Selasa, 22 Desember 2009

MENGAPA MENENTANG KORUPSI?

Oleh: Nugroho SBM

Tanggal 9 Desember ditetapkan sebagai Hari Anti Korupsi sedunia. Pertanyaan utama yang muncul adalah mengapa perlu menjadikan korupsi musuh seluruh dunia? Ada beberapa penulis dan peneliti yang menganalisis baik secara teoritik maupun empirik dari sudut ekonomi tentang kerugian, biaya, atau dampak negatif yang diakibatkan oleh korupsi. Berikut beberapa di antaranya.
Pertama, korupsi telah mengurangi pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditemukan antara lain oleh riset yang dilakukan Paulo Mauro (1995 dan 1997) di 70 negara. Korupsi mengurangi pertumbuhan ekonomi karena dengan korupsi maka investasi (asing dan dometik) tersendat. Investasi tersendat karena korupsi dari perspektif investor (asing dan domestik) telah menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dan ekonomi biaya tinggi merupakan biaya tambahan bagi investor sehingga investor akan berpikir dua kali untuk melakukan investasi.
Di samping akan mengurungkan niatnya untuk berinvestasi, korupsi juga akan mengurangi produktivitas investor yang telah melakukan investasi. Penelitian Arthur dan Teal (2004) terhadap perusahaan-perusahaan di Afrika menemukan bahwa produktivitas perusahaan-perusahaan yang membayar suap ternyata hanya 2/3 (duapertiga) dari perusahaan yang tidak membayar suap. Jika produktivitas perusahaan rendah akibat korupsi maka pertumbuhan ekonomi- yang merupakan pertumbuhan produksi nasional – juga akan mengalami penurunan
Kedua, korupsi telah membuat alokasi yang salah dalam penempatan sumberdaya manusia. Karena alokasi yang salah tersebut maka timbul implikasi lanjutannya misalnya: ketimpangan pertumbuhan antar sektor dan antar daerah. Kenyataan ini ditemukan dalam riset yang dilakukan oleh Murphy, K, Shieller A, dan Vishny (1991). Hasil temuan ketiganya menunjukkan bahwa karena motivasi ingin kaya lewat korupsi maka banyak sumberdaya manusia yang berbakat yang bekerja di sektor dan daerah yang “basah”. Akibatnya sektor dan daerah lain yang sebenarnya membutuhkan sumber-sumberdaya manusia yang berbakat tetapi “tidak basah” tertinggal karena tidak mendapatkan alokasi sumberdaya manusia berbakat yang memadai.

Menciptakan Kesenjangan
Ketiga, korupsi telah meningkatkan kesenjangan sosial dan distribusi pendapatan. Fakta ini dikemukakan oleh Akhil Gupta (1995). Menurut Gupta korupsi telah menciptakan kesenjangan sosial dan distribusi pendapatan karena dengan korupsi telah terjadi pemindahan dana dari masyarakat umum kepada sekelompok kecil orang yang memegang kekuasaan (baik kekuasaan ekonomi maupun politik). Padahal dana yang dipindahkan tersebut tidaklah kecil jumlahnya sehingga sekelompok kecil orang yang punya kekuasaan makin kaya sementara sekelompok besar orang miskin akan makin miskin.
Jalur lain dari terciptanya kesenjangan distribusi pendapatan – masih menurut Gupta – lewat dikorupsinya berbagai bantuan untuk orang miskin. Korupsi dana pengentasan kemiskinan telah membuat upaya pengentasan kemiskinan terkurangi efektivitasnya sehingga jumlah orang miskin tak terkurangi secara signifikan. Dengan demikian ketimpangan distribusi pendapatan juga tak terkurangi secara signifikan.
Keempat, korupsi menciptakan ketidakstabilan politik. Hal ini dikemukan oleh Gupta (1995) merupakan kelanjutan dari dampak ketiga yaitu adanya kesenjangan sosial. Di beberapa negara kesenjangan sosial dan ketimpangan distribusi pendapatan telah memicu kerusuhan-kerusuhan sosial. Akibat kerusuhan sosial tersebut maka resiko negara (Country Risk) akan naik . Naiknya resiko negara akan menyebabkan larinya modal dan devisa ke luar negeri. Akibat berikutnya negara tersebut akan mengalami krisis nilai tukar mata uangnya dan pada akhirnya akan megalami krisis ekonomi yang lebih menyengsarakan.
Kelima, terabaikannya penyediaan barang-barang publik yang seharusnya menjadi hak rakyat. Pernyataan tersebut terungkap pada studi Jan K Bruner (2000) dengan mengambil studi kasus pada beberapa negara sedang berkembang. Dalam studi tersebut terungkap bahwa korupsi telah mengurangi dana untuk pembiayaan berbagai jasa dan barang publik seperti: sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan, dan lain-lain. Akibatnya baik kuantitas maupun kualitas berbagai barang dan jasa publik tersebut juga terkurangi.

Investasi Besar Pada Projek Militer
Keenam, yang menarik adalah korupsi di beberapa negara telah mendorong investasi atau pengeluaran yang berlebihan untuk projek-projek militer, padahal mungkin akan lebih berguna jika uang itu diinvestasikan untuk projek-projek untuk kepentingan masyarakat umum. Hal itu terungkap dari riset yang dilakukan oleh Vito Tanzi (1998).
Menurut Tanzi, kecenderungan demikian terjadi karena biasanya projek-projek militer sifatnya tertutup atau tidak transparan. Ketidaktransparanan tersebut akan memancing terjadinya korupsi dalam proses tender maupun pembangunan projek-projek militer tersebut.
Ketujuh, korupsi cenderung mengabaikan barang-barang modal yaitu sarana dan prasarana publik yang sudah ada yang susah payah dibangun. Dalam penelitian Tanzi (1998) yang sama, terungkap bahwa pejabat-pejabat pemerintah lebih senang membangun sarana dan parsarana publik yang baru daripada menyediakan dana pemeliharaan untuk sarana dan parasarana publik yang sudah ada. Sebabnya jelas dengan pembangunan baru maka kesempatan untuk melakukan korupsi lebih besar misalnya lewat permainan dalam tender.
Kedelapan, korupsi juga akan mendorong ke arah pembangunan projek-projek yang tidak ada manfaatnya secara langsung untuk masyarakat. Hal ini sama kasusnya dengan korupsi yang mendorong projek-projek militer yang berlebihan seperti telah ditulis di depan.
Kesembilan, korupsi tentu saja juga akan secara langsung mengurangi penerimaan pemerintah baik dari pajak, retribusi, maupun dari penerimaan-penerimaan bukan pajak. Karena pejabat pemerintah yang memungut berbagai penerimaan pemerintah tersebut melakukan negosiasi dengan wajib pajak atau wajib bayar sehingga si wajib pajak atau wajib bayar membayar kewajibannya di bawah yang seharusnya ditentukan.



Memberantas Korupsi
Melihat berbagai dampak negatif korupsi tersebut bagaimanapun korupsi di Indonesia harus diberantas. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pembenahan aparatur negara terutama dari segi kesejahteraan dan mental memang harus terus dilakukan karena rendahnya gaji pegawai negeri dan mental yang buruk merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi di Indonesia. Kedua, pembenahan administrasi dalam pelayanan publik misalnya pendirian kantor-kantor pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam pelayanan investasi perlu dipercepat di semua daerah. Karena birokrasi yang berbelit merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
Ketiga, mendorong partisipasi usaha swasta untuk ikut memberantas korupsi. Caranya salah satunya adalah dengan memberi penghargaan bagi perusahaan yang berani melaporkan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Keempat, mendorong lebih besarnya partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan khususnya kegiatan pemerintahan. Sebab menurut berbagai hasil penelitian antara lain penelitian Anand Swammy (2000), wanita cenderung lebih tidak korup dibanding laki-laki.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip dan sedang menulis Disertasi tentang Korupsi di Program Doktor Ilmu Ekonomi Undip)

Senin, 07 Desember 2009

KORUPSI HAMBAT INVESTASI

Oleh: Nugroho SBM

Pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi lima tahun ke depan (2010-2014) setiap tahunnya rata-rata 7 persen. Sebuah angka yang cukup optimistis tetapi sebenarnya kurang realistis. Kurang realistis sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2009 ini saja hanya diperkirakan 4,4 persen. Meskipun angka pertumbuhan ekonomi tersebut terbilang cukup tinggi karena Indonesia termasuk tiga negara di dunia yang angka pertumbuhan ekonominya di tahun 2009 masih positif di tengah negatifnya angka pertumbuhan ekonomi hampir semua negara karena krisis keuangan global yang belum pulih. Tiga negara yang pertumbuhan ekonominya positif tersebut adalah India, China, dan Indonesia.
Untuk mencapai angka pertumbuhan rata-rata 7 persen setiap tahun tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar. Pada tahun 2010, menurut versi pemerintah, untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi 7 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2.000 trilyun. Sementara menurut versi Kadin kebutuhan dana tersebut jauh lebih tinggi yaitu Rp 2.900 trilyun.
Masih menurut versi pemerintah, dana Rp 2.000 trilyun tersebut akan diperoleh dari : APBN sebesar Rp 200 trilyun, kredit perbankan Rp 450 trilyun, pasar modal Rp 400 trilyun, investasi domestik Rp. 400 trilyun, dan investasi asing Rp. 500 trilyun.
Di antara berbagai sumber dana untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen tersebut, yang paling berat adalah menggaet dana dari investasi domestik dan investasi asing. Sebabnya jelas yaitu ada berbagai hambatan dalam menggaet investasi, dan satu di antaranya yang paling besar adalah korupsi yang saat ini sedang ramai dibicarakan karena permusuhan antara KPK dan Polri.

Definisi Korupsi
Meskipun merupakan hambatan yang besar bagi dunia usaha atau investasi, yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain, sesungguhnya mencari definisi yang tepat tentang korupsi bukanlah pekerjaan mudah. Definisi korupsi akan sangat tergantung dari budaya masyarakat di suatu negara. Di negara-negara dengan adat timur seperti China, Korea, dan Taiwan dimana bisnis bersifat informal, ada kebiasaan yang dinamakan guanxi (Chen, 1994) yaitu kebiasaan memberi hadiah oleh usahawan kepada teman baik sesama usahawan maupun kepada pejabat publik. Tindakan tersebut tidak dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi yang merupakan salah satu bentuk korupsi yang di banyak negara dilarang. Sementara itu, di negara-negara barat dimana hukum lebih tegas dan formal, pemberian hadiah dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap dan oleh karenanya dilarang.
Konferensi Malta 1994 , mendefinisikan korupsi dengan sangat luas yaitu tindakan yang berbau kecurangan. Dengan definisi tersebut maka tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak hanya yang secara yuridis formal melanggar hukum tetapi juga tindakan yang secara moral kurang patut.
Sejalan dengan Konferensi Malta 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), mendefinisikan korupsi secara luas yaitu penyelewengan atau penggelapan uang negara, uang perusahaan, dan lainnya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sedangkan menurut UU Nomer 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi membagi tindak pidana korupsi menjadi 2 yaitu tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dan yang diatur di luar KUHP.
Tindakan pidana korupsi yang diatur dalam KUHP yaitu penyuapan, penggelapan, pemerasan, dan pengaduan terhadap pekerjaan rekanan. Sedangkan tindak pidana korupsi yang diatur di luar KUHP adalah tindak pidana korupsi umum, penyalah gunaan kewenangan atau kekuasaan, memberi hadiah dengan mengingat kekuasaan, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sengaja menggagalkan penanganan tindak pidana korupsi, dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam perkara korupsi, serta membeberkan identitas pelapor tindak pidana korupsi

Korupsi dan Dunia Usaha
Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad Kuncoro (2004) pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro (2001) pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi perusahaan. Sebuah penelitian menarik di Afrika yang dilakukan oleh Arthur dan Teal (2004) menemukan bahwa produktivitas perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah membayar suap.
Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya. Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya berupa penurunan omset penjualan.
Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih “merugikan” dibandingkan pajak. Dalam tulisannya yang menarik berjudul “Why is Corruption So Much More Taxing Than Tax”(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997) menyatakan bahwa korupsi lebih merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya.
Karena ketiga dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun investasi asing. Berbagai penelitian menunjukkan hal itu. Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. PenelitianHines (1995) di AS menghasilkan hasil yang sama. Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing.
Karena berdampak negatif terhadap investasi padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.
Dengan menggunakan data Indeks Persepsi Korupsi di 21 daerah di Indonesia hasil survai Transparency International Indonesia (2004) dan PDRB per kapita di 21 daerah yang menjadi sampel tersebut, saya pernah menganalisis pengaruh korupsi dan pertumbuhan ekonomi daerah dengan menggunakan regresi. Hasil regresi menunjukkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Memberantas Korupsi
Melihat bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi, padahal investasi sangat dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun maka bagaimanapun korupsi di Indonesia harus diberantas. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pembenahan aparatur negara terutama dari segi kesejahteraan dan mental memang harus terus dilakukan karena rendahnya gaji pegawai negeri dan mental yang buruk merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi di Indonesia. Kedua, pembenahan administrasi dalam pelayanan publik misalnya pendirian kantor-kantor pelayanan satu atap (One Stop Service) dalam pelayanan investasi perlu dipercepat di semua daerah. Karena birokrasi yang berbelit merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
Ketiga, mendorong partisipasi usaha swasta untuk ikut memberantas korupsi. Caranya salah satunya adalah dengan memberi penghargaan bagi perusahaan yang berani melaporkan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
Keempat, mendorong lebih besarnya partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan khususnya kegiatan pemerintahan. Sebab menurut berbagai hasil penelitian antara lain penelitian Anand Swammy (2000), wanita cenderung lebih tidak korup dibanding laki-laki.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang, sedang menulis Disertasi tentang Korupsi di Program Doktor FE Undip)

(Artikel ini sudah diterbitkan di Rubrik Wacana Harian SUARA MERDEKA Semarang)

Selasa, 01 Desember 2009

MENYIGI AKAR MASALAH CENTURY

Oleh Nugroho SBM

AKHIRNYA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan hasil audit tentang masalah pemberian bantuan pemerintah terhadap Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Menurut hasil audit badan itu, ada indikasi penyelewengan dana kurang lebih Rp 3,4 triliun dari dana Rp 6,7 triliun tersebut. Pemerintah dan BI juga telah menyampaikan klarifikasi terhadap hasil audit tersebut.

Namun penelusuran terhadap akar masalah Bank Century khususnya dan bank-bank lain yang sedang dan akan terjadi serta bagaimana langkah seharusnya yang ditempuh tetap penting dilakukan agar kejadian serupa kasus Bank Century tak terulang.

Akar masalah perbankan di Indonesia pertama-tama bisa ditelusuri dari kebijakan umum tentang perbankan. Arah kebijakan perbankan tersebut adalah liberalisasi. Tonggak dari liberalisasi perbankan di Indonesia adalah dua kebijakan liberalisasi yang monumental yaitu liberalisasi perbankan 1 Juni 1983 dan Paket Oktober 1988 (ada yang menyebut Pakto 1988).

Kebijakan Liberalisasi I Juni 1983 antara lain membebaskan bank untuk menentukan suku bunga, baik suku bunga kredit maupun simpanan. Sebelumnya baik suku bunga simpanan maupun kredit ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Akibatnya bank-bank berlomba-lomba menawarkan suku bunga simpanan yang tinggi disertai berbagai macam iming-iming hadiah dan suku bunga kredit yang menarik tanpa mempertimbangkan kesehatan usahanya.

Sedangkan Paket Oktober 1988 melonggarkan syarat-syarat pendirian sebuah bank antara lain syarat minimal modal disetor yang sangat rendah. Tampaknya kebijakan ini tidak dipikirkan secara matang tentang masalah potensial yang akan timbul.

Akibatnya karena saking mudahnya orang mendirikan bank maka ada gurauan di tengah masyarakat waktu itu bahwa tukang kelontong pun bisa mendirikan bank. Akibat lebih lanjut adalah berdirinya banyak sekali bank, bahkan Indonesia waktu itu disebut negara yang terbanyak jumlah banknya, tetapi tidak diikuti dengan tingkat kesehatan bank yang baik. Maka setelah itu banyak bank-bank yang tutup dan beberapa diambil alih atau dibantu oleh pemerintah.

Setelah dua kebijakan yang monumental dan liberal tersebut yang ternyata menimbulkan berbagai masalah maka BI berusaha kembali memperketat aturan agar kondisi perbankan sehat. Kebijakan yang terbaru adalah ditetapkannya cetak biru kebijakan perbankan yang disebut sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Tetapi di samping banyak kebijakan pengendalian - termasuk API - yang belum dilaksanakan, kebijakan-kebijakan pengendalian yang sudah dilaksanakan untuk mengerem dampak negatif dari kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 pun tak sepenuhnya berhasil. Karena tampaknya sudah telanjur bahwa dampak negatif Kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 berlari lebih cepat dari kebijakan untuk menanggulanginya. Bisa diibaratkan BI seperti berlari mengejar layang-layang putus.

Akar kedua dari berbagai masalah perbankan di Indonesia adalah sifat industri perbankan sendiri yang rentan terhadap penyelewengan dan gejolak ekonomi serta keuangan. Beberapa sifat tersebut adalah: pertama, bank merupakan perantara antara mereka yang kelebihan dana dan disimpan dan mereka yang membutuhkan dana atau debitur. Jadi sebenarnya bank tidak mengelola modal atau uangnya sendiri.

Oleh karena itu dalam industri perbankan ketentuan internasional (yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement atau BIS) untuk rasio modal sendiri terhadap total modal atau dikenal dengan capital adequacy ratio (CAR) hanya 8 persen. Angka 8 persen artinya bank cukup punya modal sendiri 8 persen dari total modal yang disetor. Akibatnya begitu ada rumor atau masalah ekonomi yang menyebabkan deposan menarik uangnya secara beramai-ramai maka bank akan mengalami kesulitan.

Kedua, industri perbankan adalah industri kepercayaan. Artinya unsur kepercayaan baik dari deposan (yang menyimpan uang) maupun dari debitur (yang meminjam uang) sangat penting. Sekali kepercayaan terhadap sebuah bank luntur, akan sangat sulit untuk memulihkannya kembali dan hal tersebut akan merembet pada bank-bank lainnya.
Menarik Dananya Kita masih ingat ketika awal krisis tahun 1997 waktu itu banyak deposan yang menarik dananya dari bank dan memilih menyimpan uangnya di kotak penyimpanan uang atau safe deposit box. Banyak bank yang waktu itu mengalami kesulitan likuiditas sehingga mencoba ”merayu” deposan dengan meningkatkan suku bunga simpanannya. Rata-rata waktu itu suku bunga simpanan sampai mencapai 60 persen. Tetapi tampaknya meskipun dirayu dengan suku bunga tinggi tingkat kepercayaan deposan tidak begitu saja pulih. Deposan- waktu itu - tidak juga mau mengembalikan dana yang disimpannya di kotak penyimpanan uang ke rekening tabungan di bank. Baru setelah pemerintah mengumumkan akan menjamin simpanan di bank lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maka kepercyaan deposan kembali pulih.

Ketiga, bisnis perbankan adalah bisnis yang secara langsung bersentuhan dengan uang. Maka hal tersebut akan memancing tindakan-tindakan kejahatan dari berbagai pihak untuk menyelewengkan uang bank untuk kepentingan pribadi. Akar ketiga dari masalah perbankan di Indonesia adalah lemahnya pengawasan oleh BI terhadap bank umum. Dalam kasus Bank Century, hasil audit BPK mengungkapkan bahwa pengawasan BI terhadap Century sangatlah lemah.

Lemahnya pengawasan terlihat dalam beberapa hal: pertama, Century sebenarnya merupakan bank hasil merger dari beberapa bank yang kurang sehat yaitu Bank Danpac, Bank Piko, dan Bank CIC. Setelah merger, mestinya BI mengawasi secara ketat Century karena sejak awal merupakan gabungan bank-bank yang kurang sehat tetapi tampaknya itu tidak dilakukan.

Kedua, mestinya BI juga menerapkan secara ketat fit and proper test kepada mereka yang duduk di manajemen Century. Tetapi tampaknya hal tersebut juga tidak dilakukan. Hat tersebut terbukti dari berbagai tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen Century antara lain: pemberian kredit tanpa prosedur yang benar, penerbitan L/C fiktif, penggunaan uang nasabah untuk investasi di usaha dan surat berharga yang buruk, penggelapan uang nasabah, dan lain-lain.

Ketiga, dari hasil audit BPK juga terungkap bahwa Century selama periode tahun 2005 - 2008 telah melakukan pelanggaran berbagai ketentuan perbankan tetapi tidak mendapatkan sanksi atau teguran dari BI.

Lemahnya pengawasan BI ini ada yang menyatakan karena BI ”terpecah” tuganya yaitu antara tugas utama menjaga stabilitas nilai rupiah (dalam arti inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil) dengan tugas tambahan yaitu mengawasi perbankan. Pernah ada wacana bidang pengawasan bank diserahkan ke badan bernama Otoritas Jasa Keuangan yang sampai sekarang belum didirikan.
Aturan Bail Out Akar keempat dari masalah perbankan pada umumnya dan Bank Century pada khususnya adalah belum jelasnya aturan tentang talangan bagi bank yang bangkrut (bail out). Dalam pertimbangan untuk membantu Century, baik BI maupun pemerintah bersikukuh bahwa bangkrutnya Century sifatnya sistemik, artinya jika tidak dibantu maka akan menyeret sekitar 23 bank lain.

Tetapi tidak pernah dijelaskan apa kriteria sistemik dalam kasus tersebut. Tampaknya kriteria sistemik - yang merupakan salah satu bagian dari UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang sekarang digodok DPR - merupakan salah satu bagian krusial sehingga UU tersebut belum disahkan.
Implikasi Pertama, bagaimanapun perbankan harus diatur secara ketat karena liberalisasi terbukti berdampak negatif dan sifat-sifat bank yang rentan gejolak dan penyelewengan. Maka API harus segera dilaksanakan.

Kedua, segera bentuk lembaga OJK dan serahi tugas untuk mengawasi bank sehingga pengawasan akan lebih efektif. Ketiga, kriteria dampak sistemik bangkrutnya sebuah bank perlu diperjelas dalam UU JPSK sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.(10)

— Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip dan peneliti pada Pusat Studi Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assessment (RIA) Center Undip
( artikel dimuat di Suara Merdeka Selasa 1 Desember 2009)

Minggu, 25 Oktober 2009

APRESIASI RUPIAH: BERITA BAIK ATAU BURUK ?

Oleh: Nugroho SBM

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini terus mengalami penguatan atau apresiasi. Jika pada awal krisis keuangan global – yang dipicu oleh krisis keuangan global – sempat mencapai Rp 12.000 per dolar AS maka kini rupiah terus menguat mendekati Rp 9.000,-. Ketika artikel ini ditulis ( 12/10 2009) kurs rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 9. 421 per dolar AS. Ada yang meramalkan nilai tukar rupiah per dolar AS tersebut bahkan bisa mencapai Rp. 8.500,- per dolar AS.
Ada beberapa penyebab apresiasi rupiah terhadap dolar AS tersebut. Pertama, terus mengalirnya valuta asing ke Indonesia akibat sentimen positif tentang Indonesia. Ada minimal dua sentimen positif. Sentimen positif pertama adalah dinaikkannya peringkat kemampuan membayar kredit dan berinvestasi di Indonesia oleh Moody’s Investor’s Service dari Ba3 menjadi Ba2. Peringkat ini merupakan yang tertinggi setelah krisis tahun 1998. Moody’s melihat bahwa resiko memberikan kredit dan berinvestasi di Indonesia menurun karena beberapa hal antara lain: tetap poistifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika semua negara (kecuali juga RRC dan India) mengalami pertumbuhan ekonomi negatif sebagai dampak dari krisis keuangan global yang lalu. Sentimen positif kedua adalah direvisinya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 oleh Bank Dunia dari semula 3,5 persen menjadi 4,3 persen.
Kedua, sebab datang dari AS sendiri. Salah satunya adalah kebijakan defisit APBN yang dilakukan oleh Presiden Barrack Obama yang meneruskan kebijakan Presiden Bush. Yang menjadi persoalan adalah defisit tersebut ditutup dengan pencetakan uang baru yang menyebabkan tingkat inflasi di AS meningkat. Bertambahnya jumlah dolar AS - sementara banyak mata uang negara-negara lain jumlahnya konstan – telah menyebabkan penurunan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang termasuk rupiah.
Ketiga, sejak krisis finansial di AS tahun 2008 dan 2009 yang sampai sekarang belum pulih benar telah menyebabkan para pencari rente atau spekulan dalam valuta asing memindahkan investasinya dari dolar AS ke mata uang lain misalnya ke Euro. Akibatnya banyak dolar AS yang dijual ke pasaran sehingga nilai tukar dolar AS terhadap mata uang lain mengalami penurunan atau terdepresiasi atau nilai tukar mata uang lain terhadap dolar AS mengalami kenaikan atau terapresiasi.
Keempat, adanya tambahan pasokan Special Drawing Right (SDR) dari IMF sebesar SDR 1,74 atau setara dengan 2,7 milyar dolar AS. Sebagaimana diketahui Special Drawing Rights (SDR) adalah semacam surat berharga yang dikeluarkan oleh IMF untuk membantu negara-negara yang membutuhkan pasokan valuta asing karena berbagai sebab misal karena defisit neraca pembayaran internasionalnya SDR ini bisa diperlakukan sebagai cadangan valuta asing atau devisa. Akibat tambahan SDR dari IMF ini maka cadangan devisa Indonesia telah bertambah menjadi 62,3 milyar dolar AS. Pertambahan devisa bisa diartikan sebagai tambahan pasokan dolar AS. Jika rupiah yang beredar jumlahnya tetap maka jika dolar AS bertambah jumlahnya akan mengakibatkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah turun (terdepresiasi) atau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS naik atau terapresiasi.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kecenderungan apresiasi rupiah terhadap dolar AS ini kabar baik ataukah kabar buruk bagi perekonomian Indonesia? Jawaban singkatnya adalah ada kabar baiknya tetapi juga ada kabar buruknya.

Kabar Baiknya
Kabar baik dari terapresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ada beberapa. Pertama, beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri baik milik pemerintah maupun swasta (perusahaan) akan berkurang.
Kedua, menguatnya nilai tukara rupiah terhadap dolar AS juga akan membuat Indonesia lebih percaya diri untuk membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak tergantung pada komando AS dan lembaga-lembaga yang selama ini menjadi bonekanya. Kuatnya pengaruh nilai tukar terhadap keputusan-keputusan suatu negara untuk “melawan” dominasi AS tampak pada kasus perang As melawan Irak. Karena nilai tukar Euro terhadap dolar AS lebih kuat maka banyak negara-negara Eropa termasuk Inggeris yang menentang agresi AS ke Irak waktu itu. Padahal sebelumnya negara-negara Eropa selalu mendukung apapun kebijakan AS.
Ketiga, perusahaan-perusahaan yang selama ini memakai bahan baku dan mesin yang diimpor akan diuntungkan karena harga barang impor menjadi lebih murah jika terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dengan harga bahan baku yang lebih murah maka marjin keuntungannya akan lebih tinggi (jika ia tidak menurunkan harga) atau jika ia menurunkan harga maka ia akan bisa meningkatkan volume penjualannya sehingga pangsa pasarnya akan membesar. Membesarnya pangsa pasar akan memberikan berbagai keuntungan misalnya membentengi perusahaan baru yang akan masuk dan semakin luasnya pengenalan masyarakat akan produk yang dijual.
Keempat, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga akan memberikan semacam “surplus” dalam APBN 2009 karena asumsi nilai tukar yang lebih rendah dari yang sekarang terjadi. Sebagaimana diketahui asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2009 adalah Rp 10.600,- per dolar AS. Dengan realisasi nilai tukar yang lebih tinggi maka akan ada tambahan pemasukan dari pajak ekspor baiki migas maupun non-migas dan penerimaan bukan pajak berupa penerimaan ekspor migas maupun non-migas. Sementara itu, di sisi pengeluaran akan bisa dihemat subsidi BBM dan pembayaran cicilan serta bunga utang luar negeri.

Berita Buruknya
Namun, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mempunyai sis buruk atau membawa berita buruk. Pertama, bagi produsen atau pengusaha yang orientasi pasarnya adalah ekspor. Dengan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS maka harga produk Indonesia menjadi lebih mahal dipandang dari sisi mata uang asing (dolar AS). Maka hal tersebut akan mengurangi ekspor.
Kedua, seperti disebutkab di depan, apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan membuat harga barang-barang impor menjadi lebih murah. Hal tersebut akan menguntungkan bagi pengusaha yang bahan baku dan peralatan mesinnya diimpor. Akan tetapi impor Indonesia tidak hanya bahan baku dan mesin tetapi juga barang-barang jadi. Akibatnya juga harga barang-barang jadi (barang konsumsi) impor turun. Ini akan merupakan pukulan bagi produsen-produsen dalam negeri. Jika produsen dalam negeri mengalami kesulitan dan sampai mengalami penyusutan omset dan produksi maka dampak berikutnya adalah pengusaha akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya. Maka upaya penanggulangan kemiskinan akan menghadapi pukulan berat pula.

Lebih Mendasar
Selain menimbang baik dan buruknya BI dan pemerintah perlu membenahi masalah-masalah yang sifatnya lebih mendasar. Pertama, bukan apresiasi atau depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang penting tetapi berapa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang wajar dan nyaman (favourable) bagi semua pihak. Ada yang menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang wajar dan nyaman bagi semua pihak itu berkisar antara Rp 9.000 sampai Rp 9.500,-. Jika penguatan rupiah sampai di bawah Rp 9.000,- maka rupiah sudah dinilai terlalu tinggi (overvalued).
Kedua, fokus dan energi dari BI dan pemerintah hendaknya tidak dihabiskan pada menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar dan mencari nilai tukar Rp/dolar AS yang wajar tetapi juga bagaimana mendorong sektor riil yang langsung bersinggungan dengan masyarakat banyak. Beberapa pkerjaan rumah untuk membenahi sektor riil tersebut adalah pembenahan infrastruktur, penciptaan iklim usaha yang lebih sehat antara lain dengan pemberantasan suap dan korupsi, dan menciptakan regulasi yang nyaman bagi dunia usaha
Ketiga, masalah penanggulangan kemiskinan juga harus menjadi fokus utama dan ditangani secara mendasar. Selama ini kemiskinan hanya ditanggulangi secara ad hoc dengan BLT. Itupun dilakukan menjelang pemilu. Meskipun “politik uang” tersebut sangat manjur untuk memenangi pemilu dan tampaknya akan menjadi tren bagi partai penguasa maupun oposisi, tetapi itu bukanlah cara yang benar untuk memerangi kemiskinan. Dibutuhkan langkah lebih fundamental, misalnya dengan pendirian lembaga penjaminan kredit bagi UMKM.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Peneliti pada Pusat Studi Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assesment (RIA) Undip Semarang)

Jumat, 23 Oktober 2009

Pentingkah Jabatan Menteri Itu?

Oleh Nugroho SBM

Jawaban yang menjadi judul artikel ini sebagai berikut: Jabatan Menteri itu demikian penting dan strategis karena dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, ketika Presiden memilih menteri dan akan mengumumkan jajaran menteri dalam kabinetnya, maka perhatian seluruh pihak tampaknya ke sana semua. Pelaku pasar valuta asing dan pasar modal dengan cermat mengamati dan menunggu siapa yang akan duduk sebagai menteri khususnya pada bidang-bidang ekonomi.

Kedua, setelah kabinet diumumkan maka akan dicermati dan dikritisi pula oleh banyak pihak; apakah mereka yang duduk di posisi menteri untuk bidang tertenrtu sesuai dengan keahliannya atau tidak. Pelaku pasar akan bereaksi negatif, dalam bentuk biasanya merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Sebaliknya jika orang-orang yang duduk di kabinet dianggap tepat maka reaksi pasar akan positif: IHSG naik dan kurs rupiah terhadap dolar AS menguat.

Kedua fenomena tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi sekali ini saja ketika Presiden SBY memilih dan mengumumkan menteri-menterinya untuk duduk di kabinet yang dinamai ”Kabinet Indonesia Bersatu II” (KIB II), tetapi juga pada presiden sebelumnya kecuali pada era Presiden Soeharto. Pada era Presiden Soeharto, karena pemerintahannya yang demikian diktator dan represif, maka masyarakat dan banyak pihak tidak berani mempertanyakan menteri-menteri yang dipilih Pak Harto. Pemilihan menteri benar-benar menjadi hak prerogatif presiden. Di samping itu, pada era Soeharto justru banyak yang menyatakan bahwa menteri-menteri yang dipilih adalah orang profesional (sesuai dengan bidang keahliannya).
Kabinet Aneh Tetapi tampaknya Presiden SBY mengabaikan kekhwatiran dan berbagai pandangan banyak pihak yang sudah ”umum” menjelang pembentukan kabinet sehingga susunan kabinet yang diumumkannya terkesan aneh dan menyimpang dari selera pasar. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai hal.
Pertama, hanya 10 orang menteri lama dari yang ditunjuk kembali untuk menduduki jabatan menteri. Berarti kurang dari 50 persen dari pos menteri di KIB II sebanyak 34 pos menteri. Tetapi dari ke 10 orang tersebut hanya 4 menteri yaitu Sri Mulyani (Menkeu), Marie Elka Pangestu (Menteri Perdagangan), Djoko Kirmanto (Menteri PU), dan Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) yang duduk di kementrian yang sama dengan yang sebelumnya. Selebihnya meskipun duduk lagi sebagai menteri tetapi dengan jabatan atau bidang yang sama sekali baru. Hal ini tentu bertentangan dengan janji selama kampanye SBY dengan slogan ”Lanjutkan”. Maksudnya ingin melanjutkan program-program pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Dengan memasukkan lebih banyak orang baru dan mengganti jabatan dari orang lama maka keberlanjutan program itu menjadi dipertanyakan.

, banyak pos-pos menteri penting yang dijabat oleh orang yang sama sekali tidak ahli dalam bidangnya minimal menurut pandangan saya. Ketiga, tidak seperti janjinya sebelum mengumumkan menteri-menteri yang duduk di kabinet, kali ini pos-pos kementrian justru banyak diisi bukan oleh orang profesional tetapi oleh orang-orang dari usulan Partai Politik yang berkoalisi dengan Partai Demokrat-Partai SBY yang kebetulan juga pemenang pemilu legislatif. Hal ini di samping bertentangan dengan janji SBY, juga bertentangan dengan logika umum.

Mengapa Tidak Penting?

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa jabatan menteri tidak penting dilihat dari bekerjanya kementerian secara baik?

Pertama, kementrian berjalan bukan karena pimpinan dan arahan seorang menteri tetapi karena mesin birokrasi berupa Standard Operation Procedure (SOP) dan sekian banyak peraturan dan undang-undang. Dengan kondisi demikian maka siapa pun menterinya tidak akan banyak berpengaruh terhadap jalannya kementrian. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, seorang menteri baru membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun untuk menyesuaikan diri dan tahu SOP dan berbagai macam UU serta peraturan itu.

Kedua, pada praktiknya selama ini sekretaris jenderal (sekjen) dan direktur Jenderal (dirjen) adalah yang banyak berperan mengendalikan departemen dan kementerian. Hal ini dapat dimaklumi karena sekjen dan dirjen di departemen atau kementrianlah yang merupakan orang-orang yang merintis karier dari bawah. Karena merintis karier dari bawahlah maka mereka tahu persis hitam-putihanya suatu departemen atau kementrian. Bahkan pendapat umum yang menyatakan bahwa menteri bisa disetir atau dikendalikan oleh sekjen atau dirjen. Untuk memecat sekjen atau dirjen yang tak sesuai dengan pemikiran dan gerak langkah sang menteri pun akan mengalami kesulitan karena birokrasi seperti disebut di depan.
Supaya Menteri Berarti Maka kalau presiden-presiden periode berikutnya ingin membuat supaya jabatan menteri berarti artinya tak sekadar jabatan politis, minimal ada 2 (dua) langkah yang mesti ditempuh. Pertama, mengadakan debirokratisasi yaitu perombakan besar-besaran birokrasi berupa SOP, UU, dan peraturan yang ada di kementrian-kementrian atau departemen-departemen yang lebih ringkas dan fleksibel sehingga menteri bisa melakukan improvisasi serta pengendalian kementrian atau departemen secara lebih berkekuatan (powerful).

Kedua, menteri dipilih dari pejabat karier (bisa sekjen, dirjen, atau pejabat lainnya) di tiap-tiap kementerian atau departemen. Dengan demikian kehadirannya memang benar-benar diperlukan dan ada artinya. Tidak seperti sekarang, menteri hanyalah jabatan politis, yang tanpa kehadirannya pun kementerian atau departemen bisa berjalan, seperti yang telah diuraikan di atas. (80)

–– Nugroho SBM, staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Peneliti pada Pusat Kajian Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Asessment (RIA) Center Undip Semarang

(artikel dimuat di Suara Merdeka 23 Oktober 2009 di halaman "Wacana Nasional"

Kamis, 15 Oktober 2009

SYARAT KABINET YANG BAIK

Oleh Nugroho SBM

Sebentar lagi barangkali kabinet akan diumumkan. Seperti waktu-waktu yang lalu, kabinet kali ini pasti juga hasil dari "dagang sapi". Maksudnya adalah diisi oleh orang-orang dari parpol pendukung SBY-Boediono. Ini berbeda justru dulu jaman Orde Baru atau era Soeharto, dimana pos-pos menteri justru diisi oleh orang-orang profesional, sehingga dikenal dengan istilah kabinet ahli.

Syarat Kabinet Yang Baik
Mestinya kabinet yang baik memenuhi beberapa syarat. Pertama, diisi oleh orang-orang yang profesional atau ahli di bidangnya. Kedua, memperhatikan keseimbangan gender artinya wanita harus diberi kesempatan lebih banyak duduk di Kabinet. Salah satu pertimbangannya, dari beberapa penelitian, wanita sangat sedikit melakukan tindakan korupsi. Padahal korupsi merupakan penyakit terparah Indonesia. Ketiga, satu sama lain anggota Kabinet harus mampu dan mau bekerjasama. Keempat, lepas dari kepentingan partai politik darimana ia diusulkan dulu.
Baru kalau syarat-syarat ini dipenuhi, kabinet akan berjalan dengan baik

(Nugroho SBM, Sraf Pengajar FE Undip Semarang)

Minggu, 23 Agustus 2009

MENURUNKAN SUKU BUNGA KREDIT

Oleh: Nugroho SBM

Setelah resmi dilantik dan menjabat sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution berjanji akan memfokuskan diri untuk menurunkan suku bunga kredit (Suara Merdeka, 28 Juli 2009). Sebagaimana diketahui, sampai saat ini suku bunga kredit di Indonesia masih berkisar antara 13 sampai 15 persen. Padahal BI Rate sudah dipangkas hingga sekarang mencapai 7,25 persen. Tingginya suku bunga kredit tersebut dituding sebagai salah satu sebab mengapa sampai saat ini sektor riil belum bergerak secara signifikan.
Oleh karena itu janji Darmin Nasution tersebut memang sangat ditunggu oleh dunia usaha atau sektor riil.. Tetapi bagaimana caranya? Untuk tahu cara menurunkan suku bunga kredit tentu harus diketahui terlebih dahulu beberapa sebab mengapa suku bunga kredit di Indonesia tinggi.
Ada beberapa sebab mengapa suku bunga kredit di Indonesia relatif tinggi. Pertama, perbankan sampai saat ini masih menawarkan suku bunga deposito yang relatif cukup tinggi yaitu 6 sampai 7 persen. Tingginya suku bunga deposito ini mencerminkan sebenarnya kelangkaan dana atau likuiditas yang dialami oleh perbankan. Langkanya likuiditas ini banyak yang menyatakan sebagai akibat “mudiknya” dolar AS ke negaranya untuk kebijakan stimulus dan penjaminan di lembaga-lembaga keuangan AS akibat krisis keuangan di sana. Maka kalau bunga deposito masih tinggi, wajar jika suku bunga kredit juga tinggi.
Kedua, pihak perbankan masih mempersepsikan bahwa menyalurkan kredit kepada dunia usaha sampai saat ini masih menghadapi resiko yang tinggi. Akibatnya perbankan menambahkan resiko kredit ini atau yang disebut premi resiko (Risk Premium) ke dalam suku bunga kredit. Akibatnya suku bunga kredit tinggi.
Ketiga, perbankan masih tetap menginginkan keuntungan atau laba yang tinggi dengan berbagai alasan.


Ketidakserasian Moneter dan Fiskal
Keempat, perbankan sekarang lebih senang menyalurkan dana yang diperoleh dari para deposan ke Surat Utang Negara (SUN). Sebagaimana diketahui suku bunga SUN saat ini masih cukup tinggi yaitu 10 sampai 15 persen. Sehingga bisa dikatakan bahwa SUN sekarang merupakan alternatif bank untuk menempatkan dananya setelah SBI bunganya terus diturunkan. Hal ini sekaligus mencerminkan ketidakserasian antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal. Di satu sisi kebijakan moneter ingin melonggarkan likuiditas dan mendorong penurunan suku bunga kredit dengan menurunkan BI rate yang akan diikuti dengan penurunan bunga SBI, tetapi di sisi lain kebijakan fiskal malah bergerak ke arah sebaliknya yaitu dengan menerbitkan SUN dengan bunga tinggi.
Kelima, belum efisennya perbankan di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan masih tingginya biaya overhead perbankan seperti biaya untuk ATM, gedung, dan biaya lain-lain. Biaya overhead yang tinggi tersebut akan ditambahkan pada suku bunga kredit sehingga suku bunga kredit tinggi.

Kebijakan
Setelah diketahui berbagai sebab mengapa suku bunga kredit di Indonesia masih tetap tinggi sampai saat ini maka bisa dikemukakan beberapa Kebijakan agar suku bunga kredit turun. Kebijakan tersebut harus diambil baik oleh pihak perbankan sendiri, BI, maupun pemerintah. Bagi pihak perbankan: pertama, untuk menghilangkan persepsi bahwa resiko menyalurkan kredit masih tinggi maka perbankan mestinya tidak menggeneralisasikan bahwa semua debitur pasti buruk atau nantinya tidak akan mengembalikan kreditnya. Bank harus memilah dengan teliti mana debitur yang baik dan mana yang tidak baik. Dalam hal demikian, bank bisa belajar dari lembaga-lembaga keuangan mikro dimana mereka tahu betul karakter nasabahnya sehingga kredit macet di lembaga-lembaga tersebut kecil.
Kebijakan kedua yang harus diambil oleh pihak perbankan adalah menghilangkan inefisiensi dengan memangkas biaya overhead yang tidak perlu. Biaya overhead yang tidak perlu tersebut misalnya untuk pembangunan gedung yang megah. Pembangunan gedung yang megah tersebut mungkin sebagai bagian untuk membangun image agar bank tampak bonafide. Tetapi kalau kita bandingkan dengan di luar negeri maka bank-bank di sana sangatlah sederhana dan tidak megah.
Bagi pemerintah, kebijakan yang harus diambil: pertama, membatasi suku bunga atas dana dari BUMN, BUMD, maupun Pemkab/Pemkot yang ditempatkan di SUN. Penempatan dana-dana tersebut di SUN dengan bunga biasa akan mendorong suku bunga SUN sebagai benchmark bagi penentuan bunga pada umumnya. Maklum dana-dana tersebut jumlahnya tidaklah kecil.
Kebijakan kedua yang harus diambil pemerintah adalah bekerjasama dengan BI, menyelenggarakan semacam forum bisnis antara bank dan calon debitur. Bank bisa menyediakan informasi tentang bisnis apa yang prospektif dimana pihak bank sanggup untuk nantinya membiayai. Dengan forum ini resiko kredit bisa ditekan.
Kebijakan ketiga yang harus diambil pemerintah adalah menjaga stabiitas ekonomi makro. Jika stabilitas ekonomi makro terjaga maka resiko usaha akibat ketidakstabilan ekonomi makro bisa ditekan dan dengan demikian resiko kredit turun, yang pada akhirnya bunga kredit akan turun.
Kebijakan keempat yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah meninjau kembali tingginya suku bunga SUN. Suku bunga SUN mestinya tidak perlu setinggi sekarang karena akan menahan penurunan suku bunga kredit. Di samping itu, seperti telah dikemukakan di depan, hal ini akan bertentangan dengan arah kebijakan moneter yang terus menurunkan BI rate. Dengan suku bunga yang rendah, SUN masih tetap akan menarik karena tidak mungkin negara mengalami kebangkrutan (default).
Bagi Bank Indonesia (BI), ada beberapa kebijakan yang bisa diambil: pertama, BI sudah saatnya berani menentukan selisih maksimum antara bunga deposito dan bunga kredit. Ini untuk mencegah bank-bank menarik laba atau keuntungan yang besar. Kedua, BI perlu memanggil bank-bank besar yang selama ini sebagai pemimpin pasar (market leader) untuk segera menurunkan suku bunga pinjamannya dan tidak menahan situasi sekarang untuk kepentingan mencari keuntungan sebesar-besarnya.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Selasa, 04 Agustus 2009

Pariwisata Setelah Ledakan Bom

KEGIATAN atau sektor yang sangat terpukul dan terpenganuh dengan ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton adalah pariwisata. Dengan ledakan bom tersebut maka Indonesia akan dipersepsikan sebagai negara yang tidak aman untuk dikunjungi untuk berbagai tujuan termasuk di dalamnya untuk berwisata.

Hal tersebut didasarkan pada pengalaman ledakan-ledakan bom yang terdahulu. Setelah terjadi ledakan bom anyak negara mengeluarkan travel warning, yaitu peringatan untuk tidak mengunjungi Indonesia karena faktor keamanan.

Wisatawan domestik pun akan membatasi atau mengurangi perjalanan wisatanya ke tempat tujuan wisata yang dirasakan kurang aman. Jika dilihat polanya maka ledakan bom yang dilakukan oleh para teroris berada di lokasi yang banyak dikunjungi orang asing dengan tujuan menarik perhatian dunia internasional.

Selama ini ledakan bom terjadi di dua lokasi, yaitu Jakarta dan Bali. Maka wisatawan domestik pasti akan mengurangi berwisata ke kedua lokasi tersebut bahkan lokasi lain yang banyak dikunjungi oleh wisatawan manca negara.
Padahal akhir-akhir ini kegiatan dan sektor pariwisata sedang bergairah dilihat dan dua indikator. Pertama, secara nasional dicanangkan 2008 sebagai Tahun Kunjungan Wisata (Visit Indonesia Year 2008) yang kemudian diperpanjang hingga 2009 ini. Hal tersebut kemudian diikuti oleh berbagai daerah dengan berlomba-lomba mencanangkan tahun kunjungan wisata daerah dengan berbagai promosi yang menarik.

Kedua, dilihat dari kunjungan wisatawan baik domestik maupun asing atau mancanegara yang terus meningkat. Untuk kunjungan wisatawan domestik 2007 sebanyak 212 juta orang, 2008 sebanyak 215 juta orang, dan 2009 diperkirakan 218,8 juta orang. Adapun jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia: 2007 sebanyak 8 juta orang, 2008 sebanyak 9 juta orang, dan 2009 sebanyak 10 juta orang. Dengan terjadi ledakan bom maka padamlah gairah sektor pariwisata di Indonesia.
Peran Penting Hal tersebut tentu sangat merugikan bagi perekonomian Indonesia karena peran penting pariwisata dalam perekonomian Indonesia. Pertama, karena sumbangan pariwisata terhadap perolehan devisa. Pada 2007 devisa yang dihasilkan kegiatan pariwisata sebesar 8 miliar dolar AS, 2008 sebesar 9 miliar dolar AS, dan 2009 diperkirakan 10 miliar dolar AS. Devisa ini sangat diperlukan untuk berbagai kepentingan, antara lain: menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, untuk membiayai impor, untuk melunasi cicilan dan bunga utang luar negeri, dan kebutuhan lain yang penting.

Kedua, kegiatan atau sektor pariwisata mempunyai efek pengganda (multiplier effects) yang besar karena terkait dengan berbagai sektor dan kegiatan ekonomi lain. Kegiatan yang terkait dengan pariwisata antara lain adalah: perhotelan dan restoran, sektor transportasi (baik darat, laut, maupun udara), dan yang tak kalah penting adalah kegiatan-kegiatan produktif yang dilakukan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Selama ini UMKM banyak diuntungkan dengan kunjungan wisatawan, baik domestik maupun manca negara, yang berbelanja berbagai produk kerajinan. Ketika kunjungan klub sepakbola Manchester United dibatalkan, kita bisa melihat, membaca, dan mendengar dari media massa betapa banyak UMKM yang mengeluh rugi sampai jutaan rupiah karena pernak-pernik kerajinan tangan yang terkait dengan Manchester United tidak jadi laku dijual.

Ini membuktikan bahwa kunjungan wisatawan sangat mempengaruhi kehidupan UMKM di Indonesia. Peran penting ketiga pariwisata adalah ikut memberikan kesan baik (brand image) bagi Indonesia. Brand image ini sangat dibutuhkan agar kegiatan lain bisa berjalan dengan baik, misalnya kegiatan penanaman modal asing. Kesan balk terhadap Indonesia yang diperoleh dari wisatawan mancanegara ini —misalnya bahwa Indonesia adalah negara yang aman, potensi sumberdaya alamnya melimpah, dan jumlah penduduk yang banyak sebagai pasar potensial— akan secara langsung maupun tidak langsung akan menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Dengan kemeningkatan investasi asing di Indonesia maka hal ini akan membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan —dua problem berat perekonomian Indonesia saat ini.
Menggeliat Lalu bagaiamana agar geliat atau kegairahan kegiatan atau sektor pariwisata ini bisa dihidupkan kembali bahkan ditingkatkan setelah ledakan bom? Pertama, langkah tanggap darurat dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) guna melakukan pemulihan pasca ledakan bom —yang baru-baru ini diumumkan- perlu dipuji dan ditindaklanjuti dengan merealisasikan berbagai langkah tersebut. Berbagai langkah tersebut antara lain: mengadakan kunjungan jurnalis asing (mancanegara) ke Indonesia, mengundang pihak-pihak di mancanegara yang terkait dengan pariwisata yang merupakan pasar utama pariwisata Indonesia, mengefektifkan perwakilan pariwisata yang sudah ada di 9 negara, meningkatkan intensitas promosi lewat Man di berbagai media massa, mendukung kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) berskala internasional, dm tetap menyelenggarakan berbagai kegiatan festival kebudayaan serta olah raga yang sudah terjadwal.

Mengefektifkan pelaksanaan Undang-undang Nomer 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang disahkan oleh Presiden SBY pada 16 Januari 2009 lalu. Menurut amanat UU tersebut ada delapan hal yang direfonnasi dalam bidang kepariwisataan antara lain: sistem perencanaan kepariwisataan, kemudahan untuk perijinan (istilahnya diganti bukan perijinan melainkan pendaftaran), adanya desentralisasi dalam m-usan pariwisata, sistem koordinasi, standarisasi, sertifikasi, serta keterlibatan pemangku kepentingan (stake holder) dengan dibettilcnya dua badan yaitu Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) dan Gabungan lndustri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Yang menarik adalah pelibatan pemangku kepentingan atau stake holder dengan pembentukan dua badan BPPI dan GIPI tersebut. BPPI akan berada di tingkat pusat, provinsi, dan Kabupaten/Kota. Anggotanya 9 orang terdiri dari 4 orang wakil asosiasi kepariwisataan, 2 orang wakil asosiasi profesi, 1 orang wakil asosiasi penerbangan, dan 2 orang wakil akademisi). Adapun GIPI akan terdiri dari pengusaha pariwisata, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, , dan asosiasi lain yang terkait dengan pariwisata. Pelibatan stake holder dengan pembentukan BPPI dan GIPI tersebut diharapkan akan menciptakan sinergi sehingga dampak ledakan bom terhadap kegiatan atau sektor pariwisata segera bisa dikurangi bahkan dihapuskan.

Ketiga, diperlukan dukungan-dukungan lain dari pemerintah dan masyarakat terhadap percepatan pembangunan kepariwisataan. Dukungan dari pemerintah di samping yang sudah diumumkan oleh Depbudpar juga Iangkah lain misalnya dukungan dana yang lebih besar dari APBN maupun APBD (propinsi dan Kabupaten/Kota) untuk sektor pariwisata. Langkah lain misalnya merevisi rencana strategis (Renstra) kepariwisataan menjadi Renstra yang tanggap terhadap berbagai masalah potensial yang bisa saja dihadapi oleh kegiatan kepariwisataan. Selama ini Renstra yang disusun oleh Depbudpar selalu mengasumsikan kondisi normal, padahal kegiatan kepariwisataan hampir selalu menghadapi situasi darurat.

Partisipasi masyarakat dalam bidang kepariwisataan dapat dilakukan dengan budaya hidup bersih, ramah dan sopan santun, serta ikut menjaga keamanan. Patut direalisasikan langkah pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam mencegah aksi terorisme, misalnya dengan pelatihan masyarakat tentang kewaspadaan terhadap aksi terorisme (35).

—Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip Semarang
(dimuat di Wacana Nasional Harian Suara Merdeka 29 Juli 2009)
Tersedia di http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/29/74442/Pariwisata.setelah.Ledakan.Bom

Rabu, 08 Juli 2009

PENSTABILAN NILAI TUKAR RUPIAH

PADA tiga bulan terakhir ini (April sampai Juni 2009), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cukup stabil dan relatif tinggi yaitu berkisar Rp 10.000 per dolar AS. Padahal pada Maret 2009 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh Rp 12.000 per dolar AS dan fluktuatif. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah berani mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam RAPBN pada kisaran Rp 9.500 sampai Rp 10.500 per dolar AS.

Mengapa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS relatif stabil pada tingkat yang tinggi? Ada dua faktor yang bisa kita lihat. Pertama, ada di pasar uang dan modal yang disebut faktor teknikal. Faktor teknikal adalah penyebab-penyebab nonekonomi dan bersifat jangka pendek. Faktor teknikal yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil pada tingkat yang tinggi adalah politik, yaitu berlangsungnya pemilu legislatif secara aman.

Memang ada gejolak misalnya masalah kecurangan dalam pelaksanaan dan kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Tetapi semua pihak yang berselisih tersebut tampaknya sekarang lebih dewasa dengan menyelesaikan semua permasalahan tersebut secara hukum di Mahkamah Konstitusi. Ini menimbulkan rasa aman bagi orang-orang khususnya orang asing yang menyimpan dolar AS di Indonesia sehingga mereka tidak menariknya ke luar negeri.

Penyebab kedua adalah faktor fundamental. Faktor fundamental adalah penyebab-penyebab ekonomi dan bersifat jangka panjang. Faktor fundamental yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil pada nilai yang tinggi adalah: pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif di tengah krisis ekonomi global yang dipicu oleh krisis keuangan di AS. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2009 sebesar 4,4 persen.

Ini sangat mengesankan karena merupakan negara ketiga di Asia yang pertumbuhannya positif. Negara Asia lain yang pertumbuhan ekonominya masih positif adalah China (6,1 persen), dan India (5,8 persen). Sementara negara-negara lain justru tumbuh minus, yaitu: Singapura (minus 10,1 persen), Thailand (minus 7,1 persen), Malaysia (minus 6,1 persen), Hongkong (minus 7,8 persen), Taiwan (minus 10,2 persen), Korea Selatan (minus 4,3 persen), dan Jepang (minus 9,7 persen).

AS sendiri yang merupakan episentrum atau pusat penyebab krisis keuangan sebenarnya hanya mengalami pertumbuhan ekonomi minus 2,5 persen. Tetapi AS mengalami tingkat pengangguran yang cukup parah, yaitu 9 persen. Padahal pengangguran pada masa yang normal di AS hanya sekitar 4 persen.
Optimisme Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif ini telah menumbuhkan sikap optimisme di kalangan orang berduit untuk tetap menahan dolarnya di Indonesia. Maka tak mengherankan bila cadangan devisa Indonesia pada saat ini sekitar 58 miliar dolar AS yang cukup untuk kebutuhan lima sampai enam bulan impor. Jumlah yang cukup aman mengingat batas aman jumlah cadangan devisa berdasar konvensi internasional adalah ekuivalen dengan kebutuhan untuk tiga bulan impor.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif di tengah krisis keuangan global sekarang ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sebuah keberuntungan bahwa perekonomian Indonesia belum terseret terlalu jauh ke dalam kegiatan spekulasi di sektor keuangan baik itu di pasar valuta asing maupun pasar modal. Dengan demikian ketika sektor keuangan dunia mengalami krisis yang awalnya dipicu oleh krisis obligasi perumahan di AS (atau dikenal dengan Subprime Mortgage Crisis), Indonesia hanya sedikit terimbas oleh krisis tersebut.

Kedua, kegiatan ekspor Indonesia hanya menyumbang sekitar 30 persen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan Singapura yang nilai ekspornya 234 persen terhadap PDB, Hongkong 212 persen terhadap PDB, Malaysia 103 persen terhadap PDB, dan Thailand 77 persen terhadap PDB. Kecilnya porsi kegiatan ekspor terhadap PDB membuat gejolak internasional tak banyak berpengaruh terhadap Indonesia.

Sementara itu, sebagian besar pembentukan PDB Indonesia berasal dari kegiatan konsumsi masyarakat. Kegiatan konsumsi masyarakat menyumbang 62 persen dalam pembentukan PDB Indonesia. Kegiatan konsumsi selama ini dipandang sebelah mata oleh para ahli ekonomi karena dampak yang ditimbulkannya terbatas dibanding kegiatan investasi. Atau dalam bahasa ilmu ekonomi dikatakan dampak multiplier konsumsi lebih kecil dari investasi.

Tetapi ternyata ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap konsumsi dalam negeri justru menguntungkan karena menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi jilid kedua. Bagaimanapun pasar dalam negeri masih tetap merupakan hal yang tak dapat disepelekan. Indonesia mempunyai penduduk berjumlah 230 juta orang dengan pendapatan per kapita sekitar 2.200 dolar AS.
Bisakah?

Pertanyaan berikutnya adalah bisakah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tetap stabil —syukur kalau bisa pada level yang tinggi? Tampaknya hal ini masih tanda tanya besar mengingat ada beberapa faktor yang bisa membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak stabil.

Pertama, bila dilihat dari komposisi arus devisa masuk yang tercermin dalam neraca modal di neraca pembayaran internasional Indonesia maka sebagian besar berasal dari investasi portofolio. Adapun yang berasal dari penanaman modal asing (PMA) lebih kecil proporsinya. Investasi portofolio adalah kegiatan menanamkan valuta asing dalam aset-aset keuangan jangka pendek misalnya deposito 1 bulan atau tabungan.

Besarnya valuta asing atau cadangan devisa yang berasal dari kegiatan investasi portofolio ini sifatnya sangat rentan terhadap gejolak atau isu-isu. Bila ada gejolak atau isu-isu negatif yang menggoyahkan kepercayaan pemegang dolar AS maka dalam sekejap dolar AS itu akan dilarikan ke luar negeri. Maka sebenarnya jumlah cadangan devisa yang secara kuantitatif besar —seperti telah disebut di depan— menjadi tidak berarti karena kualitasnya jelek dalam arti mudah dilarikan ke luar negeri.

Kedua, masih berlakunya rezim devisa bebas. Yang dimaksud rezim devisa bebas adalah aturan yang memperbolehkan seseorang membawa ke luar dan masuk valuta asing ke luar dan masuk Indonesia dalam jumlah berapa pun.
Hal ini berbeda dari ketentuan di negara-negara lain, di AS juga, yang membatasi valuta asing yang khususnya boleh ke luar dari suatu negara. Bila rezim devisa bebas ini tetap dipertahankan maka orang akan dengan mudah melarikan dolar ke luar negeri dan hal tersebut akan membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak stabil.

Ketiga, permintaan dolar AS yang tetap tinggi khususnya untuk membayar utang luar negeri. Sebagaimana diketahui utang luar negeri Indonesia saat ini berjumlah sekitar 170 triliun rupiah. 500 triliun rupiah di antaranya terjadi pada masa 5 tahun pemerintah yang sekarang ini berkuasa (2004-2009).

Lalu bagaimana supaya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil? Antara lain menjaga hal-hal yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil yaitu
stabilitas politik dan kinerja pertumbuhan ekonomi yang tetap bagus.

Jadi sebenarnya sangat menipu kalau dikatakan bahwa rasio utang luar negeri terhadap PDB sekarang ini turun menjadi 30 persen dan merupakan prestasi pemerintah. Yang penting sebenarnya bukan rasio tetapi nilai absolutnya yang kenyataannya memang bertambah Rp 500 triliun selama periode 2004-2009. Besarnya utang LN dengan konsekuensi pembayaran yang juga besar sewaktu-waktu akan menjadi bom waktu sebab bila utang tersebut jatuh tempo secara bersamaan maka kebutuhan akan dolar AS meningkat tajam dan akhirnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terdepresiasi secara tajam. Pengalaman krisis tahun 1997 membuktikan fenomena ini.
Rezim Devisa Bebas Lalu bagaimana supaya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil? Pertama, menjaga hal-hal yang membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stabil yaitu stabilitas politik dan kinerja pertumbuhan ekonomi yang tetap bagus.

Kedua, bagaimana menarik devisa atau dolar AS bukan dari investasi portofolio melainkan dari investasi asing langsung atau PMA. Oleh karena itu beberapa kendala yang dihadapi investor asing seperti ekonomi biaya tinggi, peraturan ketenagakerjaan yang tidak kondusif, peraturan investasi yang tidak konsisten antardaerah, dan lain-lain harus segera diatasi.

Ketiga, rezim devisa bebas yang memberi kebebasan orang membawa ke luar masuk dolar —khususnya yang ke luar Indonesia— supaya dicabut dan diganti peraturan yang membatasi jumlah dolar AS yang boleh dibawa ke luar.

Keempat, mulai menjadwal dan membatasi utang luar negeri. Maksudnya dibuat jadwal dimana porsi utang luar negri dalam pembiayaan pembangunan makin kecil. Dengan demikian permintaan terhadap dolar AS akan makin bisa dikendalikan. (35)

—Nugroho SBM, staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip Semarang
(tersedia di http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/03/70832/10/Penstabilan.Nilai.Tukar.Rupiah.)

Rabu, 10 Juni 2009

Komentar di Media Massa: Selisih Bunga Tabungan dengan Kredit Terlalu Lebar

Semarang, 8/1 (ANTARA) - Selisih suku bunga tabungan/deposito dengan pinjaman saat ini terlalu lebar, padahal Bank Indonesia melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) cenderung menurunkan SBI.

Pemantauan di sejumlah bank di Semarang, Kamis, menyebutkan, suku bunga tabungan dan deposito rata-rata di bawah enam persen per tahun, sedangkan suku bunga kredit mencapai 16-18 persen/tahun.

Tingginya bunga kredit menunjukkan perbankan belum mampu meningkatkan efisiensinya sehingga meskipun memperoleh dana murah dari tabungan nasabah, perbankan tetap mematok bunga pinjaman sangat tinggi, padahal BI pekan ini menurunkan SBI (BI rate) menjadi 8,75 persen.

Ekonom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Nugroho SBM mengatakan, selain disebabkan perbankan masih terjerat inefiseinsi biaya, faktor risiko kredit macet menjadi alasan penting mengapa perbankan masih tetap memungut bunga pinjaman tinggi.
"Karena risiko usaha saat ini dinilai meningkat, premi asuransi untuk melindungi dari risiko kredit macet juga naik. Biaya premi tentu masuk ke dalam beban biaya bunga yang harus ditanggung debitur," katanya.

Menurut dia, dalam situasi perekonomian yang sehat dan berkembang, selisih bunga tabungan dengan pinjaman lebih dari 10 persen memang tidak realistis. Idealnya, selisih bunga tabungan dengan kredit tidak lebih dari 5-6 persen.

Selain itu, rendahnya suku bunga perbankan juga menyurutkan animo masyarakat untuk menempatkan dananya di perbankan, apalagi imbalan bunga jauh di bawah inflasi tahunan.

Tingginya suku bunga pinjaman juga menyulitkan dunia usaha yang menjadi pangsa pasar utama kredit perbankan.

"Akan tetapi kita tidak bisa memaksa perbankan untuk segera menurunkan bunga kredit karena faktor risiko juga menjadi perhitungan mereka," katanya.

Menurut dia, BI memang telah memangkas SBI dengan tujuan mendorong kalangan perbankan juga menurunkan bunga pinjaman. Namun, pelaku usaha juga harus membuktikan bahwa bisnis mereka memang layak dikucuri pinjaman perbankan dan mampu mengembalikan utang tersebut.

Ia menegaskan, kalau bisnis berjalan lancar dan pengembalian utang juga lancar, dengan sendirinya perbankan akan menurunkan bunga pinjaman karena biaya untuk menutup premi kredit macet menurun.

