Senin, 11 April 2011

MEMPERSOALKAN KENAIKAN KELAS MENENGAH INDONESIA

Oleh: Nugroho SBM

Dalam laporan kuartal pertama tentang ekonomi Indonesia tahun 2011 (Indonesian Economy Quarterly 2011) dengan mengambil judul ”2008 Again ?” yang diseminarkan di Jakarta, Bank Dunia menyatakan telah terjadi kenaikan penduduk yang masuk dalam golongan kelas menengah. Batasan golongan menengah yang digunakan oleh Bank Dunia adalah mereka yang pengeluaran per harinya 2 sampai 20 dolar AS per orang per hari. Dengan batsan seperti itu, Bank Dunia mencatat telah terjadi kenaikan golongan menengah dari 81 juta jiwa pada tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada tahun 2010. Kenaikan golongan menengah Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010 tersebut rata-rata adalah 7 juta per tahunnya.
Dengan menggunakan batasan yang sama, Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank atau ADB) mencatat kenaikan kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang atau 25 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 1999 menjadi 93 juta orang atau 43 persen dari total penduduk Indonesia di tahun 2009.

Optimis
Setelah publikasi Bank Dunia tersebut, langsung terjadi diskusi yang ramai. Kebanyakan merasa optimis bahwa naiknya jumlah penduduk Indonesia akan membawa perubahan positif bagi Indonesia seperti terjadi di negara-negara lain.
Pertama, naiknya jumlah mereka yang masuk dalam kelas menengah akan menjadi kelompok penekan (pressure group) bagi pemerintah untuk menjadi lebih baik. Revolusi di beberapa negara juga terjadi karena kelompok menengah. Kita masih ingat bagaimana kolonel Gringo Honassan (yang merupakan perwira menengah) memimpin revolusi di Filipina. Demikian juga Kolonel Muamar Khadafy yang memimpin Libya. Karena kedudukannya golongan menengah lebih bebas, kreatif, dan kritis terhadap apapun termasuk kepada pemerintah. Sementara itu golongan bawah tidak mungkin berbuat demikian karena masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan dihinggapi rasa takut. Demikian pula golongan atas tidak berbuat seperti kelas menengah karena kedudukan sosial ekonominya dalam masyarakat yang sudah mapan sehingga cenderung mendukung ”Status Quo”. Salah satu tekanan yang dituntut kepada pemerintah yang juga akan membawa perbaikan bagi masyarakat keseluruhan adalah perbaikan pelayanan publik dalam segala hal terutama pendidikan dan kesehatan.
Kedua, kelas menengah juga diharapkan menjadi penggerak ekonomi produktif karena surplus pendapatan yang mereka nikmati serta kreatifitasnya yang tinggi. Mereka diharapkan mampu membuka usaha-usaha produktif yang akan menciptakan kesempatan kerja dan dengan demikian juga memberikan pendapatan bagi masyarakat banyak.
Ketiga, dalam bidang politik diharapkan peran kelas menengah untuk mendorong demokratisasi yang lebih substansial. Politik yang demokratris akan meningkatkan transparansi dan stabilitas politik yang sejati. Stabilitas politik yang sejati dalam alam demokratis adalah hasil partisipasi dan bukan mobilisasi. Dalam partisipasi tersebut akan dihargai berbagai perbedaan antara lain perbedaan dalam SARA dan dengan demikian tercipta stabilitas politik yang sejati. Stabilitas politik yang sejati tersebut akan menumbuhkan iklim usaha yang kondusif. Dengan iklim usaha yang kondusif maka investasi akan tumbuh baik dari domestik maupun asing sehingga akan tercipta kesempatan kerja dan dengan demikian juga kesejahteraan rakyat.

Perlu Kritis
Namun kita perlu mempersoalkan dan kritis terhadap kenaikan jumlah penduduk yang masuk kelas menengah yang menumbuhkan optimisme tersebut. Pertama, batasan pengeluaran minimal 2 dolar AS per orang per hari untuk masuk golongan kelas menengah tanpa ada berbagai jaminan sosial dari pemerintah sangatlah tidak memadai atau terlalu rendah. Pengeluaran sebesar itu akhirnya hanya akan habis untuk pengeluaran bahan pangan. Berbeda dengan di luar negeri yang segala tunjangan sosial ditanggung oleh pemerintah, maka pengeluaran minimal 2 dolar AS per orang per hari memang memadai. Aklhirnya fungsi kelas menengah tak sepenuhnya bisa diemban.
Kedua, kenaikan pendapatan masyarakat miskin yang kemudian menjadikannya mereka kelas menengah sebagian besar disebabkan oleh program-program karitatif seperti Bantuan Langsung tunai (BLT), program-program populis serta politik uang yang banyak mewarnai pilihan kepala daerah secara langsung akhir-akhir ini. Artinya kenaikan pendapatan itu bukan karena usaha gigih sendiri dari masyarakat serta sifatnya hanya sementara. Artinya mereka belum stabil sebagai kelas menengah sehingga fungsi kelas menengah tak bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Ketiga, ada sekitar 74 persen dari kelas menengah Indonesia yang termasuk kelas menengah-bawah. Sebagaimana diketahui Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank atau ADB) membagi kelas menengah dalam 3 (tiga) kategori yaitu: Kelas Menengah –Bawah yaitu mereka yang pengeluarannya 2 sampai 4 dolar AS per hari (atau sekitar Rp. 540.000 sampai Rp 1,1 Juta /orang/bulan atau Rp 2,16 juta sampai Rp. 4,4 juta per keluarga dengan anggota keluarga 4 orang); Kelas Menengah-Tengah yaitu mereka yang pengeluarannya 4 sampai 10 dolar AS per hari (atau Rp 1,1 juta sampai Rp 2,7 juta/ orang/ bulan); dan Kelas Menengah-Atas yaitu mereka yang pengeluarannya antara 10 sampai 20 dolar AS ( atau Rp 2,7 juta sampai Rp 5,4 juta/ orang/ bulan). Mereka yang masuk kategori Kelas Menengah-Bawah yang jumlahnya mayoritas dalam kelas menengah Indonesia – seperti telah disebut - sangat rawan untuk kembali terjerembab ke kelas bawah sehingga fungsi-fungsi kelas menengah dalam masyarakat tak bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Keempat, kelas menengah Indonesia sebagian besar sifatnya adalah konsumtif dan bukan produktif. Lihat saja jika ada pertunjukan musik yang harga karcisnya Rp 500.000,- sampai Rp 1 juta langsung diserbu. Tetapi jumlah wirausahawan di Indonesia tidak bertambah dengan signifikan. Jadi ekonomi juga tidak bisa tumbuh dengan lebih pesat karena hanya bertumpu pada konsumsi dan bukan investasi.
Kelima, peran kelas menengah untuk mendorong demokratisasi di bidang politik juga tidak terjadi. Ada beberapa sebab. Pertama, bila diamati maka ada kecenderungan kelas menengah di Indonesia bersifat a politis. Mereka lebih memilih berkecimpung di organisasi-organisasi profesi daripada di partai politik atau organisasi politik yang lain. Dengan demikian demokratisasi politik kurang didorong secara optimal. Kedua, sentimen etnik dan agama masih kental mewarnai pemikiran kelas menengah di daerah-daerah yang didiorong juga oleh pelaksanaan otonomi daerah yang mencetak Perda-perda etnis dan agama. Ketiga, banyak kelas menengah yang masih tergantung hisupnya dari projek pemerintah sehingga takut bersikap kritis terhadap pemerintah.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Soal:
Kendaraan Outomotif nasional merek Honda ZAZZ yang komponen masih diimpor dengan harga Rp 120 juta sedangkan nilai jual kendaraan tersebut diatas Rp 200 juta maka nilai tambah oleh tenaga kerja dan modal domestik (V) adalah sebesar Rp 70juta. Seandainya tarif normal diberikan sebesar 10% atas impor SUV merek lain dengan kualitas yang sama dengan merek impor , tanpa ada tarif/pajak atas impor komponennya, perusahaan menaikkan harga mobil bagi konsumen dalam negeri menjadi Rp 220 juta, sehingga nilai tambah domestik (V*) menjadi Rp 90 juta.

Pertanyaan:
Hitung tingkat proteksi efektif

Keyword:
Gunakanlah rumus
1. g = (V* – V) : V
2. g = (t – a1t1) : ( 1 - a1)
Dimana:
g = tingkat proteksi efektif
t = tingkat tarif nominal atas barang jadi
a1 = perbandingan antara biaya input yang diimpor dan harga barang jadi tanpa tariff
t1 = tingkat tarif normal atas input yang diimpor

Ada yg bisa ngitungnya gak ??

Unknown mengatakan...

boleh minta jawabannya ga ?