Senin, 30 Agustus 2010

RAPBN 2011 DAN INFRASTRUKTUR

Oleh Nugroho SBM
PRESIDEN SBY mendapatkan tepuk tangan meriah ketika dalam pidatonya menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur pada tahun depan akan mendapat prioritas. Apalagi dikatakan bahwa belanja modal pemerintah Rp 121 triliun dialokasikan sebagian besar untuk infrastruktur.

Pemerintah juga menargetkan belanja untuk infrastruktur secara keseluruhan bekerja sama dengan swasta lewat public-private partnership (PPP) akan mencapai Rp 1.500 triliun. Prioritas pembangunan infrastruktur ini disambut antusias karena infratsruktur merupakan kendala utama Indonesia dalam menarik investasi.
Berdasarkan Global Competitiveness Index 2009/2010, daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-54, jauh di bawah Malaysia (24) dan Thailand (36). Halangan utama bagi Indonesia untuk menarik investasi, dalam laporan yang sama, adalah kualitas dan kuantitas infrastruktur yang jelek. Penyumbang utama jeleknya kualitas infrastruktur adalah jalan (berada di peringkat 94) dan pelabuhan (peringkat 95).

Tetapi antusiasme dan tepuk tangan meriah tersebut tampaknya tak cukup beralasan jika anggaran total pembangunan infrastruktur tahun 2011 bekerja sama dengan swasta sebesar Rp 1.500 triliun tersebut dibandingkan dengan negara-negara lain. Anggaran pembangunan infrastruktur Rp 1.500 triliun tersebut kira-kira hanya 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Angka 3 persen tersebut lebih rendah dibanding negara-negara lain, misalnya Laos (4 persen), Mongolia (7,5 persen), Brasil (5 persen), apalagi China (10 persen). Rendahnya anggaran infrastruktur sampai saat ini disebabkan oleh kendala yang dihadapi oleh pemerintah dan swasta secara sendiri-sendiri maupun swasta dan pemerintah dalam kerja sama swasta pemerintah (public-private partnership).

Sikap Konservatif

Dari sisi pemerintah, APBN memang terlalu kecil untuk membiayai pembangunan infrastruktur karena beban lain yang sudah terlalu berat, misalnya untuk pembayaran utang luar negeri. Mereka yang optimistis menyatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB terus menurun dari 100 persen lebih saat krisis ekonomi 1997/1998 menjadi kini hanya sekitar 28 persen.

‘’Ruang yang sempit’’ dari APBN untuk membiayai pembangunan infratsruktur masih ditambah lagi dengan sikap konservatif pemerintah yang mematok defisit RAPBN 2011 hanya 1,7 persen dari PDB atau Rp 115 triliun seperti tahun-tahun sebelumnya. Defisit ini terlalu kecil karena berdasar pengalaman masa-masa lalu realisasi defisit hanya 1,4 persen dari PDB.

Semestinya pemerintah lebih berani mematok defisit RAPBN sampai 2 persen dari PDB atau batas maksimal yang ditetapkan oleh UU tentang Keuangan Negara.
Dari sisi swasta sendiri, pembangunan infrastruktur menghadapi minimal dua kendala. Pertama, biaya besar dan tidak mungkin ditanggung sendiri. Di sisi yang lain, pinjaman ke bank juga tidak mudah karena bank dibatasi oleh aturan batas maksimum pemberian kredit (BMPK).

Maka usulan beberapa pihak agar BI melonggarkan BMPK khusus untuk kredit bagi pembangunan infrastruktur perlu direalisasikan. Kedua, kendala lain yang dihadapi oleh swasta untuk membangun infrastruktur kemudian mengoperasikannya adalah risiko investasi yang sangat besar.

Dari pihak pemerintah ada dua kendala. Pertama, kecurigaan pemerintah bahwa swasta motivasi utama dalam pembangunan infrastruktur adalah keuntungan. Untuk mengatasi hal ini pemerintah bisa menerapkan aturan semacam CSR. Kendala kedua, dari pihak pemerintah adalah adanya birokrasi yang masih berbelit yang bagaimanapun harus ditaati oleh aparat pemerintah. Sebab jika tidak ditaati maka ia akan diseret ke meja hijau dengan tuduhan korupsi.

Dari pihak swasta juga ada kendala. Pertama; adanya persepsi bahwa mereka akan dijadikan sapi perah. Berbagai pungutan baik resmi maupun tidak akan mengadang mereka. Untuk mengatasi, pemerintah perlu menindak tegas aparatnya yang korup. Kedua, swasta juga menganggap bahwa kerja aparat pemerintah lamban dan tak bisa mengimbangi swasta yang cepat dan profesional. Karenanya, pemerintah perlu memikirkan kembali sistem rekrutmen serta kontraprestasi bagi pegawai yang menghasilkan pegawai negeri yang profesional, bersih, dan cekatan. (10)

— Nugroho SBM, staf pengajar Fakultas Ekonomi, peneliti pada Pusat Sudi Dampak Kebijakan Undip

Tidak ada komentar: