o
Oleh Nugroho SBM
0
0
PEMERINTAH
telah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi II. Ada dua hal penting dalam
kebijakan tersebut, yaitu pertama; pemerintah menaikkan pajak penghasilan (PPh)
lewat Pasal 22 untuk impor barang tertentu dari 2,5% menjadi 7,5%. Kriteria
barang tertentu adalah barang konsumtif dan tidak berdampak terhadap
inflasi.
Penaikan
tarif PPh berdasarkan Pasal 22 ini berlaku untuk 4 kelompok barang yang
mencakup 870 pos tarif (harmonized system). Kelompok barang tersebut, yakni
pertama; elektronik dan ponsel. Kedua; kendaraan bermotor, kecuali completely
knocked down (CKD), hibrid/listrik, dan berpenumpang lebih dari 10 orang.
Ketiga; tas, baju, alas kaki, perhiasan, dan parfum. Keempat; furnitur,
perlengkapan rumah tangga, dan mainan.
Isi
kebijakan yang kedua, pemerintah juga mengubah peraturan kemudahan impor untuk
tujuan ekspor (KITE). Perubahan itu antara lain mencakup penghapusan
penangguhan PPN dan PPnBM, penyederhanaan prosedur, dan penerapan risk
management. Termasuk optimalisasi otomasi pada pelayanan/pengawasan/perizinan
atas fasilitas pembebasan dan pengembalian bahan baku yang diimpor untuk
diproduksi dengan tujuan diekspor.
Penerbitan
paket kebijakan ekonomi itu bertujuan menekan defisit neraca transaksi berjalan
(ekspor impor barang dan jasa). Defisit neraca transaksi berjalan perlu ditekan
mengingat kondisi itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah kian
terpuruk.
Konsekuensi
lebih lanjut dari depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah kenaikan biaya
produksi untuk produsen yang saat ini bahan baku dan mesinnya masih impor, dan
kenaikan harga barang konsumsi. Keduanya akan menaikkan tingkat inflasi, dan
inflasi tersebut akan menyengsarakan masyarakat yang berpenghasilan tetap dan
rendah.
Apakah
Paket Kebijakan Ekonomi II ini efektif untuk mencapai tujuan? Jawabannya tidak.
Dasarnya adalah pertama; tarif PPh Pasal 22 yang dinaikkan adalah untuk
barang-barang impor yang tergolong barang konsumsi. Padahal impor terbesar
Indonesia adalah bahan baku dan barang modal.
Kedua;
yang banyak menyumbang defisit neraca transaksi berjalan (neraca ekspor dan
impor barang serta jasa) justru sektor jasa. Sektor jasa yang menyumbang
defisit besar antara lain pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri
(pemerintah dan swasta), asuransi, biaya transpor, serta jjasa keungan nonbank
lainnya. Ketiga; impor BBM pun merupakan penyumbang besar terhadap defisit
neraca transaksi berjalan kita.
Supaya
efektif menekan defisit neraca transaski berjalan, Paket Kebijakan Ekonomi II
harus didampingi kebijakan lain. BI telah mengawali dengan menaikkan BI rate
dari 7,25% menjadi 7,5%. Harapannya tentu orang akan melepas dolar AS dan
menukarkannya dengan rupiah sehingga pasokan dolar AS bertambah dan dolar AS
akan terdepresiasi terhadap rupiah. Dengan kata lain rupiah akan terapresiasi
atau menguat terhadap dolar AS.
Mengerem
Laju Kredit
Di
samping itu, menurut versi BI, langkah menaikkan BI rate dimaksudkan untuk
mengerem laju kredit (konsumsi dan investasi) sehingga laju pertumbuhan ekonomi
pun akan turun. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi diharapkan mengerem laju
impor. Jadi langkah bank sentral tersebut sudah tepat, guna mendampingi
operasional Paket Kebijakan Ekonomi II tersebut.
Kebijakan
lain yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi untuk kendaraan roda empat, hanya 2-3 liter per hari. Hal itu sudah
dimulai dengan memasang peralatan RFID di mobil dimulai di DKI Jakarta untuk
mengontrol jumlah pembelian BBM bersubsidi.
Di
samping kebijakan jangka pendek untuk menekan impor sehingga defisit neraca transaksi
berjalan pun bisa ditekan, dibutuhkan kebijakan fundamental jangka panjang.
Pertama; perbaikan dalam kebijakan industrialisasi yang lebih berorientasi pada
substitusi impor (memproduksi barangbarang yang dulunya diimpor), misalnya
industri bahan-bahan baku.
Kedua;
memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia dengan memperbaiki indikator-indikator
daya saing yang digunakan oleh Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum
(WEF). Kemeeamahan daya saing akan membuat harga barang impor lebih murah dari
barang produksi dalam negeri.
Forum
Ekonomi Dunia dalam survei daya saing menggunakan 12 indikator untuk
menunjukkan daya saing suatu negara. Dua indikator itu memang merupakan
indikator yang digunakan oleh pemerintah dan BI untuk menentukan apakah
perekonomian dalam kondisi baik atau tidak. Tetapi pemerintah dan BI kurang
memperhatikan 10 indikator lain.
Laporan
Forum Ekonomi Dunia tentang ”Daya Saing Global 2013-2014” menunjukkan bahwa
dalam indikator lain, posisi Indonesia sangat tertinggal. Berbagai masalah
masih mendera antara lain tingkat korupsi yang tinggi, kualitas kesehatan
yang rendah yang ditandai masih tingginya angka penderita Tb, HIV/AIDS, serta
kematian ibu melahirkan.
Selain
itu, masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, masih buruknya kondisi
perburuhan, terutama bila dikaitkan dengan berbagai unjuk rasa buruh, tidak
kondusifnya kebijakan industri, serta buruknya kualitas dan kuantitas
infrastruktur jalan.
Ketiga;
penggantian BBM bersubsidi dngan energi alternatif harus dilakukan secara
serius supaya nilai impor BBM yang besar, yang menyebabkan defisit neraca
transaski berjalan, bisa ditekan semaksimal mungkin. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi,
dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang