Oleh Nugroho SBM
Jarang sekali diungkap dalam pemberitaan media massa soal kepentingan ekonomi AS terhadap Indonesia dalam kunjungan Presiden Obama baru-baru ini. Padahal mungkin sekali dalam pertemuan tertutup antara presiden SBY dan Obama, kepentingan ekonomi ini dibicarakan dengan sangat serius.
Kepentingan ekonomi AS tersebut adalah bagaimana meningkatkan kembali peran ekonomi AS ke Indonesia . Sebagaimana diketahui neraca perdagangan Indonesia-AS selalu surplus untuk Indonesia sejak tahun 2005. Pada tahun 2009 surplus tersebut berjumlah 3,7 miliar dolar dan selama periode Januari-Agustus 2010 surplus 2,8 miliar dolar.
Data yang lain menunjukkan bahwa impor Indonesia dari AS akhir-akhir ini juga lebih kecil dibanding impor Indonesia dari negara-negara lain. Berdasarkan data statistik bulan November 2009, impor nonmigas Indonesia dari AS menempati urutan keempat dan hanya mencapai 7,91 persen dari total impor nasional, jauh di bawah China yang sebesar 17,92 persen, disusul Jepang 13,47 persen dan Singapura 10,92 persen.
Melemahnya peran ekonomi AS di Indonesia ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, gempuran krisis keuangan yang dimulai dari AS dan menglobal yang sekarang belum sepenuhnya berakhir. Kedua, adanya ACFTA (ASEAN China Free Trade Area) yang membuat dominasi ekonomi China di ASEAN umumnya dan Indonesia pada khususnya semakin menguat. Karena itu, kunjungan Presiden Obama ke Indonesia salah satu agendanya adalah untuk meningkatkan ekspor negaranya Ke kawasan ASEAN, khususnya Indonesia. Hal tersebut dinyatakan sendiri oleh Obama sebelum kunjungannya bahwa jika AS hanya meningkatkan sedikit nilai persen ekspornya ke ASEAN, maka hal itu artinya ratusan, ribuan, mungkin jutaan lapangan pekerjaan di AS akan bertambah.
Bagaimana Caranya?
Bagaiamana cara AS memingkatkan kembali ekspor produk dan jasanya ke Indonesia? Selama ini memang ada beberapa cara yang digunakan AS untuk memasarkan produk dan jasanya ke berbagai negara. Pertama, lewat paket-paket utang luar negeri yang terikat syarat-syarat tertentu (Tied Loans). AS baik secara bilateral maupun lewat lembaga-lembaga donor akan memberi bantuan dan utang luar negeri dengan syarat tertentu misalnya tenaga asing dan bahan yang digunakan dalam proyek dan program yang didanai dengan utang luar negeri harus berasal dari AS.
Kita ingat pola ini dalam kasus bantuan untuk program keluarga berencana (KB). Dalam paket bantuan untuk program KB tersebut salah satu alat kontrasepsi yang dipakai adalah susuk KB yang berasal dari pabrik salah satu negara pemberi bantuan untuk Indonesia. Yang menjadi masalah adalah ternyata susuk KB tersebut di negara salnya sudah tidak boleh digunakan karena alasan kesehatan. Rupa-rupanya perusahaan pembuat susuk tersebut tidak mau rugi dan melobi pemerintahnya untuk memasukkan produknya dalam paket-paket bantuan luar negeri terutama ke negara-negara sedang berkembang.
Hal serupa juga terjadi dengan pemakaian tenaga-tenaga ahli asing dalam paket-paket bantuan dan utang luar ngeri yang terikat dengan syarat-syarat tertentu tersebut. Banyak tenaga ahli asing yang dikirim ternyata adalah pensiunan dari negara asalnya atau tidak dipakai karena tidak memenuhi kualifikasi untuk pekerjaan di negara asalnya. Saya sendiri pernah punya pengalaman ada seorang profesor yang dikirim ke FE Undip untuk suatu projek perikanan. Ketika dia memberikan kuliah umum ternyata kulaitasnya jauh dari profesor yang berasal dari luar negeri seperti yang dibayangkan. Mungkin di negaranya sang profesor sudah tak terpakai lagi.
