Oleh: Nugroho SBM
Akhirnya Barrack Obama dari Partai Demokrat dilantik sebagai Presiden AS yang baru, menggantikan George W Bush dari Partai Republik. Banyak pihak yang optimistis bahwa terpilihnya Obama akan membawa perbaikan bagi perekonomian dunia, AS, dan Indonesia sekaligus.
Optimisme itu dilandasi pada paket program ekonominya yang berbeda dengan rivalnya John Mac Cain dari Partai Republik. Dan khusus untuk Indonesia, optimisme bahwa Obama dalam kebijakan hubungan luar negerinya dalam berbagai aspek (terutama ekonomi) akan lebih menguntungkan Indonesia dilandasi oleh fakta historis bahwa dia masih mempunyai darah Indonesia dan pernah tinggal di Indonesia.
Tentang paket program ekonominya, Obama sesuai dengan ciri kebijakan ekonomi Partai Demokrat, lebih pro kepada campurtangan pemerintah yang lebih besar. Campurtangan pemerintah yang lebih besar tersebut dimaksudkan agar aspek keadilan dan kesejahteraan masyarakat banyak dapat tercapai. Hal ini berbeda dengan garis kebijakan ekonomi Partai Republik yang lebih pro pasar dan pengusaha-pengusaha besar.
Kebijakan Ekonomi Partai Republik- yang terakhir dikomandani oleh Presiden Bush - yang pro kepada mekanisme pasar dan pengusaha besar ternyata terbukti telah menjerumuskan ekonomi AS ke dalam krisis keuangan yang parah. Krisis keuangan AS tersebut akhirnya menyeret beberapa negara ke dalamnya. Kebijakan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar ternyata tidak mampu menahan siklus ekonomi.
Demikian pula kebijakan yang pro kepada para pengusaha besar ternyata juga menjerumuskan AS ke dalam krisis keuangan. Para pengusaha besar ternyata memainkan uangnya lewat transaksi-transaksi keuangan derivatif yang tak ada kaitannya dengan sektor riil yang kemudian membentuk ekonomi gelembung (buble economic) dan pada akhirnya gelembung itu pecah. Maka lahirlah krisis keuangan AS.
Dalam kampanyenya Obama mengatakan akan menjalankan program “redistribusi kekayaan”. Caranya antara lain dengan mengenakan pajak penghasilan (payroll tax) 6,2 persen kepada mereka yang berpenghasilan di atas 250.000 dolar AS per tahunnya. Hasilnya akan diberikan sebagai subsidi bagi golongan ekonomi lemah. Program ini telah banyak dikomentari sebagai mirip-mirip dengan ide Karl Marx tentang program redistribusi kekayaan yang terkenal dengan semboyan “ Dari seseorang sesuai kemampuannya kepada orang lain sesuai kebutuhannya”.
Program-program ekonomi Obama yang pro pada masyarakat luas khususnya mereka yang kecil, miskin, lemah dan tersingkir mungkin dalam waktu pendek akan melambatkan pertumbuhan ekonomi AS. Tetapi dalam jangka panjang jika distribusi pendapatan masyarakat AS lebih merata maka pertumbuhan ekonomi akan kembali naik dan lebih berkesinambungan daripada yang sekarang. Jika ini terjadi maka hal ini juga akan menguntungkan bagi negara-negara lain termasuk Indonesia yang tujuan ekspornya ke AS.
Dalam jangka pendek, terpilihnya Obama membawa sentimen positif di pasar modal dan pasar valuta asing seperti terlihat dari menguatnya Indeks Harga Saham di bursa-bursa saham di dunia pada umumnya dan di AS pada khususnya. Sentimen positif tersebut karena para pelaku pasar optimis terhadap paket program ekonomi Obama yang lain dengan kebijakan ekonomi Bush sehingga diharapkan mampu memperbaiki kondisi ekonomi AS dan dengan demikian juga ekonomi dunia.
Di samping itu, keyakinan bahwa paket program ekonomi Obama akan bisa mengangkat ekonomi AS juga disebabkan oleh adanya staf ahli yang digandeng oleh Obama dalam kampanyenya (dan kemungkinan besar akan menjadi staf tetapnya) yang merupakan staf ahli ekonomi Bill Clinton. Dan pada saat kepemimpinan Clinton, ekonomi AS menunjukkan kinerja yang cukup baik.
Optimisme Indonesia
Di samping disambut optimis akan memperbaiki kondisi ekonomi AS dan dunia, terpilihnya Obama sebagai presiden AS secara khusus disambut sangat optimistik oleh masyarakat Indonesia. Alasannya sebenarnya sangat sederhana yaitu Obama pernah tinggal di Indonesia dan ada keturunan Indonesia mengalir dalam darahnya. Tetapi benarkah dengan alasan itu, Obama dalam kebijakan luar negerinya khususnya di bidang ekonomi akan lebih memperhatikan Indonesia? Jawabannya tidak.
Kebijakan luar negeri –termasuk di dalamnya kebijakan dalam hubungan ekonomi dengan negara-negara lain- terutama untuk negara besar seperti AS tidaklah didasari oleh romantisme masa lalu tetapi oleh pertimbangan rasional. Pertimbangan rasional tersebut adalah apakah negara-negara yang akan dijadikan patner dagang ataupun diberi bantuan ekonomi mempunyai arti strategis atau tidak bagi AS. Bukti-bukti selama masa kampanye dan karir politik Obama menunjukkan bahwa Obama tidak memandang Indonesia sebagai negara yang strategis bagi AS.
Minimal ada dua bukti yang menunjukkan bahwa Obama tidak memandang strategis Indonesia. Pertama, baik di dalam debat maupun kampanye Obama tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang perlunya menjalin hubungan lebih intensif dengan Indonesia. Dalam kampanyenya yang bisa dilihat di webnya (http://www.Obama.com), ia hanya menyatakan bahwa dalam kebijakan luar negerinya ia akan mencari kerjasama-kerjasama baru di Asia (Seek New Patnerships in Asia). Tetapi ia tidak secara spesifik menyebut Indonesia.
Bukti kedua, selama masih menjadi anggota senat Obama sebenarnya duduk di Komisi Hubungan International di Sub Komisi Asia Timur dan Pasifik. Selama duduk di sana, tak sekalipun Obama mengangkat isu-isu tentang Indonesia. Memang ada yang mengatakan bahwa isu tentang Indonesia kalah dengan isu tentang China, Korea Utara, Afganistan, India, dan Jepang. Tetapi ada beberapa senator lain seperti:Kit Bond, Patrick Leahy, Eni Faleomavaega, dan Robert Wexler yang rajin berbicara tentang Indonesia. Ada dua kemungkinan mengapa Obama tak pernah berbicara tentang Indonesia di konggres ataupun senat: pertama, ia sadar bahwa sejak ia diangkat menjadi anggota senat Januari 2005 ia tidak mau diasosiasikan dengan Indonesia karena hal itu bukan sesuatu yang menguntungkan sebagai bekal calon presiden. Kedua, memang ia tak berpikir bahwa Indonesia adalah negara yang strategis bagi AS. Tetapi dua kemungkinan tersebut tetap mempunyai kesimpulan yang sama yaitu Indonesia bukan negara yang penting bagi AS.
Ketidakstrategisan Indonesia dipandang dari sisi kepentingan AS versi Obama tersebut masih ditambah lagi dengan kenyataan bahwa di AS Hak Budget (Hak menyetujui anggaran atau APBN) dari Konggres bisa membatalkan berbagai kebijakan presiden termasuk kebijakan luar negeri. Memang sampai saat ini mayoritas anggota Konggres berasan dari Partai Demokrat (Partai Asal Obama). Tetapi banyak pengamat menyatakan bahwa meskipun berasal dari Partai Demokrat, tetapi Obama dikenal sebagai sosok yang sangat liberal. Hal itu dapat dilihat misalnya tentang persetujuannya terhadap perkawinan sesama jenis dan aborsi (pengguguran kandungan). Banyak anggota Partai Demokrat yang lebih konservatif yang mungkin tidak senang terhadap pandangan Obama tersebut dan bisa mempengaruhi pandangan politik mereka terhadap Obama.
Kemungkinan yang lebih buruk barangkali bisa terjadi yaitu terpilihnya Obama justru menjadi batu sandungan atau berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Sebagaimana diketahui sebagai calon dari Partai Demokrat – dan juga berkali-kali diucapkannya pada masa kampanye- Obama sangat memperhatikan isu-isu Hak Asasi Manusia, Hak-Hak Kaum Buruh, Peran Militer, Kelestarian Lingkungan Hidup, dan lain-lain. Ia berjanji akan meninjau kembali berbagai pernajian perdagangan bebas antara AS dengan negara-negara lain baik multilateral maupun bilateral jika negara yang terikat perjanjian itu tidak memperhatikan HAM, Hak-hak buruh, kelestarian lingkungan hidup, dan lain-lain. Jika benar demikian celakalah Indonesia sebagai patner dagang dan ekonomi AS karena justru terkait dengan isu-isu tersebut hubungan Indonesia- AS sering mengalami masalah.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar Jurusan IESP FE Undip Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar