti apakah Kurva Laffer terbukti secara empiris dalam kasus cukai rokok. Ternyata hasil lapangan menunjukkan memang Kurva Laffer berlaku untuk kasus cukai rokok. Cukai rokok yang terus naik ternyata menyebabkan banyak terjadi penggelapan cukai (banyak rokok tanpa cukai beredar) dan banyak paabrik rokok mengurangi produksinya.
Pertanyaannya tepatkah kebijakan pemotongan pajak pada 2015 tersebut? Menurut penulis hal itu tidak tepat. Pertama, administrasi perpajakan di Indonesia masih belum sempurna. Banyak wajib pajak yang belum bisa didentifikasikan dengan baik. Dengan kata lain, kecilnya penerimaan pajak pemerintah bukan karena sudah terlalu tingginya tarif pajak tetapi karena banyak wajib pajak yang belum teridentifikasi.
Kedua, penggelapan pajak hasil kerja sama aparat pajak dan wajib pajak juga banyak terjadi bukan karena tarif yang terlalu tinggi, tetapi karena moral yang tidak baik dari petugas pajak dan wajib pajak.
Tarif pajak di Indonesia, sampai saat ini masih dalam batas wajar dan dibanding beberapa negara justru malah lebih rendah. Kongkalikong petugas pajak dan wajib pajak justru disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum. Ketiga, kebijakan pemotongan pajak yang dilakukan berulang- ulang seringkali membuat wajib pajak nakal menunggu kebijakan yang sama di masa mendatang untuk melunasi kewajibannya.
Atau sikap lain yang tak kalah tidak baiknya adalah, mungkin wajib pajak akan merekayasa laporan keuangannya supaya kelihatan rugi selama lima tahun sampai kurang dari 10 tahun untuk mendapatkan pemotongan pajak penghasilan seperti yang termuat dalam PP No 18 Tahun 2015 yang telah dibahas.
Akhirnya perlu ditekankan, bahwa seringkali analisis dan saran kebijakan yang sudah diterapkan di negara-negara maju, seperti dalam analisis Kurva Laffer, belum tentu cocok diterapkan di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Laffer membuat analisis dengan kondisi administrasi perpajakan di negara-negara maju yang sudah tertib dan juga tiadanya penyelewengan moral dari wajib pajak karena sanksi hukum yang keras. (81)


 — Nugroho SBM, staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip

Kamis, 23 April 2015

TAK DICINTAI, RUPIAH MELEMAH

Oleh Nugroho SBMKETIKA terjadi krisis ekonomi tahun 1998, yang dimulai dengan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ketika itu mencapai Rp 16.000 per dolar AS nya, muncul lagu anak-anak yang dinyanyikan Cindy Cenora berjudul “Aku Cinta Rupiah”.
Salah satu liriknya berbunyi: “….. Aku cinta Rupiah, biar dolar di mana- mana…, Aku suka Rupiah karena aku anak indonesia…” Apa yang digambarkan oleh lirik lagu tersebut, baik waktu itu (1998) maupun kini tampaknya tetap relevan.
Saat ini dibutuhkan kecintaan terhadap rupiah untuk mengangkat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah. Pada sisi yang lain, dengan kata lain, bisa dipertegas bahwa memang melemahnya rupiah karena lemahnya kecintaan orang Indonesia pada mata uang rupiah sehingga dibutuhkan kebijakan atau kesadaran sendiri untuk mencintai rupiah.
Data yang dikumpulkan Bank Indonesia dari laporan- laporan keuangan yang bisa diidentifikasi menunjukkan ada transaksi senilai 6 miliar dollar AS per bulan, yang menggunakan dolar AS, padahal seharusnya menggunakan rupiah karena terjadi di dalam negeri. Jika digabungkan dengan transaksi yang tak bisa diidentifikasi maka jumlah itu bisa lebih besar.
Penggunaan valuta asing (valas) atau dolar AS yang tak semestinya ini telah ikut menambah kebutuhan terhadap dolar AS. Dengan demikian dolar AS akan menguat (terapresiasi) dan sebaliknya rupiah melemah (terdepresiasi).
Para pihak yang menggunakan valas (dolar AS) ini antara lain adalah para importir yang sebenarnya menggunakan pembayaran dengan valas sampai di pelabuhan saja dengan penjual dari luar negeri. Tetapi importir meneruskannya sampai ke pembeli di hilir. Industri manufaktur juga melakukan hal serupa.
Sebagaimana diketahui industri manufaktur Indonesia masih tergantung pada bahan baku impor. Undang-Undang No 7 tahun 2011 tentang Mata Uang dengan tegas menyatakan bahwa hanya ada beberapa transaksi saja di dalam negeri Indonesia yang boleh menggunakan valas (yang sebagian besar memang dolar AS).
Beberapa transaksi yang diperbolehkan menggunakan valas (termasuk dolar AS) adalah: pertama, transaksi- transaksi dalam pelaksanaan APBN. Kedua, hibah dari dan kepada negara lain. Ketiga, transaski dalam hubungan ekonomi atau perdagangan internasional.
Keempat, simpanan dalam valas di bank-bank devisa. Dan kelima, penukaran valas di bank devisa atau di tempat penukaran valas karena memang bisnis bank devisa dan tempat penukaran valas terkait dengan valas.

Mengatasi Pelemahan
Semestinya selain kelima jenis transaksi tersebut, maka yang harus digunakan adalah mata uang rupiah. Guna memperkuat UU No 7 tahun 2011 tersebut, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 17/3/ PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Republik Indonesia.
PBI tersebut merupakan salah satu kebijakan untuk mengatasi pelemahan rupiah akhir-akhir ini dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Juli 2015. Kewajiban itu adalah untuk transaksi-transaksi nontunai yang merupakan 95 persen transaksi yang menggunakan valas.
Transaksi nontunai meliputi transaksi yang menggunakan cek, bilyet giro, kartu kredit, kartu debit, kartu ATM, dan uang elektronik. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan BI, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat agar rupiah dicintai. Pertama, bagaimana pun orang mencintai sesuatu kalau sesuatu itu patut dicintai. Demikian pula dengan rupiah.
Masyarakat dan dunia usaha akan mencintai rupiah kalau rupiah memang patut dicintai. Selama ini masyarakat dan dunia usaha tidak mencintai rupiah karena nilai tukar rupiah selalu bergejolak bahkan cenderung melemah (terdepresiasi). Untuk itu dibutuhkan kebijakan konsisten BI dan pemerintah untuk menahan depresiasi rupiah. Ini memang seolah dilema “mana telur mana ayam”.
Tetapi dilema itu haruslah diputus. Kedua, penerapan sanksi yang tegas jika seseorang atau badan melanggar PBI No 17/3/PBI/2015. Dalam PBI tersebut jika sesorang atau badan melanggar dengan tidak menggunakan rupiah untuk transaksi di dalam negeri yang diharuskan menggunakan rupiah maka dikenakan sanksi.
Pertama-tama, bank sentral akan menegur secara tertulis kepada perorangan atau korporasi yang menggunakan valas untuk transaksi nontunai di dalam negeri. Jika teguran tidak diindahkan, BI akan mengenakan denda sebesar 1% dari nilai transaksi, dengan maksimal denda Rp 1 miliar. Selanjutnya, apabila masih membandel, perorangan atau korporasi dilarang ikut dalam lalu lintas pembayaran.
Adapun untuk transaksi tunai, berlaku sanksi yang tercantum dalam UU No 7 tahun 2011 yaitu kurungan maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp 200 juta. Ketiga, perlu terus dilakukan kampanye oleh BI dan pemerintah agar masyarakat dan dunia usaha mencintai rupiah dengan menggunakannya untuk transaksi di dalam negeri.
Bagaimana pun rupiah adalah simbol kedaulatan dan kebanggan negara dan masyarakat Indonesia. Kalau masyarakat Indonesia sendiri tidak menggunakan dan mencintainya, lalu siapa lagi. Kesadaran seperti itulah yang mesti terus ditanamkan dalam diri masyarakat Indonesia.(81)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang



Sabtu, 11 April 2015

Rupiah dan Utang Luar Negeri

Oleh Nugroho SBM

SALAH satu kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia mengatasi pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS, yang sampai lebih dari Rp 13.000 per dolar, adalah dengan mendorong pengelolaan yang baik utang luar negeri (LN). Utang luar negeri ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, utang itu menjadi penyebab kemelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan di sisi lain nilai utang luar negeri kita naik tanpa penambahan utang baru.
Utang luar negeri menjadi penyebab kemelemahan kurs rupiah lewat kebutuhan dolar AS guna membayar pokok, bunga, dan cicilan utang tersebut. Adapun pengaruhnya terhadap pelemahan nilai tukar rupiah karena hal itu menyebabkan bertambahnya utang, cicilan, dan bunga utang tanpa menambah utang baru. Pelemahan rupiah menyebabkan butuh lebih banyak rupiah guna membayar cicilan, pokok, dan bunga utang luar negeri yang denominasinya dalam dolar AS.
Membahas kebijakan pengelolaan utang luar negeri, perlu lebih dulu mengetahui gambaran utang luar negeri Indonesia. Pertama; utang luar negeri terus bertambah. Akhir Januari 2015 mencapai 298,6 miliar dolar AS atau dengan nilai tukar Rp 13.000- an per dolar maka nilai rupiahnya Rp 3.904,195 triliun. Ini senilai dengan seluruh kredit yang disalurkan industri perbankan Indonesia. Jumlah ini meningkat 10,1% dibanding akumulasi sampai Januari 2014.
Kedua; dari sisi siapa yang berutang maka utang itu didominasi utang swasta. Utang luar negeri swasta kita saat ini 162,9 miliar dolar AS atau 54,6% dari total utang luar negeri kita. Akumulasi pertambahan utang luar negeri swasta ini sampai Januari 2015 dibanding Januari 2014 adalah 13,6%. Adapun utang luar negeri publik, yaitu dari BI dan pemerintah 135,7 miliar dolar AS.