Cara kedua AS untuk meningkatkan kembali peran ekonominya di ASEAN umumnya dan Indonesia khususnya dalah dengan melakukan lobi-lobi kepada pejabat yang membuat kontrak-kontrak usaha antara perusahaan AS dan Indonesia. Kita melihat cara ini efektif digunakan dalam kontrak-kontrak perusahaan pertambangan, misalnya EXXON, Freeport, dan lain-lain. Dalam kontrak-kontrak tersebut terlihat sekali kejanggalannya dimana kita sebagai pemilik berbagai sumberdaya mineral hanya mendapatkan sedikit sekali bagian dari hasil pertambangan baik dari royalti maupun pajak. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau pejabat pembuat kontrak mendapat bagian secara pribadi dari kotrak-kontrak tersebut.
Kedua acara tersebut sama-sama buruknya bagi Indonesia sehingga harus selalu diwaspadai oleh semua elemen masyarakat. Di sisi yang lain , Indonesia mestinya harus melakukan serangan balik dengan cara makin agresif menggarap pasar AS. Salah satu caranya dalah dengan mengoptimalkan peran atase perdagangan dan duta besar Indonesia untuk AS yang tidak hanya sekedar simbol hubungan diplomatik tetapi juga berperan sebagai salesman baik untuk produk dan jasa buatan Indonesia maupun menjual Indonesia baik untuk tujuan wisata maupun untuk tempat berinvestasi.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Minggu, 21 November 2010
Jumat, 19 November 2010
PENCABUTAN SUBSIDI TURUNKAN DAYA SAING HANYA MITOS
Jumat, 19 Nov 2010 15:17:25 WIB | Oleh : Achmad Zaenal
ANTARA - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai pengurangan atau pencabutan subsidi bahan bakar minyak bakal mengurangi daya saing produk nasional hanya mitos karena ekonomi biaya tinggi lebih banyak bersumber dari beragam pungutan.
Ia ketika diminta pendapatnya di Semarang, Jumat, mengatakan sejumlah negara yang tidak menerapkan subsidi harga BBM tetap memiliki daya saing tinggi karena mereka mampu mengelola birokrasi yang bersih, efisien, dan transparan.
"Subsidi harga BBM bisa saja dicabut, namun birokrasi (perizinan) harus disederhanakan. Berbagai pungutan liar (red tape) yang saat ini bisa mencapai 10-30 persen dari ongkos produksi, wajib dihilangkan," katanya.
Ia mengingatkan berbagai pungutan itulah yang secara riil lebih menganggu daya saing dibanding masalah lain, misalnya, pengurangan atau pencabutan subsidi harga BBM.
Menurut dia, selama ini subsidi harga BBM lebih banyak dinikmati kelompok menengah atas yang memiliki daya beli tinggi. Segmen ini sebenarnya lebih dari sekadar mampu untuk membeli BBM nonsubsidi, katanya.
APBN 2010 mengalokasikan anggaran subsidi BBM Rp88,8 triliun dengan kuota volume dari semula 36,5 juta kiloliter, menjadi 38 juta kiloliter dalam APBN Perubahan 2010.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan dari plafon 36,5 juta kiloloter, kemungkinan konsumsi BBM bersubsidi akan terlampaui sampai 38 juta kiloliter meski anggarannya masih memadai.
Subsidi harga BBM dikhawatirkan bakal melonjak bersamaan dengan melonjaknya penjualan sepeda motor dan mobil, yang hingga akhir 2010 diperkirakan masing-masing terjual hingga tujuh juta dan 750 ribu unit.
Setelah Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi menakjubkan selama tiga tahun terakhir di tengah krisis ekonomi dahsyat yang melanda AS dan Eropa, menurut Nugroho, inilah momentum terbaik untuk mengkaji ulang subsidi harga BBM.
Pengurangan atau bahkan pencabutan subsidi BBM selama ini selalu mendapat penentangan dari berbagai kelompok, termasuk kelas menengah yang memiliki memiliki saluran dalam mengartikulasikan kepentingannya.
"Kebijakan pengurangan subsidi harga BBM memang ujian berat bagi pemerintah, soalnya jika tidak pandai-pandai mengelola golongan menengah, maka akan ada gejolak. Semua revolusi biasanya digerakkan golongan menengah," kata Nugroho.
Ia mengatakan, anggaran yang diperoleh dari pengurangan subsidi harga BBM sebagian besar nantinya harus dimasukkan dalam pos belanja dengan sasaran kelompok bawah, misalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan modal usaha.
Bentuknya, kata Nugroho, bisa berupa kompensasi langsung dalam wujud bantuan langsung tunai maupun penggratisan biaya pendidikan dan kesehatan untuk mereka yang miskin. Sistem subisidi yang tepat sasaran harus dibarengi dengan pengawasan ketat, misalnya, dengan sistem kupon.
Menurut dia, selama ini komunikasi politik menyangkut kebijakan populis tidak dibarengi dengan teladan konkret para petinggi sehingga kebijakan itu malah mendapat penentangan, seperti menaikkan harga BBM atau tarif dasar listrik.
"Komunikasi politik yang baik, tentu saja dengan perbuatan dan contoh nyata, misalnya, selalu membeli BBM nonsubsidi atau tidak membagikan kupon subsidi kepada kerabatnya," demikian Nugoroho SBM. m
tersedia di http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=37524
ANTARA - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai pengurangan atau pencabutan subsidi bahan bakar minyak bakal mengurangi daya saing produk nasional hanya mitos karena ekonomi biaya tinggi lebih banyak bersumber dari beragam pungutan.
Ia ketika diminta pendapatnya di Semarang, Jumat, mengatakan sejumlah negara yang tidak menerapkan subsidi harga BBM tetap memiliki daya saing tinggi karena mereka mampu mengelola birokrasi yang bersih, efisien, dan transparan.
"Subsidi harga BBM bisa saja dicabut, namun birokrasi (perizinan) harus disederhanakan. Berbagai pungutan liar (red tape) yang saat ini bisa mencapai 10-30 persen dari ongkos produksi, wajib dihilangkan," katanya.
Ia mengingatkan berbagai pungutan itulah yang secara riil lebih menganggu daya saing dibanding masalah lain, misalnya, pengurangan atau pencabutan subsidi harga BBM.
Menurut dia, selama ini subsidi harga BBM lebih banyak dinikmati kelompok menengah atas yang memiliki daya beli tinggi. Segmen ini sebenarnya lebih dari sekadar mampu untuk membeli BBM nonsubsidi, katanya.
APBN 2010 mengalokasikan anggaran subsidi BBM Rp88,8 triliun dengan kuota volume dari semula 36,5 juta kiloliter, menjadi 38 juta kiloliter dalam APBN Perubahan 2010.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan dari plafon 36,5 juta kiloloter, kemungkinan konsumsi BBM bersubsidi akan terlampaui sampai 38 juta kiloliter meski anggarannya masih memadai.
Subsidi harga BBM dikhawatirkan bakal melonjak bersamaan dengan melonjaknya penjualan sepeda motor dan mobil, yang hingga akhir 2010 diperkirakan masing-masing terjual hingga tujuh juta dan 750 ribu unit.
Setelah Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi menakjubkan selama tiga tahun terakhir di tengah krisis ekonomi dahsyat yang melanda AS dan Eropa, menurut Nugroho, inilah momentum terbaik untuk mengkaji ulang subsidi harga BBM.
Pengurangan atau bahkan pencabutan subsidi BBM selama ini selalu mendapat penentangan dari berbagai kelompok, termasuk kelas menengah yang memiliki memiliki saluran dalam mengartikulasikan kepentingannya.
"Kebijakan pengurangan subsidi harga BBM memang ujian berat bagi pemerintah, soalnya jika tidak pandai-pandai mengelola golongan menengah, maka akan ada gejolak. Semua revolusi biasanya digerakkan golongan menengah," kata Nugroho.
Ia mengatakan, anggaran yang diperoleh dari pengurangan subsidi harga BBM sebagian besar nantinya harus dimasukkan dalam pos belanja dengan sasaran kelompok bawah, misalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan modal usaha.
Bentuknya, kata Nugroho, bisa berupa kompensasi langsung dalam wujud bantuan langsung tunai maupun penggratisan biaya pendidikan dan kesehatan untuk mereka yang miskin. Sistem subisidi yang tepat sasaran harus dibarengi dengan pengawasan ketat, misalnya, dengan sistem kupon.
Menurut dia, selama ini komunikasi politik menyangkut kebijakan populis tidak dibarengi dengan teladan konkret para petinggi sehingga kebijakan itu malah mendapat penentangan, seperti menaikkan harga BBM atau tarif dasar listrik.
"Komunikasi politik yang baik, tentu saja dengan perbuatan dan contoh nyata, misalnya, selalu membeli BBM nonsubsidi atau tidak membagikan kupon subsidi kepada kerabatnya," demikian Nugoroho SBM. m
tersedia di http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=37524
Selasa, 02 November 2010
APA YANG SALAH DENGAN SBY?
Oleh Nugroho SBM
Gelombang protes dari mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat dalam memperingati 1 tahun pemerintahan SBY- Boediono menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono selama 1 tahun.
Ada yang menyatakan sebenarnya lebih tepat mengatakan peringatan dan ketidakpuasan itu sebagai peringatan 6 tahun pemerintahan SBY dan dengan demikian juga ketidakpuasan terhadap pemerintahan SBY. Pasangan SBY dalam dua periode pemerintahannya memang berganti tetapi dalam sistem presidensial memang tanggungjawab pemerintahan ada pada presiden.
Justru Membaik
Banyak aspek disoroti dalam evaluasi pemerintahan SBY yang menimbulkan ketidakpuasan. Salah satu aspek yang paling dominan adalah aspek ekonomi. Hal yang aneh sebenarnya terjadi dalam aspek ekonomi ini. Dalam pemerintahan SBY beberapa indikator ekonomi justru membaik.
Pertama, pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2008 Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1 persen. Pada tahun 2009 ketika hampir semua negara terkena imbas krisis keuangan yang dipicu oleh krisis keuangan di AS, Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 4,5 persen. Hanya tiga negara yang mampu tumbuh positif di tahun 2009 tersebut yaitu China, India, dan Indonesia.. Pada tahun 2010 ini, pertumbuhan ekonomi ditarget mencapai 5,5 persen dan pada semester pertama 2010 telah dicapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen.
Kedua, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melejit dari 2.502 pada 20 Oktober 2009 menjadi 3.578 pada tanggal yang sama tahun 2010 ini. Indeks Harga Saham Gabungan ini menunjukkan bahwa kepercayaan pemilik modal sangat tinggi sehingga aktivitas perdagangan surat-surat berharga berjalan sangat aktif.
Ketiga, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini juga telah menguat dan stabil pada kisaran Rp 9.000,- per dolar AS. Bahkan akhir-akhir ini nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar AS cenderung menguat ke level yang lebih tinggi. Meskipun hal ini banyak dikeluhkan oleh para eksportir tetapi ada sisi positifnya. Eksportir mestinya sudah harus mulai berpikir untuk menumpukan daya saingnya bukan pada harga tetapi pada hal lain seperti kualitas dan persyaratan lain yang antara lain termuat dalam berbagai ISO.
Keempat, penurunan tingkat kemiskinan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 17,7 persen dari total jumlah penduduk, menurun menjadi 15,4 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2010 menjadi 13 persen. Jika angka tahun 2010 tersebut bisa dipercaya maka ini merupakan rekor angka kemiskinan terendah yang pernah dicapai Indonesia.
Kelima, angka pengangguran juga terus menurun. Kalau pada tahun 2006 pengangguran mencapai 10,28 persen dari total angkatan kerja maka pada tahun 2007 menurun menjadi 9,9 persen, menurun lagi menjadi 8,5 persen tahun 2008, turun lagi menjadi 7,87 persen tahun 2009, dan pada Februari 2010 menjadi 7,4 persen.
Apa yang Salah?
Kalau indikator-indikator ekonomi makro seperti telah diuraikan membaik, mengapa masyarakat tetap tidak puas? Apa yang salah dengan SBY?
Pertama, para pengambil kebijakan ekonomi di pemerintahan harus sadar bahwa yang penting dalam melihat indsikator ekonomi makro jangan hanya kuantitasnya tetapi juga kualitasnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan selalu positif yang ditunjukkan oleh Indonesia belum tentu menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat juga membaik. Yang penting bukan hanya aspek kuantitatif dari pertumbuhan ekonomi tetapi juga kualitasnya.
