Oleh Nugroho SBM
Beberapa waktu lalu sempat terdengar isu resufle kabinet. Presiden sempat tak secara tegas menyatakan bahwa isu resufle itu tidak benar. Meskipun akhirnya ditegaskan bahwa isu itu tidak benar tetapi kevakuman menunggu kepatian itu sempoat membuat kinerja ekonomi kabinet memburuk. Beberapa contoh memburuknya kinerja khususnya kinerja di bidang ekonomi bisa disebutkan di sini.
Pertama, kasus antrian panjang atau kemacetan di pelabuhan Merak yang sempat menyebabkan distribusi barang khususnya ke luar Jawa menjadi tersendat. Akibat berikutnya harga-harga di luar Jawa mengalami kenaikan yang tajam. Kalau pemerintah khususnya menteri perhubungan dan pekerjaan umum bisa berkonsentrasi penuh tentulah bisa dicari jalan ke luar yang lebih cepat. Misalnya dengan menyewa kapal-kapal feri dari perusahaan pelayaran asing untuk menggantikan sementara kapal-kapal feri milik pemerintah dan maskapai pelayaran Indonesia yang mogok karena usianya sudah tua.
Antrean BBM
Contoh kedua memburuknya kinerja ekonomi kabinet adalah sempat adanya antrean panjang di beberapa daerah untuk mendapatkan BBM. Antrean panjang tersebut ditengarai disebabkan oleh tindakan spekulasi oleh sebagian pihak yang ingin mencari keuntungan di tengah situasi ketidakpastian. Situasi ketidakpastian yang dimaksud adalah kebijakan apa yang akan diambil pemerintah berkenaan dengan BBM bersubsidi. Beberapa waktu yang lalu pemerintah menyatakan akan membeerlakukan penjatahan BBM bersubsidi. BBM bersubsidi hanya akan dijual kepada mereka yang berhak yaitu angkutan umum dan mereka yang memiliki mobil pribadi dengan tahun pembuatan tahun 2004 ke bawah. Kebijakan tersebut menurut rencana akan diberlakukan mulai 1 April 2011. Tetapi kemudian pemerintah mengatakan akan menundanya dan meminta dilakukan pengkajian. Hasil pengkajian sudah dipresentasika di depan DPR. Ada tiga opsi yang dikemukakan. Tetapi, yang muncul di publik adalah adanya rumor bahwa pemerintah akan memilih opsi untuk menaikkan harga BBM (premium) Rp 500 per liternya. Rumor inilah yang diduga memicu tindakan spekulasi yang menyebabkan antrean panjang untuk mendapatkan BBM di sejumlah daerah di luar Jawa.
Seandainya tidak ada isu resufle, barangkali kementrian ESDM bisa lebih cepat bertindak baik untuk menindak para spekulan BBM maupun dengan tegas memilih salah satu opsi berkenaan dengan BBM bersubsidi. Berkenaan dengan mana opsi yang dipilih terhadap kebijakan BBM bersubsidi ini juga terkait dengan ketidakcepatan pemerintah- dalam hal ini kementrian ESDM- untuk menyesuaikan asumsi harga minyak dunia di APBN 2011. Secara tegas Menteri ESDM menyatakan tetap tidak akan menyesuaikan asumsi harga minyak dunia di APBN 2011 meskipun harga minyak dunia belum ada tanda-tanda penurunan. Barangkali menteri ESDM juga menunggu kabar resufle sehngga tidak mengambil keptusan yang strategis.
Contoh ketiga kinerja ekonomi yang memburuk akibat isu resufle yang tak kunjung pasti adalah krisis harga pangan yang sampai sekarangbelum berhasil ditangani. Kita pernah dikagetkan dengan berita tewasnya satu keluarga karena keracunan tiwul akibat tidak mampu lagi membeli beras yang harganya meroket. Beberapa waktu yang lalu kita juga sempat dihebohkan soal meroketnya harga cabai. Menteri perdagangan tampaknya juga tidak cepat mengambil keputusan masalah ini. Mungkin juga karena dia diisukan sebagai salah seorang menteri yang akan dicopot jika resufle jadi dilaksanakan.
Contoh terakhir adalah terkatung-katungnya masalah mafia pajak. Di pengadilan Gayus sudah secara blak-blakan mengemukakan beberapa pihak yang tersangkut ”bisnis” nya. Dengan fakta itu mestinya pihak berwajib dan Menkumham bisa mengambil langkah cepat dan strategis. Lagi-lagi itu tidak dilakukan karena isu resufle, dimana lagi-lagi menkumham diisukan sebagai salah satu menteri yang akan dicopot. Paadahal kalau kasus mafia pajak ini tidak segera dituntaskan maka akan mendorong para mafioso pajak yang lain leluasa bertindak. Kalau itu terjadi, negara akan kehilangan sumber pendapatan dari pajak yang sangat potensial dan penting. Pentingnya penerimaan negara dari pajak ini dapat dilihat dari APBN sekarang di mana penerimaan dari pajak mencapai 70 persen lebih dari total penerimaan negara.
Resufle?
Memang akhirnya resufle tidak jadi dilakukan > Tetapi di masa mendatang seandainya resufle akan dilakukan hendaknya menghasilkan kabinet yang lebih profesional di samping pertimbangan politik tentunya.
Soal kabinet yang profesional atau kabinet ahli, bisa dicontoh apa yang dilakukan pak Harto jaman Orde Baru. Pada waktu itu, menteri dipilih – di samping loyal kepada pak Harto – juga didasarkan pada bidang keahliannya. Memang pada waktu itu tidak ada menteri dari partai politik selain Golkar. Tetapi kentara sekali memang orang yang dipilih sesuai dengan bidangnya.
Berbeda dengan jaman sekarang. Menteri dipilih tampaknya atas dasar pertimbangan politik semata. Banyak menteri yang dipilih dengan pertimbangan untuk balas jasa selama kampanye presiden dan karena bewrasal dari partai koalisi. Dengan pertimbangan seperti itu banyak orang mengkerutkan dahi ketika Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan karena banyak pos menteri yang diduki oleh orang yang tidak berkompeten.
Ketika isu resufle muncul maka pertimbangannya juga bukan karena si menteri tidak bisa bekerja baik tetapi karena partai di mana dia berasal ternyata di DPR menunjukkan sikap bukan sebagai partai koalisi tetapi justru oposisi.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar