Minggu, 23 November 2008

LAGI-LAGI RENOVASI DAN RELOKASI PASAR

LAGI-LAGI RENOVASI DAN RELOKASI PASAR

Oleh: Nugroho SBM

Lagi-lagi masalah relokasi dan renovasi pasar. Begitulah kira-kira reaksi masyarakat jika membaca tentang ribut-ribut masalah rencana relokasi pasar ayam Rejomulyo Semarang. Ribut-ribut tersebut berupa penolakan sebagian besar pedagang di pasar ayam Rejomulyo untuk pindah. Ribut-ribut itu mencapai puncaknya ketika sosialisasi yang dilakukan oleh Pemkot Semarang yang dipimpin oleh Sekretaris Kota Semarang Soemarmo ricuh. Sosialisasi ricuh dan gagal setelah para pedagang meninggalkan pertemuan dan justru memilih berdemonstrasi di depan gedung rapat paripurna DPRD Kota Semarang.
Sebagaimana diketahui alasan utama Pemkot memindah Pasar Ayam Rejomulyo adalah pencemaran lingkungan akibat limbah pemotongan ayam di pasar tersebut. Di samping itu bahaya penyakit misalnya flu burung yang sewaktu-waktu bisa menyebar. Dari alasan yang dikemukakan ini, sebenarnya alasan Pemkot Semarang sangat rasional dan demi kepentingan umum yang lebih besar yaitu penduduk yang sangat padat yang bermukim di sekitar pasar Rejomulyo.
Kembali kepada masalah relokasi Pasar Ayam Rejomulyo, jika kita mau belajar dari kasus-kasus yang terjadi dalam renovasi maupun relokasi pasar tradisional maka ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran agar relokasi Pasar ayam Rejomulyo berjalan sukses. Pertama, kunci sukses dalam relokasi dan renovasi pasar tradisional adalah bagaimana mensosialisasikan hal tersebut kepada para pedagang yang ada di dalam pasar tersebut. Seperti terungkap di media massa, keberatan para pedagang ayam di Pasar Rejomulyo adalah karena jarak antara sosialisasi (pemberitahuan) yang dilakukan Pemkot Semarang dengan rencana relokasi begitu dekat dan mendadak. Para pedagang mengaku tidak tahu menahu rencana relokasi tersebut jauh hari sebelumnya. Maka jika ingin relokasi sukses, Pemkot harus sabar untuk melakukan sosialisasi dalam jangka panjang dengan melakukan pendekatan terhadap beberapa tokoh yang menjadi panutan pedagang misalnya ketua paguyuban pedagang ayam dan para sesepuh.

Faktor Lokasi
Rahasia sukses kedua, adanya jaminan dari Pemkot bahwa para pedagang dapat menempati lokasi yang baru dan lokasi baru tersebut menjamin akses yang mudah bagi pembeli. Selama ini baik renovasi maupun relokasi pasar tradisional gagal karena pasar hasil renovasi atau relokasi biaya sewa atau harga beli kios atau lapaknya mahal. Akibatnya pedagang lama tidak bisa masuk ke pasar hasil relokasi dan renovasi tersebut. Maka salah satu daya tarik agar para pedagang mau pindah dan menempati pasar yang baru Pemkot harus menjelaskan bahwa biaya menempati los atau lapak di pasar yang baru adalah murah. Dapat diaksesnya lokasi pasar hasil relokasi juga merupakan faktor yang penting. Ditinjau dari aspek ini, lokasi pasar yang baru sebagai pengganti Pasar Rejomulyo yaitu di Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Penggaron, tidak memenuhi syarat. Lokasi pasar yang baru di penggaron sangat jauh sehingga bisa dimaklumi kalau para pedagang menolak
Jalan ke luar dari masalah lokasi ini adalah Pemkot hendaknya mencari lokasi yang dapat dijangkau oleh para pembeli dengan mudah. Mungkin bisa ditempuh tukar guling antara lahan milik Pemkot dengan lahan milik perorangan yang lokasinya mudah dijangkau oleh pembeli. Kesulitannya mungkin Pemkot tidak punya lahan untuk ditukar dan bila ada mungkin nilainya lebih rendah dari lahan milik perorangan yang lokasinya lebih strategis sehingga harus ada dana talangan dari APBD. Untuk mendapatkan alokasi dana dari APBD bukanlah barang mudah karena harus ada persetujuan dari DPRD. Oleh karena itu, dalam jangka panjang Pemkot Semarang harus punya Bank Lahan. Yang dimaksud adalah Pemkot harus punya simpanan lahan yang diperoleh dengan cara membeli lahan-lahan milik perorangan. Bank lahan ini akan sangat berguna bila sewaktu-waktu Pemkot membutuhkan lahan untuk membangun sarana dan prasarana publik.
Masalah lain yang sering terjadi dalam khususnya relokasi pasar adalah adanya “misteri lokasi pasar”. Maksudnya seringkali lokasi pasar yang baru tidak jauh dari pasar yang lama tetapi pasar yang baru tersebut menjadi sepi. Penjelasan rasional dari hal ini mungkin adalah masalah kebiasaan para konsumen untuk menyesuaikan dengan lokasi yang baru.
Akhirnya, masalah relokasi dan renovasi pasar memang harus dilakukan dengan hati-hati. Jika tidak, akibatnya bisa fatal. Seorang perencana kota pernah mengatakan bahwa pasar mirip dengan kubangan air yang di dalamnya hidup berbagai jasad renik. Memindahkan kubangan atau mengeringkan kubangan tersebut akan mematikan jasad-jasad renik tersebut. Analoginya, pasar merupakan tempat banyak orang mencari nafkah. Demikian pula di Pasar Ayam Rejomulyo. Ada pedagang ayam, ada kuli angkut, ada tukang becak, ada mobil-mobil pengankut, tukang parkir, warung-warung makan, dan pemotong ayam. Jika tidak hati-hati memindahkan Pasar Rejomulyo maka nafkah dari sekian banyak orang itu akan hilang. Dan jika terjadi demikian maka itu adalah kesalahan kebijakan yang tak terampunkan.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)