Pertumbuhan yang berkualitas antara lain ditunjukkan oleh siapa yang menyumbang dan sekaligus menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan kualitasnya bisa gampang dicapai misalnya hanya dengan perintah dari menteri kepada beberapa industri besar untuk menaikkan produksinya sekian persen. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi tinggi akan berguna dan berkualitas jika yang menyumbang adalah para petani dan nelayan kecil, UMKM, dan seluruh elemen masyarakat khususnya mereka yang selama ini tingkat kehidupannya pas-pasan.
Pertumbuhan ekonmi yang berkualitas juga akan terjadi jika yang menyumbang bukannya pengusaha asing melainkan pengusaha nasional. Pertumbuhan ekonomi di Papua mungkin tinggi tetapi disumbang oleh produksi PT Freeport yang pemiliknya orang asing , tenaga kerjanya juga orang asing, hasil produksinya diangkut ke luar negeri, dan keuntungan perusahaan juga ditransfer ke luar negeri.
Yang menyedihkan justru kebijakan ekonomi pemerintah akhir-akhir initidak menunjukkan keberpihakan kepada pelaku ekonomi nasional. Contohnya adalah kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kebijakan ini sudah pasti akan memukul daya saing industri nasional. Contoh lainnya adalah pemberian ijin untuk impor barang jadi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 39/M-DAG/PER/10/2010. Di bidang kesehatan, Menteri Kesehatan yang baru usul untuk memperbolehkan kepemilikan asing 100 persen dalam industri farmasi. Hal ini aneh sebab usul itu akan bertentangan dengan Permenkes Nomer 1010/ tahun 2010 yang mendorong agar obat yang dijual di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri.
Hal kedua, perlu dicermati benar apakah indikator ekonomi makro menampilkan kondisi dan aktivitas di sektor riil (sektor produksi dan perdagangan) ataukah tidak. Indikator IHSG yang meningkat dan membaik tidak mencerminkan bahwa aktivitas di sektor riil juga membaik. Aktivitas di BEI berupa jual-beli surat-surat berharga sama sekali tidak terkait dengan aktivitas ekonomi berupa produksi dan distribusi. Motif utama orang melakukan jual-beli saham adalah murni spekulasi. Dalam tindakan spekulasi itu ”manipulasi” bisa dilakukan. Misalnya bisa saja saham dari perusahaan yang tidak begitu bagus kinerjanya dibuat harganya naik terus karena ulah para pialang atau spekulan. Meskipun hal ini dilarang dalam aktivitas di Bursa Saham, tetapi pengalaman selama ini menjukkan belum pernah ada transaksi-transaksi terlarang di BEI yang sampai ke pengadilan.
Hal ketiga, mengenai data yang dijadikan bahan dasar untuk menyusun indikator makro. Pertanyaan mengenai data yang dijadikan dasar untuk menyusun indikator makro tersebut menyangkut dua hal yaitu definisi dan kulaitas atau validitas data yang bersangkutan. Contoh persoalan definisi ini misalnya definisi tenatng bekerja penuh. Menurut definisi Organisasi Perburuhan International atau International Labour Organization (ILO) orang dikatakan bekerja penuh jika bekerja minimal 40 jam seminggu. Tetapi definisi Indonesia seseorang dikatakan bekerja penuh jika minimal bekerja 1 jam saja selama seminggu.
Tentang kualitas data, kita bisa melihat bahwa banyak data dikumpulkan tidak dengan teknik pengumpulan data yang baik. Kita bisa melihat bagaimana data dari tingkat desa dan kecamatan dikumpulkan oleh para mantri statistik yang karena keterbatasan gaji dan sarana prasarana menjadikan data yang dikumpulkan tidak begitu baik kualitasnya.
Di samping ketiga kritik terhadap indikator makro seperti yang sudah diuraikan perlu juga para pengambil kebijakan ekonomi dengan dibantu oleh para ahli dari perguruan tinggi untuk menyusun indikator-indikator ekonomi baru yang lebih realistik. Artinya tidak terlalu makro atau global tetapi lebih mencerminkan kondisi masyarakat senyatanya (lebih mikro). Misalnya saja indikator soal apakah masyarakat bisa menyekolahkan anaknya, apakah harga-harga kebutuhan dasar mampu dijangkau, apakah upah minimum benar-benar mampu mencukupi kebutuhan minimum para pekerja, dan sebagainya.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Gelombang protes dari mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat dalam memperingati 1 tahun pemerintahan SBY- Boediono menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono selama 1 tahun.
Ada yang menyatakan sebenarnya lebih tepat mengatakan peringatan dan ketidakpuasan itu sebagai peringatan 6 tahun pemerintahan SBY dan dengan demikian juga ketidakpuasan terhadap pemerintahan SBY. Pasangan SBY dalam dua periode pemerintahannya memang berganti tetapi dalam sistem presidensial memang tanggungjawab pemerintahan ada pada presiden.
Justru Membaik
Banyak aspek disoroti dalam evaluasi pemerintahan SBY yang menimbulkan ketidakpuasan. Salah satu aspek yang paling dominan adalah aspek ekonomi. Hal yang aneh sebenarnya terjadi dalam aspek ekonomi ini. Dalam pemerintahan SBY beberapa indikator ekonomi justru membaik.
Pertama, pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2008 Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1 persen. Pada tahun 2009 ketika hampir semua negara terkena imbas krisis keuangan yang dipicu oleh krisis keuangan di AS, Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 4,5 persen. Hanya tiga negara yang mampu tumbuh positif di tahun 2009 tersebut yaitu China, India, dan Indonesia.. Pada tahun 2010 ini, pertumbuhan ekonomi ditarget mencapai 5,5 persen dan pada semester pertama 2010 telah dicapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2 persen.
Kedua, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melejit dari 2.502 pada 20 Oktober 2009 menjadi 3.578 pada tanggal yang sama tahun 2010 ini. Indeks Harga Saham Gabungan ini menunjukkan bahwa kepercayaan pemilik modal sangat tinggi sehingga aktivitas perdagangan surat-surat berharga berjalan sangat aktif.
Ketiga, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini juga telah menguat dan stabil pada kisaran Rp 9.000,- per dolar AS. Bahkan akhir-akhir ini nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar AS cenderung menguat ke level yang lebih tinggi. Meskipun hal ini banyak dikeluhkan oleh para eksportir tetapi ada sisi positifnya. Eksportir mestinya sudah harus mulai berpikir untuk menumpukan daya saingnya bukan pada harga tetapi pada hal lain seperti kualitas dan persyaratan lain yang antara lain termuat dalam berbagai ISO.
Keempat, penurunan tingkat kemiskinan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 17,7 persen dari total jumlah penduduk, menurun menjadi 15,4 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2010 menjadi 13 persen. Jika angka tahun 2010 tersebut bisa dipercaya maka ini merupakan rekor angka kemiskinan terendah yang pernah dicapai Indonesia.
Kelima, angka pengangguran juga terus menurun. Kalau pada tahun 2006 pengangguran mencapai 10,28 persen dari total angkatan kerja maka pada tahun 2007 menurun menjadi 9,9 persen, menurun lagi menjadi 8,5 persen tahun 2008, turun lagi menjadi 7,87 persen tahun 2009, dan pada Februari 2010 menjadi 7,4 persen.
Apa yang Salah?
Kalau indikator-indikator ekonomi makro seperti telah diuraikan membaik, mengapa masyarakat tetap tidak puas? Apa yang salah dengan SBY?
Pertama, para pengambil kebijakan ekonomi di pemerintahan harus sadar bahwa yang penting dalam melihat indsikator ekonomi makro jangan hanya kuantitasnya tetapi juga kualitasnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan selalu positif yang ditunjukkan oleh Indonesia belum tentu menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat juga membaik. Yang penting bukan hanya aspek kuantitatif dari pertumbuhan ekonomi tetapi juga kualitasnya.
Pertumbuhan yang berkualitas antara lain ditunjukkan oleh siapa yang menyumbang dan sekaligus menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa memperhatikan kualitasnya bisa gampang dicapai misalnya hanya dengan perintah dari menteri kepada beberapa industri besar untuk menaikkan produksinya sekian persen. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi tinggi akan berguna dan berkualitas jika yang menyumbang adalah para petani dan nelayan kecil, UMKM, dan seluruh elemen masyarakat khususnya mereka yang selama ini tingkat kehidupannya pas-pasan.
Pertumbuhan ekonmi yang berkualitas juga akan terjadi jika yang menyumbang bukannya pengusaha asing melainkan pengusaha nasional. Pertumbuhan ekonomi di Papua mungkin tinggi tetapi disumbang oleh produksi PT Freeport yang pemiliknya orang asing , tenaga kerjanya juga orang asing, hasil produksinya diangkut ke luar negeri, dan keuntungan perusahaan juga ditransfer ke luar negeri.
Yang menyedihkan justru kebijakan ekonomi pemerintah akhir-akhir initidak menunjukkan keberpihakan kepada pelaku ekonomi nasional. Contohnya adalah kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kebijakan ini sudah pasti akan memukul daya saing industri nasional. Contoh lainnya adalah pemberian ijin untuk impor barang jadi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 39/M-DAG/PER/10/2010. Di bidang kesehatan, Menteri Kesehatan yang baru usul untuk memperbolehkan kepemilikan asing 100 persen dalam industri farmasi. Hal ini aneh sebab usul itu akan bertentangan dengan Permenkes Nomer 1010/ tahun 2010 yang mendorong agar obat yang dijual di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri.
Hal kedua, perlu dicermati benar apakah indikator ekonomi makro menampilkan kondisi dan aktivitas di sektor riil (sektor produksi dan perdagangan) ataukah tidak. Indikator IHSG yang meningkat dan membaik tidak mencerminkan bahwa aktivitas di sektor riil juga membaik. Aktivitas di BEI berupa jual-beli surat-surat berharga sama sekali tidak terkait dengan aktivitas ekonomi berupa produksi dan distribusi. Motif utama orang melakukan jual-beli saham adalah murni spekulasi. Dalam tindakan spekulasi itu ”manipulasi” bisa dilakukan. Misalnya bisa saja saham dari perusahaan yang tidak begitu bagus kinerjanya dibuat harganya naik terus karena ulah para pialang atau spekulan. Meskipun hal ini dilarang dalam aktivitas di Bursa Saham, tetapi pengalaman selama ini menjukkan belum pernah ada transaksi-transaksi terlarang di BEI yang sampai ke pengadilan.
Hal ketiga, mengenai data yang dijadikan bahan dasar untuk menyusun indikator makro. Pertanyaan mengenai data yang dijadikan dasar untuk menyusun indikator makro tersebut menyangkut dua hal yaitu definisi dan kulaitas atau validitas data yang bersangkutan. Contoh persoalan definisi ini misalnya definisi tenatng bekerja penuh. Menurut definisi Organisasi Perburuhan International atau International Labour Organization (ILO) orang dikatakan bekerja penuh jika bekerja minimal 40 jam seminggu. Tetapi definisi Indonesia seseorang dikatakan bekerja penuh jika minimal bekerja 1 jam saja selama seminggu.
Tentang kualitas data, kita bisa melihat bahwa banyak data dikumpulkan tidak dengan teknik pengumpulan data yang baik. Kita bisa melihat bagaimana data dari tingkat desa dan kecamatan dikumpulkan oleh para mantri statistik yang karena keterbatasan gaji dan sarana prasarana menjadikan data yang dikumpulkan tidak begitu baik kualitasnya.
Di samping ketiga kritik terhadap indikator makro seperti yang sudah diuraikan perlu juga para pengambil kebijakan ekonomi dengan dibantu oleh para ahli dari perguruan tinggi untuk menyusun indikator-indikator ekonomi baru yang lebih realistik. Artinya tidak terlalu makro atau global tetapi lebih mencerminkan kondisi masyarakat senyatanya (lebih mikro). Misalnya saja indikator soal apakah masyarakat bisa menyekolahkan anaknya, apakah harga-harga kebutuhan dasar mampu dijangkau, apakah upah minimum benar-benar mampu mencukupi kebutuhan minimum para pekerja, dan sebagainya.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Langganan:
Postingan (Atom)