Obligasi Global
Ketiga; utang luar negeri publik didominasi oleh utang pemerintah, yaitu 129,76 miliar dolar AS dengan pertambahan 9,1% saat ini dibanding akumulasi sampai Januari 2014 Pertambahan utang luar negeri pemerintah disebabkan pertambahan obligasi global yang diluncurkan pemerintah senilai 4 miliar dolar AS.
Keempat; dilihat dari denominasinya maka sebagian besar utang luar negeri kita dalam denominasi dolar AS. Sebesar 210,58 miliar dolar AS atau 70,59% dari total utang luar negeri Indonesia berdenominasi dolar. Utang luar negeri berdenominasi dolar AS ini tumbuh 10,2 persen.
Kelima, perlu melihat utang luar negeri jangka pendek Indonesia, yaitu utang luar negeri yang jatuh temponya kurang dari setahun karena utang jenis inilah paling menimbulkan dampak, dan paling terdampak bila rupiah melemah. Jumlah utang luar negeri jangka pendek Indonesia 45,544 miliar dolar AS.
Utang luar negeri jangka pendek didominasi utang swasta, yaitu 41,46 miliar dolar AS atau 91% dari total utang jangka pendek Indonesia.
Dari utang luar negeri swasta, yang agak mengkhawatirkan adalah sebagian besar utang luar negeri swasta jangka pendek itu didominasi swasta nonbank, yaitu 22,3 miliar dolar AS.
Ini mengkhawatirkan karena risikonya tak bisa dibagi dengan pihak lain. Seandainya dilakukan bank, ia bisa membaginya dengan menambahkannya pada bunga pinjaman. Keenam; banyak utang luar negeri pemerintah merupakan utang terikat. Artinya diberikan pihak asing dengan syarat misalnya harus memakai tenaga ahli atau bahan baku dari negara pemberi utang.
Untuk itu, pengelolaan utang luar negeri yang baik itu mensyaratkan beberapa hal. Pertama; pemerintahan Jokowi-JK perlu membatasi pertambahan utang baru sesuai dengan jiwa NawaCita, yaitu berdikari dalam ekonomi.
Kedua; saatnya pemerintah mengajukan restrukturisasi dan kalau perlu pembebasan utang luar negeri khusus untuk utang pemerintah, dengan penjadwalan kembali pelunasan dan meminta keringanan. Pembebasan utang dimungkinkan karena banyak utang luar negeri peninggalan Orba merupakan utang haram (odious debt), yaitu utang yang tak digunakan sebagaimana mestinya tapi dikorupsi dan untuk menindas rakyat.
Ketiga; pemerintah mengerem menerbitkan obligasi global karena hal itu justru membuat imbal belinya dinikmati pemilik uang asing dan menekan nilai tukar rupiah karena kebutuhan dolar AS untuk membayar bunganya.
Ketiga; mengingat mayoritas utang luar negeri, termasuk utang jangka pendek didominasi swasta maka perhatian kebijakan pengelolaan utang luar negeri harus diarahkan pada utang luar negeri swasta. Harus dimonitor agar swasta tak melakukan mismatch penggunaan utang, misalnya untuk investasi jangka panjang. Perlu pula diwajibkan utang luar negeri swasta dilindungi fasilitas lindung nilai tukar (hedging) agar terbebas dari risiko fluktuasi nilai tukar.
Keempat; perlu menganekaragamkan denominasi utang luar negeri. Artinya, tak hanya dalam dolar AS tetapi dalam aneka mata uang asing. Kelima; pemerintah perlu mencari utang luar negeri yang bebas, dalam arti tidak terikat syarat-syarat tertentu dari pemberi utang. (10)


Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FE) Universitas Diponegoro Semarang

