EKONOM: PENGUATAN RUPIAH BERSIFAT TEMPORER
Semarang, 10/8 (ANTARA) - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menyatakan, penguatan rupiah terhadap dolar AS belakangan ini bersifat temporer karena sebagian besar modal yang mengalir ke Indonesia berupa investasi portofolio jangka pendek.
"Sebagian mengalir ke pasar saham, yang terlihat dari terus naiknya indeks harga saham gabungan (IHSG). Surat utang negara (SUN) dan sertifikat Bank Indonesia yang menawarkan bunga tinggi juga menjadi incaran investor asing," katanya di Semarang, Selasa.
Karena SUN dijamin oleh negara, menurut dia, seharusnya bunga yang diberikan tidak harus jauh melampaui bunga deposito, namun imbalan yang diberikan SUN bisa sampai 10 persen per tahun, sementara deposito paling tinggi tujuh persen.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa hari terakhir ini berada di bawah Rp9.000. Selasa (10/8) pagi kursnya Rp8.950-Rp8.960, sedikit melemah setelah sehari sebelumnya pada Rp8.924-Rp8.934 per dolar AS.
Menurut Nugroho, imbalan bunga SUN dan SBI yang lebih tinggi dibanding dengan yang ditawarkan negara lain mendorong banyak pengelola uang menginvestasikan modal untuk membeli surat berharga tersebut sehingga posisi rupiah lebih kuat.
Namun, Nugroho menyatakan, investor akan segera melepas surat berharga itu bila melihat ada peluang investasi lain jangka pendek yang lebih menguntungkan, misalnya, dengan membeli saham perusahaan tertentu yang dinilai cukup murah.
"Pengelola `uang panas` (hot money) ini akan terus mencari peluang investasi yang bisa memberi keuntungan lebih besar dalam jangka pendek," kata kandidat doktor UGM Yogyakarta itu.
Ia menambahkan, situasi sosial politik dan kondisi makroekonomi yang relatif baik, yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,5 persen, dan inflasi di bawah dua digit, menjadikan Indonesia sebagai tempat yang menguntungkan untuk berburu rente jangka pendek.
Ketika ditanyakan apakah kurs rupiah di bawah Rp9.000 terhadap dolar AS saat ini merupakan nilai yang mencerminkan keseimbangan pasar, Nugroho menyatakan, yang bisa menilai adalah Bank Indonesia karena institusi ini memiliki data dan indikator untuk menentukannya.
Yang pasti, katanya, setiap pergerakan kurs selalu membawa konsekuensi bagi perekonomian domestik.
"Menguatnya rupiah belakangan ini tentu akan memukul eksportir karena menekan daya saing produk mereka di pasar global dan menurunkan pendapatannya. Di sisi sama, melemahnya dolar menyebabkan barang impor membanjiri pasar domestik," katanya.
Solusi klasik yang sejak dulu ditawarkan namun tidak mudah implementasinya, kata Nugroho, adalah mempermudah perizinan dan memperbaiki infrastruktur untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di sektor manufaktur.
"Kalau investor (asing) membangun industri atau pabrik di sini, dampak berantai (multiplier effects) ekonominya lebih permanen, termasuk dalam jumlah penyerapan tenaga kerja," katanya.
Ia menambahkan, sudah saatnya pelaku bisnis tidak lagi berorientasi pada penciptaan produk murah, namum beralih pada produk bermutu berbasis industri kreatif yang memiliki nilai tambah tinggi.
"Pengalaman selama ini, dalam perdagangan global yang terbuka, produk murah dengan cepat tersaingi barang serupa dari negara lain yang lebih murah," katanya.
(U.A030/B/M028/M028) 10-08-2010 11:17:28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar