Senin, 07 Maret 2011

KRISIS LIBYA DAN HARGA BBM INDONESIA

Oleh Nugroho SBM
Berbeda dengan krisis di Mesir yang akhirnya berhasil menumbangkan Presiden Hosni Mubarak dari kursi yang telah didudukinya selama 30 tahunan, krisis di Lbya lebih besar pengaruhnya pada harga BBM dengan segala permasalahannya di Indonesia. Krisis Libya telah menyebabkan harga minyak dunia terus meroket dan mencapai 100 an dollar AS lebih per barrel. Sementara asumsi yang dipatok pemerintah di APBN 2011 hanya 80 dolar AS per barrel.
Ada minimal 2 (dua) dampak negatif meroketnya harga minyak dunia tersebut bagi Indonesia. Pertama, akan menyebabkan defisit APBN untuk subsidi BBM dan listrik bertambah besar. Simulasi dari Depkeu dan Reforminer Institute menunjukkan setiap kenaikan harga minyak 1 dolar AS per barrel dari asumsi yang ditetapkan APBN maka akan menambah defisit APBN sebesar 0,8 trilyun rupiah. Angka ini diperoleh dari: jika harga minyak naik 1 dolar AS per barrel dari asumsi yang ditetapkan maka penerimaan migas akan bertambah dengan 2,6 trilyun rupiah, sementara subsidi untuk BBM dan listrik justru bertambah dengan 3,4 trilyun rupiah. Membengkaknya defisit ini akan merepotkan pemerintah yang harus mencari tambahan pendapatan untuk menutup defisit atau mengalihkan pengeluaran-pengeluaran yang lebih strategis ke pengeluaran subsidi BBM dan listrik.
Dampak negatif kedua, adalah makin melebarnya harga BBM bersubsidi dengan BBM non-subsidi. Meskipun sampai saat ini rencana pemisahan penjualan BBM bersubsidi dan non-subsidi belum dilakukan, namun perbedaan harga BBM subsidi dan non-subsidi tersebut telah membuat kebijakan tersebut makin sulit direalisasikan.

Mengapa?
Pertanyaannnya adalah mengapa krisis di Libya pengaruhnya lebih besar pada harga minyak dunia dan dengan demikian juga harga BBM di Indonesia? Pertama, meskipun telah menelan kurban jiwa sekitar 6.000 orang yang tewas, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda ke arah penyelesaian. Khadafy tetap menolak untuk mundur, sementara para pemberontak dan mereka yang menentangnya juga tetap bertahan. Demikian juga belum ada tanda-tanda kedua pihak mau berunding untuk perdamaian. Situasi tersebut memunculkan kegiatan spekulasi yang kian hebat. Para pedagang perantara minyak dan spekulan memanfaatkan situasi ini untuk berspekulasi yang menjanjikan keuntungan yang besar.
Kedua, ada kemungkinan karena keberhasilan revolusi di Mesir, krisis di Lbya akan merembet ke negara-negara Timur Tengah dan negara Afrika yang lain yang pemerintahannya tidak demokratis seperti: Iran, Arab Saudi, dan Aljazair. Jika hal itu terjadi maka pasokan minyak dunia akan semakin terancam yang menyebabkan harga minyak dunia kian melambung. Iran, misalnya sampai saat ini memiliki cadangan minyak 137 miliar barrel lebih dengan tingkat produksi lebih dari 4,2 juta barrel per hari.
Ketiga, dari sumbangan terhadap produksi minyak dunia, sumbangan Libya juga cukup besar. Berbeda dengan Mesir yang “hanya” punya 4,4 miliar barrel cadangan minyak dengan tingkat produksi 700.000 barrel per hari, Libya punya cadangan minyak 44 miliar barrel dan tingkat produksi mendekati 1,7 juta barrel per hari. Dengan cadangan minyak sebesar itu, maka 35 persen cadangan minyak ada di Libya.

Implikasi Kebijakan
Lalu apa implikasi kebijakan krisis Libya yang menyebabkan meroketnya harga minyak dunia sampai saat ini? Memang tak ada banyak pilihan kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia. Tapi beberapa kebijakan bisa ditempuh. Pertama, mau tidak mau pemerintah harus mengubah asumsi harga minyak dalam APBN 2011. Kisaran harga 86 sampai 90 dolar AS per barrel merupakan asumsi harga baru yang lebih realistik sesuai dengan perkiraan rata-rata harga minyak di tahun 2011 yang diprediksi rata-rata mencapai 90 dollar AS per barrelnya. Memang di APBN ada pos cadangan resiko fiskal yang antara lain bisa digunakan kalau asumsi-asumsi makro di APBN meleset sehingga pengeluaran lebih besar dari yang dicantumkan dalam APBN. Tetapi dengan melihat cadangan resiko fiskal yang ada di APBN 2011, maka toleransi kenaikan harga minyak yang diasumsikan hanya bisa mencapai maksimal 82 dollar AS per barrel. Maka pemerintah tak usah gengsi dengan mengubah asumsi harga minyak dunia di APBN 2011. Impilaksi berikutnya adalah pemerintah perlu mencari tambahan pendapatan yang masih mungkin untuk menutup defisit akibat naiknya harga minyak yang diasumsikan dalam APBN. Salah satunya yang masih mungkin adalah mengintensifkan penerimaan pajak dengan mengejar wajib-wajib pajak yang nakal. Maka penuntasan kasus Gayus Tambunan yang sekarang ini terus ditutup-tutupi perlu dilakukan untuk memberikan efek jera bagi wajib-wajib pajak yang nakal.
Kedua, kebijakan untuk membatasi penjuaalan BBM khususnya premium bersubsidi hanya bagi mereka yang berhak (yaitu mereka yang punya mobil tahun 2004 ke bawah) makin muskil untuk dilaksanakan sehingga lebih baik tidak dilaksaanakan. Pembatasan BBM bersubsidi dengan tingkat perbedaan harga BBM bersubsidi dan non-subsidi yang main lebar karena naiknya harga minyak dunia hanya akan menyebabkan berbagai distorsi dan penyelewengan antara lain berupa pasar gelap dan penggunaan BBM bersubsidi oleh orang yang tidak berhak. Maka kebijakan menaikkan harga BBM – meskipun dampaknya pahit – akan lebih baik daripada kebijakan membatasi BBM bersubsidi.
Ketiga, sehubungan dengan kebijakan menaikkan harga BBM – jika ini yang dipilih- maka perlu diberlakukan kebijakan jaring pengaman sosial berupa pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), maupun berbagai keringanan serta pembebasan biaya untuk pendidikan dan kesehatan bagi mereka yang kurang mampu. Untuk itu RUU Jaring Pengaman Sosial yang sekarang ini belum dituntaskan dan disahkan menjadi UU oleh DPR perlu segera dituntaskan. Sebab dengan UU Jaring Pengaman Sosial itu maka kebijakan Jaring Pengaman Sosial oleh pemerintah akan mempunyai landasan dan arah yang pasti.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Tidak ada komentar: