Oleh: Nugroho SBM
Sampai saat ini, debat di DPR tentang Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) masih belum juga usai sehingga pengesahan UU tersebut masih belum jelas kapan. Di samping itu, banyak pihak yang menuntut supaya UU induknya yaitu Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) direvisi terlebih dahulu karena dianggap mengandung unsur komersialisasi dan kapitalistik. Diharapkan- tentu- hal-hal tersebut bisa segera beres sehingga kewajiban negara untuk menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat segera dapat direalisasikan.
Pada aspek yang lain, dalam hal pemberian jaminan sosial, Indonesia bisa belajar dari dua kasus besar yang saat ini menimpa dua negara besar yaitu Inggeris dan AS.
Pertama, terkait dengan Inggeris. Seperti diketahui, sampai saat ini pemerintah dan aparat keamanan di sana belum sepenuhnya berhasil menghentikan kerusuhan besar yang dipicu oleh ditembak matinya seorang pria di daerah rusuh Nottingham oleh aaparat keamanan. Tertembak matinya pria tersebut hanyalah pemicu. Penyebab sebenarnya adalah kemiskinan dan pengangguran akibat keputusan Perdana Menteri Inggeris David Cameron yang di tahun 2010 memotong anggaran untuk tunjangan kaum miskin, tunjangan pendidikan, dan tunjangan sosial guna memangkas defisit anggaran. Maka kaum miskin yang terlantar yang tak diurus oleh negara merupakan api dalam sekam yang akhirnya benar-benar meletus pada peristiwa kerusuhan di Nottingham. Dari kasus di Inggeris ini, kita bisa belajar bahwa bagaimanapun dan di manapun tanggungjawab sosial negara kepada masyarakat antara lain dalam bentuk pemberian jaminan sosial adalah masalah penting. Bila negara atau pemerintah lalai dalam hal ini maka kerusuhan sosial sewaktu-waktu bisa meletus. Oleh karena itu, sekali lagi masalah UU BPJS dan UUSJSN harus segera dituntaskan supaya kewajiban negara memberikan jaminan sosial bagi masyarakat tidak tertunda-tunda.
Terkait Krisis AS
Kedua, terkait dengan krisis di AS. Sebagaimana diketahui, AS saat ini tengah dilanda krisis utang. Sebagaimana diketahui sampai Mei 2011 utang pemerintah AS mencapai 14,3 triliun dolar AS. Sementara itu pendapatan nasionalnya 14,7 triliun dolar AS. Sehingga dengan demikian rasio utang terhadap pendapatan nasional AS saat ini telah mencapai 96 persen. Padahal konsensus di antara para ekonom, batas aman rasio utang suatu negara terhadap pendapatan nasionalnya hanya 60 persen. Memang konggres dan presiden Obama telah sepakat untuk menambah utang baru sebanyak 2,1` triliun dolar AS, tetapi langkah ini hanyalah menunda kebangkrutan ekonomi AS.
Utang AS yang besar tersebut adalah untuk menutup defisit anggaran AS. Mengapa defisit anggaran AS membengkak? Secara kebijakan ekonomi, memang Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat selalu “pro rakyat” dengan penegluaran yang besar untuk berbagai tunjangan sosial bagi masyarakat. Ini berlawanan dengan ciri kas Partai Republik yang selalu “pro pasar” atau “pro pengusaha” dengan kebijakan misalnya pemotongan pajak atau tidak menaikkan pajak. Bila dilihat APBN AS semasa pemerintahan Obama maka pengeluaran pemerintah yang terbesar adalah untuk: pembayaran bunga obligasi pemerintah, pertahanan dan keamanan, tunjangan kesehatan, dan tunjangan sosial. Dari struktur pengeluaran itu bisa dilihat bahwa pengeluaran untuk tunjangan sosial dan kesehatan merupakan pos pengeluaran yang besar.
Lalu mengapa pengeluaran yang besar untuk tunjangan sosial dan kesehatan tersebut diiukti pula dengan utang yang besar? Biasanya memang ciri khas Partai Demokrat untuk menutup pengeluaran “pro rakyat” yang besar akan diambilkan dari penerimaan pajak.
Tetapi tampaknya pemerintahan Barrack Obama menghadapi situasi lain yang tak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Barrack Obama – tak seperti presiden lain dari Partai Demokrat- harus menghadapi suatu fraksi dari partai republik yang sangat ekstrim yang menolak setiap langkah pemerintah untuk menaikkan pajak. Mereka hanya berjumlah 85 orang dari 240 anggota konggres dari Partai Republik. Seluruh anggota Konggres adalah 435 orang. Mereka menyebut diri sebagai Partai Teh (Tea Party) untuk mengingatkan masyarakat akan peristiwa heroik pejuang AS yang menumpahkan teh di Pelabuhan Boston untuk memprotes Kebijakan Pajak pemerintah Inggeris. Meskipun kecil, anggota Partai Teh ini dengan suaranya yang keras dan taktik politik yang jitu telah berhasil mempengaruhi masyarakat dan juga bahkan sebagian anggota Partai Demokrat untuk menolak setiap rancangan kebijakan pemerintah Obama yang akan menaikkan penerimaan pajak untuk menutup defisit anggarannya. Akibatnya terpaksa pemerintah Obama terus menambah utangnya untuk menutup defisit anggaran AS.
Dari kasus krisis utang di AS Indonesia bisa belajar bahwa bagaimanapun penerimaan dari pajak sangatlah penting untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah termasuk untuk jaminan sosial. Ini penting ditekankan sebab dalam RUU BPJS - seperti telah saya tulis di Suara Merdeka 22 Juli 2011- pemerintah malah hendak menggeser beban pembiayaan jaminan sosial dari pemerintah kepada masyarakat dan pihak ketiga. Mungkin pemerintah takut bahwa pengeluaran untuk jaminan sosial ini akan memeperberat beban pengeluaran di APBN yang diikuti dengan beban perlunya mencari tambahan penerimaan.
Tetapi kekhawatiran itu tampaknya tak beralasan. Pemerintah sebenarnya masih bisa menggenjot penerimaan dari pajak. Menkeu Agus Martowardoyo menyatakan bahwa dari sekitar 22,6 juta perusahaan di Indonesia yang taat membayar pajak hanya 500 ribu perusahaan saja. Sedangkan secara perorangan dari 238 juta orang penduduk Indonesia yang membayar pajak hanya 7 juta orang saja (Suara Merdeka, 11 Agustus 2011). Artinya sebenarnya peluang untuk meningkatkan penerimaan dari pajak masih terbuka lebar. Syaratnya tentu saja perlunya kejujuran aparat pajak dan wajib pajak serta wajib pajak hendaknya bisa diyakinkan betul bahwa pajak yang mereka bayarkan memang digunakan untuk kepentingan umum.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Senin, 22 Agustus 2011
ANALISIS BIAYA-MANFAAT MELAKUKAN KORUPSI
Oleh Nugroho SBM
Nazarudin akhirnya tertangkap di Cartagena Sepanyol. Masyarakat berharap tertangkapnya Nazarudin menjadi kunci berbagai kasus korupsi besar yang selama ini “dinyanyikan” oleh Nazarudin dari persembunyiannya.Meskipun ia kini berusaha bungkam, tetapi KPK dan pihak terkait bisa terus melanjutkan penyidikan dg bukti-bukti yang ada
Asa masyarakat yang besar tersebut hendaknya jangan dikecewakan sebab selama ini pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat. Hal tersebut bisa dilihat dari besarnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2010 lalu yang masih bertengger di angka 2,8 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di urutan 15 dari 180 negara yang disurvai oleh Transparaency International. Mengapa pemberantasan korupsi jalan di tempat? Ilmu ekonomi membantu menjelaskan hal tersebut dengan alat analisis yang sederhana yaitu analisis biaya-manfaat.
Analisis biaya-manfaat seseorang melakukan korupsi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom Garry S Becker (1968). Becker memang ekonom yang idenya unik karena menganalisis berbagai fenomena dari sudut pandang ekonomi. Salah satu ide ”aneh”nya adalah ia pernah menulis tentang Ilmu Ekonomi Perkawinan. Dalam analisis Becker, seseorang melakukan tindakan korupsi atau tidak akan mempertimbangkan antara manfaat yaitu uang yang dia peroleh dari hasil melakukan korupsi dan biaya berupa hukuman yang harus ia tanggung jika ia tertangkap, diadili, dan dihukum karena melakukan tindakan korupsi.
Teori Becker ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ahli ekonomi lain, misalnya Bologna (1993), Pollinsky dan Shavel (1997), Bandura (1997), Frey (2009) dan Almer (2009), Yang pada intinya lebih memerinci manfaat dan biaya melakukan korupsi serta mengembangkan berbagai alat analisis. Alat analisis yang dikembangkan ada yang bersifat matematis, tetapi ada pula yang menggunakan eksperimen yang diambil dari ilmu psikologi.
Hati-hati dengan Hukuman
Meskipun semua ahli sepakat bahwa mestinya biaya melakukan korupsi yaitu hukuman yang diberikan kepada para koruptor harus lebih besar dari manfaat korupsi yaitu uang yang diperoleh dari hasil korupsi, tetapi Frey (2009) mengingatkan bahwa hukuman tak selalu mencapai tujuannya. Frey menyebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan penghukuman terhadap para koruptor menjadi tidak sesuai, tidak efisien bahkan menjadi kontra-produktif. Pertama, hukuman yang dikenakan terlalu ringan dibanding hasil korupsi. Kedua, penghukuman di penjara tidak membuat orang jera tetapi malah menjadi ajang sekolah atau pembelajaran tentang teknik korupsi yang lebih canggih dari narapidana lain. Ketiga, adanya kenyataan seringkali orang yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah justru lolos dari jeratan hukum. Keempat, seringkali penghukuman terhadap orang yang terlibat korupsi diintervensi oleh kekuasaan sehingga tidak optimal. Dan Kelima, orang yang selesai menjalani hukuman termasuk dalam kasus korupsi sringkali kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga ia setelah keluar dari penjara sulit mendapatkan pekerjaan yang legal dan halal sehingga ia akan kembali berbuat kejahatan.
Bagaimana di Indonesia?
Lalu bagaimana analisis manfaat-biaya untuk korupsi di Indonesia? Untuk masalah manfaat - yaitu uang yang berhasil diambil oleh para koruptor - tak perlu diragukan lagi. Menurut catatan, selama tahun 2001 sampai 2009 mencapai Rp 73,07 triliun. Sebuah jumlah yang besar.
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat non-finansial antara lain: sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi kita sering melihat para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-undang Nomer 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25 juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua yang aktual adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dialkukan oleh Rimawan Pradipto (2010) menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 200102009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi yang kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial inipun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomer 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomer 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyimnggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannnya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar di FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip)
Nazarudin akhirnya tertangkap di Cartagena Sepanyol. Masyarakat berharap tertangkapnya Nazarudin menjadi kunci berbagai kasus korupsi besar yang selama ini “dinyanyikan” oleh Nazarudin dari persembunyiannya.Meskipun ia kini berusaha bungkam, tetapi KPK dan pihak terkait bisa terus melanjutkan penyidikan dg bukti-bukti yang ada
Asa masyarakat yang besar tersebut hendaknya jangan dikecewakan sebab selama ini pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat. Hal tersebut bisa dilihat dari besarnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2010 lalu yang masih bertengger di angka 2,8 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di urutan 15 dari 180 negara yang disurvai oleh Transparaency International. Mengapa pemberantasan korupsi jalan di tempat? Ilmu ekonomi membantu menjelaskan hal tersebut dengan alat analisis yang sederhana yaitu analisis biaya-manfaat.
Analisis biaya-manfaat seseorang melakukan korupsi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom Garry S Becker (1968). Becker memang ekonom yang idenya unik karena menganalisis berbagai fenomena dari sudut pandang ekonomi. Salah satu ide ”aneh”nya adalah ia pernah menulis tentang Ilmu Ekonomi Perkawinan. Dalam analisis Becker, seseorang melakukan tindakan korupsi atau tidak akan mempertimbangkan antara manfaat yaitu uang yang dia peroleh dari hasil melakukan korupsi dan biaya berupa hukuman yang harus ia tanggung jika ia tertangkap, diadili, dan dihukum karena melakukan tindakan korupsi.
Teori Becker ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ahli ekonomi lain, misalnya Bologna (1993), Pollinsky dan Shavel (1997), Bandura (1997), Frey (2009) dan Almer (2009), Yang pada intinya lebih memerinci manfaat dan biaya melakukan korupsi serta mengembangkan berbagai alat analisis. Alat analisis yang dikembangkan ada yang bersifat matematis, tetapi ada pula yang menggunakan eksperimen yang diambil dari ilmu psikologi.
Hati-hati dengan Hukuman
Meskipun semua ahli sepakat bahwa mestinya biaya melakukan korupsi yaitu hukuman yang diberikan kepada para koruptor harus lebih besar dari manfaat korupsi yaitu uang yang diperoleh dari hasil korupsi, tetapi Frey (2009) mengingatkan bahwa hukuman tak selalu mencapai tujuannya. Frey menyebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan penghukuman terhadap para koruptor menjadi tidak sesuai, tidak efisien bahkan menjadi kontra-produktif. Pertama, hukuman yang dikenakan terlalu ringan dibanding hasil korupsi. Kedua, penghukuman di penjara tidak membuat orang jera tetapi malah menjadi ajang sekolah atau pembelajaran tentang teknik korupsi yang lebih canggih dari narapidana lain. Ketiga, adanya kenyataan seringkali orang yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah justru lolos dari jeratan hukum. Keempat, seringkali penghukuman terhadap orang yang terlibat korupsi diintervensi oleh kekuasaan sehingga tidak optimal. Dan Kelima, orang yang selesai menjalani hukuman termasuk dalam kasus korupsi sringkali kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga ia setelah keluar dari penjara sulit mendapatkan pekerjaan yang legal dan halal sehingga ia akan kembali berbuat kejahatan.
Bagaimana di Indonesia?
Lalu bagaimana analisis manfaat-biaya untuk korupsi di Indonesia? Untuk masalah manfaat - yaitu uang yang berhasil diambil oleh para koruptor - tak perlu diragukan lagi. Menurut catatan, selama tahun 2001 sampai 2009 mencapai Rp 73,07 triliun. Sebuah jumlah yang besar.
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat non-finansial antara lain: sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi kita sering melihat para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-undang Nomer 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25 juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua yang aktual adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dialkukan oleh Rimawan Pradipto (2010) menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 200102009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi yang kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial inipun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomer 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomer 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyimnggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannnya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar di FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip)
Kamis, 11 Agustus 2011
PEMERINTAH KURANG MANFAATKAN "BOOMING" EKONOMI ASIA
SEMARANG, KOMPAS.com - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai pemerintah kurang memanfaatkan momentum booming ekonomi kawasan Asia sehingga Indonesia tidak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi selama dua tahun terakhir.
"Jika pemerintah bergerak lebih cepat dan fokus, Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen. China dan India bisa memanfaatkannya sehingga tumbuh di atas delapan persen pada 2010," katanya di Semarang, Kamis (14/7/2011).
Menurut staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip itu, pertumbuhan ekonomi enam persen seperti yang dibukukan Indonesia belakangan ini bukan merupakan prestasi besar, sebab kawasan Asia dalam beberapa tahun terakhir ini memang sedang booming dan Indonesia ikut menikmatinya. "Pemerintah tanpa bekerja keras pun, Indonesia tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi moderat, enam persen karena kawasan ini (Asia) memang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi," katanya.
Ia memperkirakan, kehilangan dua poin pertumbuhan ekonomi setahun setara dengan potensi tidak terserapnya sekitar 800.000 tenaga kerja, sebab asumsinya setiap pertumbuhan ekonomi satu persen bisa menyerap 250.000-400.000 tenaga kerja.
Ia menjelaskan, hingga kini Indonesia tetap saja menghadapi masalah klasik yang membelenggu, seperti infrastruktur yang terbatas, birokrasi yang belum efisien, masalah pungutan (korupsi), dan terbatasnya stimulus untuk investasi di daerah luar Jawa.
Faktor eksternalnya, menurut Nugroho, perbankan amat selektif membiayai proyek infrastruktur, yang biasanya bernilai besar, berjangka panjang, dan risikonya lebih besar. "Perbankan justru royal mengucurkan kredit konsumsi karena lebih aman dan menghasilkan imbalan (gain) tinggi," katanya. Menurut dia, stabilitas makroekonomi, relatifnya rendahnya inflasi, dan stabilitas politiklah yang mendorong banyak investor membenamkan modalnya ke Indonesia.
Pemerintah, katanya, seharusnya bisa bertindak lebih, misalnya, fokus membenahi infrastruktur, dengan memperluas akses jalan di berbagai daerah, peningkatan kapasitas pelabuhan, dan bandara. "Dari tahun ke tahun keluhannya sama, jalan rusak atau akses jalan masih terbatas. Kalau terus seperti ini, percuma saja ada stimulus atau keringan pajak bagi investor yang membuka usaha di luar Jawa," katanya.
Akan tetapi, katanya, pemerintah belum terlambat untuk memperbaikinya, sebab Indonesia memiliki tiga modal penting untuk tumbuh, yakni stabilitas makroekonomi, inflasi rendah, dan sumber daya alam.
Nugroho mengkhawatirkan skandal korupsi yang melibatkan elit politik -- termasuk politikus dari partai berkuasa -- menyebabkan roda pemerintahan bergerak lamban karena sebagian energinya tersita untuk mengurus masalah itu.
"Jika pemerintah bergerak lebih cepat dan fokus, Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen. China dan India bisa memanfaatkannya sehingga tumbuh di atas delapan persen pada 2010," katanya di Semarang, Kamis (14/7/2011).
Menurut staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip itu, pertumbuhan ekonomi enam persen seperti yang dibukukan Indonesia belakangan ini bukan merupakan prestasi besar, sebab kawasan Asia dalam beberapa tahun terakhir ini memang sedang booming dan Indonesia ikut menikmatinya. "Pemerintah tanpa bekerja keras pun, Indonesia tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi moderat, enam persen karena kawasan ini (Asia) memang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi," katanya.
Ia memperkirakan, kehilangan dua poin pertumbuhan ekonomi setahun setara dengan potensi tidak terserapnya sekitar 800.000 tenaga kerja, sebab asumsinya setiap pertumbuhan ekonomi satu persen bisa menyerap 250.000-400.000 tenaga kerja.
Ia menjelaskan, hingga kini Indonesia tetap saja menghadapi masalah klasik yang membelenggu, seperti infrastruktur yang terbatas, birokrasi yang belum efisien, masalah pungutan (korupsi), dan terbatasnya stimulus untuk investasi di daerah luar Jawa.
Faktor eksternalnya, menurut Nugroho, perbankan amat selektif membiayai proyek infrastruktur, yang biasanya bernilai besar, berjangka panjang, dan risikonya lebih besar. "Perbankan justru royal mengucurkan kredit konsumsi karena lebih aman dan menghasilkan imbalan (gain) tinggi," katanya. Menurut dia, stabilitas makroekonomi, relatifnya rendahnya inflasi, dan stabilitas politiklah yang mendorong banyak investor membenamkan modalnya ke Indonesia.
Pemerintah, katanya, seharusnya bisa bertindak lebih, misalnya, fokus membenahi infrastruktur, dengan memperluas akses jalan di berbagai daerah, peningkatan kapasitas pelabuhan, dan bandara. "Dari tahun ke tahun keluhannya sama, jalan rusak atau akses jalan masih terbatas. Kalau terus seperti ini, percuma saja ada stimulus atau keringan pajak bagi investor yang membuka usaha di luar Jawa," katanya.
Akan tetapi, katanya, pemerintah belum terlambat untuk memperbaikinya, sebab Indonesia memiliki tiga modal penting untuk tumbuh, yakni stabilitas makroekonomi, inflasi rendah, dan sumber daya alam.
Nugroho mengkhawatirkan skandal korupsi yang melibatkan elit politik -- termasuk politikus dari partai berkuasa -- menyebabkan roda pemerintahan bergerak lamban karena sebagian energinya tersita untuk mengurus masalah itu.
Rabu, 10 Agustus 2011
Perlindungan Nyata Buruh Migran
• Oleh Nugroho SBM
KISAH pilu buruh migran atau TKI/ TKW Indonesia di luar negeri, termasuk nasib tragis Ruyati binti Sapubi yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, bukanlah hal baru dan tidak ada jaminan hal itu tidak terulang pada masa mendatang jika kebijakan pemerintah terhadap buruh migran juga belum berubah. Selama ini kebijakan pemerintah kita terhadap buruh migran hanyalah mendorong sebanyak-banyaknya mereka untuk bekerja di luar negeri.
Lalu mereka dielu-elukan sebagai pahlawan devisa karena mendatangkan devisa yang cukup besar ke Indonesia. Remitansi atau upah yang dikirim para TKI ke Indonesia berupa devisa atau valuta asing setahunnya tak kurang dari 8,6 miliar AS atau sekitar Rp 100 triliun. Devisa sebesar itu turut menjaga keseimbangan neraca pembayaran internasional Indonesia dan juga perekonomian Indonesia dari dampak gejolak perekonomian global.
Namun upaya mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya TKI ke luar negeri juga membawa ekses. Relatif banyak TKW kita yang bekerja di berbagai negara menjalani hukum mati tanpa ada upaya serius pemerintah untuk mengupayakan pembelaan dan perlindungan hukum. Perhatian serius baru diberikan misalnya menjelang pilpres. Kita ingat kasus Siti Hajar, TKW yang dianiaya di Malaysia tahun 2009, pemerintah terlihat gigih membelanya, bahkan SBY menelepon pimpinan negari jiran itu.
Tapi pembelaan itupun ternoda oleh pernyataan Presiden SBY tatkala menanggapi kasus Siti Hajar. Dia mengatakan telah berjumpa dengan sedikitnya 50 TKI yang baru saja tiba dari Arab Saudi dan hanya 3 orang yang bermasalah (detik.com, 11/06/09). Kesalahan pernyataan itu adalah ketika ia menganggap 3 sebagai jumlah kecil. Semestinya sekecil apapun kalau itu menyangkut nyawa tetaplah harus dianggap sebagai sesuatu yang besar.
Sebelumnya kita juga ingat menjelang Pilpres 2004 muncul kasus penyiksaan TKW Nirmala Bonat di Malaysia. Perhatian pemerintah begitu serius menanggapi, termasuk para capres. Tetapi setelah itu, tak ada lagi yang peduli terhadap persidangan yang harus dihadapi oleh Nirmala Bonat selama 4 tahun. Pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun kepada Yim Pek Ha, majikan yang menyiksa TKW itu pada 2004 tapi dikurangi menjadi 12 tahun.
Kelemahan MoU
Jika ditelusur akar permasalahan sebenarnya dari berbagai kasus penyiksaan, hukuman mati, ataupun pelanggaran HAM lain yang dialami TKI maka hal tersebut terletak pada lemahnya perjanjian kerja sama (memorandum of understanding/ MoU) penempatan TKI antara pemerintah Indonesia dan pemerintah ”pengimpor” tenaga kerja kita. Dalam MoU tentang penempatan TKI sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia yang ditandatangani di Bali, 14 Mei 2009 tampak bahwa Indonesia tak berdaya menghadapi Malaysia. Dalam MoU disebutkan bahwa majikan dari TKI diberi keleluasaan menahan paspor.
Keleluasaan menahan paspor inilah yang memicu tingginya kasus penganiayaan terhadap TKI khususnya yang bekerja sebagai PRT di Malaysia. Mengapa penganiayaan terhadap Siti Hajar di Malaysia tahun 2009 bisa berlangsung selama 34 bulan itu adalah juga karena kewenangan majikan menahan paspor.
Wanita pembantu itu tidak bisa lari karena peraturan keimigrasian di negeri jiran tersebut ekstraketat. Jika ingin melindungi TKI dari berbagai kasus, khususnya penyiksaan maka MoU harus direvisi. Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar yang tidak semestinya bersikap inferior terhadap bangsa dan negara lain, termasuk Malaysia.
Masalah lain adalah tidak adanya pasal-pasal perlindungan atau proteksi terhadap TKI.
Studi yang dilakukan Migrant Care (2008) yang membandingkan pernjanjian bilateral penempatan TKI yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara dan yang dibuat Filipina dengan 14 negara mitranya menemukan fakta menarik. Dokumen perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara penerima TKI tak satupun memuat kata ”perlindungan”. Sementara yang dibuat oleh Filipina dengan 14 negara mitranya penuh dengan kata ”protection” mulai pasal perekrutan, penempatan, sampai tanggung jawab negara pengirim dan penerima. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
KISAH pilu buruh migran atau TKI/ TKW Indonesia di luar negeri, termasuk nasib tragis Ruyati binti Sapubi yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, bukanlah hal baru dan tidak ada jaminan hal itu tidak terulang pada masa mendatang jika kebijakan pemerintah terhadap buruh migran juga belum berubah. Selama ini kebijakan pemerintah kita terhadap buruh migran hanyalah mendorong sebanyak-banyaknya mereka untuk bekerja di luar negeri.
Lalu mereka dielu-elukan sebagai pahlawan devisa karena mendatangkan devisa yang cukup besar ke Indonesia. Remitansi atau upah yang dikirim para TKI ke Indonesia berupa devisa atau valuta asing setahunnya tak kurang dari 8,6 miliar AS atau sekitar Rp 100 triliun. Devisa sebesar itu turut menjaga keseimbangan neraca pembayaran internasional Indonesia dan juga perekonomian Indonesia dari dampak gejolak perekonomian global.
Namun upaya mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya TKI ke luar negeri juga membawa ekses. Relatif banyak TKW kita yang bekerja di berbagai negara menjalani hukum mati tanpa ada upaya serius pemerintah untuk mengupayakan pembelaan dan perlindungan hukum. Perhatian serius baru diberikan misalnya menjelang pilpres. Kita ingat kasus Siti Hajar, TKW yang dianiaya di Malaysia tahun 2009, pemerintah terlihat gigih membelanya, bahkan SBY menelepon pimpinan negari jiran itu.
Tapi pembelaan itupun ternoda oleh pernyataan Presiden SBY tatkala menanggapi kasus Siti Hajar. Dia mengatakan telah berjumpa dengan sedikitnya 50 TKI yang baru saja tiba dari Arab Saudi dan hanya 3 orang yang bermasalah (detik.com, 11/06/09). Kesalahan pernyataan itu adalah ketika ia menganggap 3 sebagai jumlah kecil. Semestinya sekecil apapun kalau itu menyangkut nyawa tetaplah harus dianggap sebagai sesuatu yang besar.
Sebelumnya kita juga ingat menjelang Pilpres 2004 muncul kasus penyiksaan TKW Nirmala Bonat di Malaysia. Perhatian pemerintah begitu serius menanggapi, termasuk para capres. Tetapi setelah itu, tak ada lagi yang peduli terhadap persidangan yang harus dihadapi oleh Nirmala Bonat selama 4 tahun. Pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun kepada Yim Pek Ha, majikan yang menyiksa TKW itu pada 2004 tapi dikurangi menjadi 12 tahun.
Kelemahan MoU
Jika ditelusur akar permasalahan sebenarnya dari berbagai kasus penyiksaan, hukuman mati, ataupun pelanggaran HAM lain yang dialami TKI maka hal tersebut terletak pada lemahnya perjanjian kerja sama (memorandum of understanding/ MoU) penempatan TKI antara pemerintah Indonesia dan pemerintah ”pengimpor” tenaga kerja kita. Dalam MoU tentang penempatan TKI sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia yang ditandatangani di Bali, 14 Mei 2009 tampak bahwa Indonesia tak berdaya menghadapi Malaysia. Dalam MoU disebutkan bahwa majikan dari TKI diberi keleluasaan menahan paspor.
Keleluasaan menahan paspor inilah yang memicu tingginya kasus penganiayaan terhadap TKI khususnya yang bekerja sebagai PRT di Malaysia. Mengapa penganiayaan terhadap Siti Hajar di Malaysia tahun 2009 bisa berlangsung selama 34 bulan itu adalah juga karena kewenangan majikan menahan paspor.
Wanita pembantu itu tidak bisa lari karena peraturan keimigrasian di negeri jiran tersebut ekstraketat. Jika ingin melindungi TKI dari berbagai kasus, khususnya penyiksaan maka MoU harus direvisi. Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar yang tidak semestinya bersikap inferior terhadap bangsa dan negara lain, termasuk Malaysia.
Masalah lain adalah tidak adanya pasal-pasal perlindungan atau proteksi terhadap TKI.
Studi yang dilakukan Migrant Care (2008) yang membandingkan pernjanjian bilateral penempatan TKI yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara dan yang dibuat Filipina dengan 14 negara mitranya menemukan fakta menarik. Dokumen perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara penerima TKI tak satupun memuat kata ”perlindungan”. Sementara yang dibuat oleh Filipina dengan 14 negara mitranya penuh dengan kata ”protection” mulai pasal perekrutan, penempatan, sampai tanggung jawab negara pengirim dan penerima. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
Cacat dan Debat RUU BPJS
• Oleh Nugroho SBM
SAMPAI saat ini masih terjadi perdebatan sengit antara pemerintah dan DPR, bahkan antarpejabat pemerintah, seputar RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BP¬JS).
Perdebatan itu me¬nyangkut bentuk dan peranan dari lembaga yang akan melaksanakan program-program jaminan sosial bagi masyarakat.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU itu antara pemerintah dan DPR ditambah belum diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mendorong Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) melayangkan gugatan Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan 8 menteri yang terkait di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian PN Jakarta Pusat memutuskan pihak tergugat bersalah karena dianggap lalai tidak menjalankan UU SJSN. Pengadilan ‘’menghukum’’ pihak tergugat untuk segera melaksanakan UU itu dan yang lebih penting segera mengesahkan RUU BPJS menjadi UU. Banyak pihak menyatakan bahwa berlarut-larutnya perdebatan tentang RUU itu tak lepas dari induknya, yaitu UU SJSN yang sudah ‘’cacat’’.
Jadi masalahnya lebih fundamental dari sekadar gugatan KAJS yang menyatakan bahwa pemerintah lalai karena tidak segera melaksanakan UU SJSN.
Bila perdebatan tentang RUU itu ingin segera beres, UU SJSN harus diubah atau ditinjau ulang terlebih dahulu. Se¬ba¬gaimana diketahui UU itu lahir sebagai pemenuhan tuntutan kewajiban negara yang tertuang dalam Pembukaan, Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 h Ayat 3, dan Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Ada beberapa cacat dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. Pertama; UU SJSN telah mengubah hak rakyat untuk menerima jaminan sosial, dari negara justru menjadi kewajiban.
Pasal 17 UU tersebut menggunakan kata wajib (wajib menjadi peserta, wajib membayar iuran, pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerja, dan lain-lain). Jumlah iuran pun ditentukan oleh pihak lain. Jadi ada unsur kewajiban di sini.
Kedua; UU SJSN menggeser kewajiban negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945 kepada pihak ketiga. Pihak ketiga yang bentuknya badan usaha akan membayar jaminan sosial dari hasil iuran rakyat atau anggota yang diwajibkan. Ini mirip dengan usaha asuransi. Jadi kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat telah digeser ke pihak ketiga (badan usaha) dalam bentuk usaha asuransi.
Ketiga; UU SJSN memberi peluang bagi kehadiran badan usaha atau perusahaan asing untuk mengelola jaminan sosial, yang berarti pemerintah juga melepaskan tanggung jawab sosial pada masyarakatnya kepada agen-agen neo¬liberalisme.
Uji Materi
Keempat; dengan UU SJSN juga kepentingan rakyat yang seharusnya dinomorsatukan malah dinomorduakan dan dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Tentu saja bisnis jaminan sosial ini akan menjanjikan keuntungan yang besar.
Kalau benar sistemnya dengan iuran dan seperti bisnis asuransi serta diwajibkan bagi pekerja dan golongan masyarakat tertentu maka dana yang akan dikelola tentu akan sangat besar.
Kalau toh tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari penyelenggaraan jaminan sosial, ke¬untungan bisa diperoleh dengan cara memutar dana hasil setoran wajib peserta ke bisnis yang lain seperti bisnis saham, valuta asing, disimpan di perbankan dan bisnis-bisnis yang lain.
Betapa menggiurkannya dana yang akan dikelola oleh badan usaha yang nantinya mengelola jaminan sosial nasional, juga terlihat dari kekhawatiran serikat pekerja dan manajemen dari 4 BUMN: PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri yang akan dilebur ke BPJS. Kekhawatiran itu menyangkut dana sekitar Rp 100 triliun dari iuran 90 juta pekerja untuk jaminan hari tua (JHT).
Sangat tepat bila sebelum membahas RUU BPJS, terlebih dahulu memperdebatkan materi UU SJSN yang mempunyai beberapa cacat.
Sangat tepat pula tindakan para aktivis yang menentang UU SJSN dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konsitusi (MK). Mahkamah mestinya dengan jernih dan bijaksana menimbang apakah roh dari UU SJSN sesuai atau tidak dengan UUD 1945.
Hakim konstitusi seyogianya me¬nyadari betapa roh kapitalisme dan neo¬liberalisme sekarang sudah merasuk ke sistem ekonomi Indonesia lewat jalur yang konstitusional yaitu lewat undang-undang. Bisa saja beberapa UU telah dibeli para agen neoliberalisme.
Hal ini yang tidak di¬sadari oleh para ekonom pemerintahan. Karena itu ekonom perlu belajar hukum, dan sekarang ini banyak kajian pendekatan ekonomi untuk masalah hukum untuk mendekatkan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
SAMPAI saat ini masih terjadi perdebatan sengit antara pemerintah dan DPR, bahkan antarpejabat pemerintah, seputar RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BP¬JS).
Perdebatan itu me¬nyangkut bentuk dan peranan dari lembaga yang akan melaksanakan program-program jaminan sosial bagi masyarakat.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU itu antara pemerintah dan DPR ditambah belum diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mendorong Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) melayangkan gugatan Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan 8 menteri yang terkait di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian PN Jakarta Pusat memutuskan pihak tergugat bersalah karena dianggap lalai tidak menjalankan UU SJSN. Pengadilan ‘’menghukum’’ pihak tergugat untuk segera melaksanakan UU itu dan yang lebih penting segera mengesahkan RUU BPJS menjadi UU. Banyak pihak menyatakan bahwa berlarut-larutnya perdebatan tentang RUU itu tak lepas dari induknya, yaitu UU SJSN yang sudah ‘’cacat’’.
Jadi masalahnya lebih fundamental dari sekadar gugatan KAJS yang menyatakan bahwa pemerintah lalai karena tidak segera melaksanakan UU SJSN.
Bila perdebatan tentang RUU itu ingin segera beres, UU SJSN harus diubah atau ditinjau ulang terlebih dahulu. Se¬ba¬gaimana diketahui UU itu lahir sebagai pemenuhan tuntutan kewajiban negara yang tertuang dalam Pembukaan, Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 h Ayat 3, dan Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Ada beberapa cacat dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. Pertama; UU SJSN telah mengubah hak rakyat untuk menerima jaminan sosial, dari negara justru menjadi kewajiban.
Pasal 17 UU tersebut menggunakan kata wajib (wajib menjadi peserta, wajib membayar iuran, pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerja, dan lain-lain). Jumlah iuran pun ditentukan oleh pihak lain. Jadi ada unsur kewajiban di sini.
Kedua; UU SJSN menggeser kewajiban negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945 kepada pihak ketiga. Pihak ketiga yang bentuknya badan usaha akan membayar jaminan sosial dari hasil iuran rakyat atau anggota yang diwajibkan. Ini mirip dengan usaha asuransi. Jadi kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat telah digeser ke pihak ketiga (badan usaha) dalam bentuk usaha asuransi.
Ketiga; UU SJSN memberi peluang bagi kehadiran badan usaha atau perusahaan asing untuk mengelola jaminan sosial, yang berarti pemerintah juga melepaskan tanggung jawab sosial pada masyarakatnya kepada agen-agen neo¬liberalisme.
Uji Materi
Keempat; dengan UU SJSN juga kepentingan rakyat yang seharusnya dinomorsatukan malah dinomorduakan dan dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Tentu saja bisnis jaminan sosial ini akan menjanjikan keuntungan yang besar.
Kalau benar sistemnya dengan iuran dan seperti bisnis asuransi serta diwajibkan bagi pekerja dan golongan masyarakat tertentu maka dana yang akan dikelola tentu akan sangat besar.
Kalau toh tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari penyelenggaraan jaminan sosial, ke¬untungan bisa diperoleh dengan cara memutar dana hasil setoran wajib peserta ke bisnis yang lain seperti bisnis saham, valuta asing, disimpan di perbankan dan bisnis-bisnis yang lain.
Betapa menggiurkannya dana yang akan dikelola oleh badan usaha yang nantinya mengelola jaminan sosial nasional, juga terlihat dari kekhawatiran serikat pekerja dan manajemen dari 4 BUMN: PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri yang akan dilebur ke BPJS. Kekhawatiran itu menyangkut dana sekitar Rp 100 triliun dari iuran 90 juta pekerja untuk jaminan hari tua (JHT).
Sangat tepat bila sebelum membahas RUU BPJS, terlebih dahulu memperdebatkan materi UU SJSN yang mempunyai beberapa cacat.
Sangat tepat pula tindakan para aktivis yang menentang UU SJSN dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konsitusi (MK). Mahkamah mestinya dengan jernih dan bijaksana menimbang apakah roh dari UU SJSN sesuai atau tidak dengan UUD 1945.
Hakim konstitusi seyogianya me¬nyadari betapa roh kapitalisme dan neo¬liberalisme sekarang sudah merasuk ke sistem ekonomi Indonesia lewat jalur yang konstitusional yaitu lewat undang-undang. Bisa saja beberapa UU telah dibeli para agen neoliberalisme.
Hal ini yang tidak di¬sadari oleh para ekonom pemerintahan. Karena itu ekonom perlu belajar hukum, dan sekarang ini banyak kajian pendekatan ekonomi untuk masalah hukum untuk mendekatkan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
Langganan:
Postingan (Atom)