Kamis, 19 Maret 2015

MENGATASI ANOMALI RUPIAH

Oleh Nugroho SBM

PEMERINTAH dan Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan paket kebijakan untuk mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (SM, 14/3/15). Arah kebijakan itu antara lain menjaga defisit transaski berjalan 2,5 sampai 3% dari produk domestik bruto (PDB), menjaga inflasi di kisaran 4%, mendorong pengelolaan utang luar negeri secara sehat, menjaga kesehatan pasar uang terhadap risiko kredit dan likuiditas, mendorong perbankan menyediakan fasilitas lindung nilai tukar (hedging), dan mendorong transaski dalam rupiah di dalam negeri.
Untuk menilai apakah paket kebijakan itu berhasil mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, perlu mengetahui dulu seluk-beluk pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Nilai tukar wajar rupiah terhadap dolar AS saat ini Rp 12.600 per dolar AS. Asumsi di APBNP2015 mendekati nilai tersebut, yaitu Rp 12.500.
Fundamen ekonomi Indonesia pun sebenarnya mendukung nilai tukar wajar rupiah terhadap dolar AS dan asumsi di APBNP2015. Pertama; arus modal asing masuk dalam surat berharga terus meningkat. Kepemilikan asing di saham di bursa sampai Maret 2015 mencapai Rp 10,3 triliun dan di obligasi pemerintah Rp 508 triliun (40% dari total obligasi pemerintah).
Kedua; neraca pembayaran Indonesia juga mengalami surplus di tahun 2014 sebesar 17,4 miliar. Kondisi ini lebih baik dari 2013 ketika neraca pembayaran Indonesia defisit 7,1 miliar dolar AS. Ketiga; tahun 2014 sebenarnya rupiah lebih perkasa dibanding mata uang lain karena hanya terdepresiasi 1,75%. Bandingkan dengan yen Jepang (12,1%), ringgit Malaysia (6,3%), dolar Taiwan (5,8%), dolar Singapura (4,7%), won Korsel (3,2%), yuan Tiongkok (2,4%), dan rupee India (1,81%).
Keempat; pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tahun 2015 ini terjadi secara gradual, yaitu 3 tahun 6 bulan dari posisi Rp 8.500 per dolar AS tahun 2011 menjadi Rp 13.000-an tahun 2015. Hal ini berbeda dari 2008 saat terjadi krisis keuangan di AS dan Eropa ketika rupiah melemah secara tiba-tiba 39%, dari Rp 9.073 per dolar AS menjadi Rp 12.650 dalam waktu hanya 3 bulan.

Menekan Permintaan
Fakta-fakta itu menuntun pada kesimpulan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sampai Rp 13.000 lebih adalah anomali. Penyebabnya adalah adanya unsur ketidakpastian dan spekulasi. Ada spekulan raksasa yang bermain dalam situasi sekarang ini.
Mereka punya modal besar dan bisa seenaknya mempermainkaan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Adapun unsur ketidakpastian pasti menimbulkan kepanikan bagi pemilik uang terkait realisasi kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang sekarang yang belum tampak. Misalnya bagaimana alokasi dana dari hasil penghematan subsidi BBM dilaksanakan.
Bagaimana paket kebijakan baru pemerintah dan BI untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar? Kebijakan ini meredam dari sisi fundamen ekonomi Indonesia yang sebenarnya baik-baik saja. Pertama; kebijakan untuk menekan defisit transaksi berjalan memang baik untuk menekan permintaan terhadap dolar AS yang bisa membuat dolar AS terapresiasi atau rupiah terdepresiasi.
Kedua; kebijakan menekan inflasi juga arahnya menekan depresiasi rupiah terhadap dolar AS dengan cara membatasi rupiah yang beredar. Kalau jumlah rupiah berkurang dan dolar AS tetap maka nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami apresiasi.
Ketiga; pengelolaan utang luar negeri yang sehat akan mendukung pengaturan penggunaan valuta asing atau cadangan devisa di dalam negeri. Barangkali yang dimaksud dengan pengelolaan utang luar negeri yang sehat adalah bagaimana mengatur agar jatuh tempo utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, tidak bersamaan sehingga kebutuhan dolar AS untuk membayarnya tidak bersamaan dalam jumlah besar hingga menimbulkan kepanikan seperti pada krisis 1997.
Keempat; mendorong perbankan menyediakan faisilitas lindung nilai untuk utang luar negeri merupakan kebijakan yang menarik. Dengan fasilitas itu maka pengusaha yang mempunyai utang luar negeri akan terlindungi dari risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini akan mengurangi faktor psikologis atau kepanikan yang bisa membuat rupiah terjerembab lebih dalam.
Kelima; mendorong penggunaan transaksi dalam rupiah di dalam negeri merupakan kebijakan inovatif. Selama ini, kebijakan konvensional yang dikeluarkan BI untuk menekan depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah menekan pasokan atau penawaran rupiah. Sebenarnya bisa saja membatasi penggunaan dolar AS untuk transaksi di dalam negeri dan mendorong penggunaan rupiah, khususnya untuk transaski di dalam negeri. Jadi kebijakan ini sudah benar dan inovatif. Namun, semua itu memerukan kebijakan untuk mengatasi sumber anomali, yaitu spekulasi dan ketidakpastian. (10)


Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Semarang