"Jadi, pelaku usaha memiliki andil besar dalam upaya menurunkan suku bunga pinjaman," kata Nugroho. ***2***

Selasa, 09 Juni 2009

DEBAT PERTUMBUHAN EKONOMI

Oleh Nugroho SBM
SALAH satu materi debat antar calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah masalah pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata pada masa pemerintahan lima tahun mendatang (2010-2015). Pasangan SBY-Boediono menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen. Pasangan JK-Wiranto menargetkan delapan persen.

Dan yang paling optimistis adalah pasangan Mega-Prabowo yang yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia lima tahun ke depan bisa rata-rata 10 persen atau lebih. Yang menarik adalah ketiga pasangan presiden dan wakil presiden tersebut menargetkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding periode 2004-2009 yang diperkirakan hanya empat sampai lima persen.

Namun masalah yang lebih menarik untuk diperdebatkan adalah bagaimana mencapai angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Untuk menjawab masalah tersebut hat yang paling mendasar yang harus dijawab adalah sistem atau manajemen pengelolaan ekonomi macam apakah yang akan dianut.

Karena itu perdebatan isu tentang sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dipraktikkan dengan sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat tetap perlu dan produktif. Sebab jika pertanyaan mendasar tersebut tidak dijawab sebelumnya maka pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih praktis tidak ada gunanya.

Sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dipraktikkan, seperti telah banyak diulas, mempunyai ciri antara lain: pertama, kebijakan fiskal yang konservatif --dengan menekan defisit anggaran sekecil mungkin. Kedua, privatisasi Badan-Badan Usaha Milik Negara terutama kepada swasta asing.

Dan ketiga, liberalisasi ekonomi yang artinya peran negara makin dikurangi dan peran pasar sebagai pengatur ekonomi makin menonjol. Sistem neoliberal seperti itu ternyata tidak menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak terutama yang miskin di satu pihak dan justru memperkaya mereka yang sudah kaya.

Sebaliknya, sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejateraan masyarakat - yang dikenal sebagai konsep negara kesejahteraan (welfare state) - menghendaki peran pemerintah yang lebih aktif. Dengan demikian berbagai subsidi untuk barang-barang yang strategis bagi masyarakat banyak -seperti pupuk bagi petani - tetap diperlukan. Konsekuensinya mungkin defisit anggaran (APBN) bisa membesar.

Kesejahteraan

Jika setuju bahwa sistem ekonomi yang berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat yang dipilih maka kemudian hal tersebut harus diikuti dengan proses pembentukan berbagai undang-undang yang memberikan kerangka pada sistem ekonomi tersebut.

Pertama, Undang-undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 yang telah diamandemen berkali-kali sehingga menampakkan wajah neoliberal harus dikembalikan pada semangat awalnya. Kedua, pemertahanan UU yang sudah mengarah pada pencapaian kesejahteraan rakyat banyak. Ketiga, penambahan UU baru yang bisa memperkuat sistem ekonomi untuk kemakmuran rakyatk.

Setelah menjawab sistem atau manajemen pengelolaan ekonomi seperti apa yang dikehendaki, pertanyaan selanjutnya yang lebih teknis adalah dari mana pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh para calon presiden-wakil presiden tersebut dibiayai.

Pembiayaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut berasal dari investasi baik yang berasal dari dalam negeri yang meliputi belanja modal di APBN, kredit perbankan, dan pasar modal; maupun yang berasal dari luar negeri, yaitu dari utang luar negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA).

Sebagai gambaran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen --dengan asumsi ICOR (Incremental Capital Output Ratio atau rasio tambahan modal dengan tambahan output) sebesar empat-- dibutuhkan investasi sebesar 28 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).

Kalau pertumbuhan ekonomi dinaikkan lagi jadi 8 persen maka kebutuhan investasi menjadi 32 persen dari PDB. Dan jika pertumbuhan ekonomi dinaikkan lagi jadi 10 persen maka kebutuhan investasinya menjadi 40 persen dari PDB. Sebagai perbandingan pada tahun 2008 rasio investasi terhadap PDB adalah 27,7 persen dari PDB atau senilai Rp 1.500 trilyun.

Kembali pada sumber-sumber pembiayaan investasi. Sumber dari belanja modal di APBN tampaknya tak bisa diharapkan banyak. Pada 2009, APBN hanya mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 72 trilyun atau 1,3 persen dari PDB.

Diperkirakan pada periode 2010-2014 alokasi untuk belanja modal ini tak banyak mengalami peningkatan. Jika ingin dipacu lewat defisit anggaran yang lebih besar juga tidak bisa karena UU menentukan defisit anggaran (APBN) maksimal adalah 3 persen dari PDB. Maka seperti telah dikemukakan di bagian awal tulisan ini, tampaknya kebijakan fiskal konservatif dengan membatasi defisit anggaran perlu ditinggalkan dengan mengamandemen UU yang membatasi defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB.

Sumber Lain

Sumber lain dari pembiayaan investasi adalah kredit perbankan. Selama lima tahun terakhir kredit perbankan tumbuh dengan pesat. Tahun 2008 kredit perbankan telah mencapai Rp 1.300 trilyun.

Tetapi kredit-kredit yang diberikan selama ini adalah kredit janka pendek baik untuk modal kerja maupun konsumsi. Hal tersebut bisa dimaklumi karena sumber dana untuk kredit perbankan tersebut sebagian besar (85 persen) berasal dari dana jangka pendek yaitu tabungan dan deposito 1 dan 3 bulan. Padahal pertumbuhan ekonomi butuh kredit-kredit jangka panjang untuk pembiayaan investasi jangka panjang seperti untuk pembangunan infrastruktur.

Bagaimana dengan utang luar negeri? Banyak yang menyatakan bahwa kesempatan kita untuk memperoleh utang luar negeri yang murah (soft loans) makin sempit. Kita dianggap negara yang sudah mampu untuk berutang komersial dengan jangka waktu pendek dan bunga tinggi.

Jika utang luar negeri komersial yang diambil maka hal tersebut pada awalnya memang akan menambah kemampuan untuk pembiayaan investasi tetapi pada giliran membayarnya maka justru membatasi kemampuan APBN untuk membiayai investasi.

Kemungkinan lain adalah dengan menarik Penanaman Modal Asing (PMA). Selama ini rasio nilai PMA terhadap PDB di Indonesia hanya sekitar 5 persen.

Bandingkan dengan negara lain misal China (11 persen), Venezuela (25 persen), Bolivia (45 persen), dan Vietnam (35 persen). Selama ini yang banyak dikeluhkan investor asing jika ingin berinvestasi di Indonesia adalah buruknya infrastruktur dan adanya ekonomi biaya tinggi akibat masih panjangnya birokrasi perijinan diu sebagian besar daerah di Indonesia dan masih merebaknya pungutan liar.

Jika infrastruktur dan ekonomi biaya tinggi bisa dibenahi maka PMA akan masuk. Mungkin akan timbul pertanyaan apakah ditarik masuknya investasi asing ini bukan ciri lain dari ekonomi Neo-Liberal? Jawabannya tidak. Ekonomi Neo-Liberal menjual kekayaan alam serta BUMN secara murah kepada asing.

Tetapi dalam ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat justru Indonesialah yang harus mengendalikan investasi asing tersebut. Misalnya lewat kontrak yang menguntungkan Indonesia. Tidak seperti sekarang dimana kontrak-kontrak eksplorasi minyak dengan pihak asing ternyata lebih menguntungkan pihak asing.

Terakhir ada satu sumber pembiayaan investasi yang belum banyak digali yaitu pajak. Sayangnya tidak ada kandidat presiden dan wakil presiden yang secara khusus menyinggung soal bagaimana meningkatkan penerimaan dari pajak. Selama ini penerimaan pajak belum optimal. Masih banyak penggelapan pajak yang terjadi. (35)

–– Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip Semarang
(tulisan dimuat di rubrik Wacana Suara Merdeka 10 Juni 2009)

Komentar di Media Massa: Pemerintah Gagal Turunkan Suku Bunga Kredit

Semarang, (Analisa)
Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM menilai, Suku Bank Indonesia (SBI) atau BI Rate yang selama ini menjadi acuan bunga bank telah gagal menjadi instrumen yang bisa menekan perbankan untuk menurunkan bunga kredit.
"Bank Indonesia dalam beberapa bulan terakhir ini sudah menurunkan BI 'Rate' dua kali dan sekarang ini berada di level tujuh persen, namun perbankan tidak merespon penurunan SBI ini," katanya ketika dihubungi di Semarang, Sabtu.
Kebijakan BI secara bertahap menurunkan SBI, menurut dia, antara lain untuk mendorong perbankan menyesuaikan bunga pinjaman, agar sektor riil bisa bergerak lebih cepat.
Menurut dia, dalam kondisi makroekonomi relatif baik seperti sekarang ini dunia usaha membutuhkan suntikan modal yang cukup dengan tingkat suku bunga kompetitif.
Akan tetapi, katanya, suku bunga kredit yang dipatok perbankan masih tinggi, berkisar 12-15 persen/tahun sehingga banyak pelaku usaha yang mengurungkan niat menambah modal untuk ekspansi usaha.
Kalangan perbankan sendiri, katanya, juga tidak mudah mengucurkan kredit.
"Ada beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas, namun banyak pula yang memilih menempatkan kelebihan likuiditasnya ke surat utang negara (SUN) dan Sukuk, yang selain lebih aman juga menjanjikan keuntungan cukup besar," katanya.
Sebagian bank, katanya, memilih berbisnis valuta asing (valas) karena mata uang dunia masih fluktuatif di saat perekonomian global belum sepenuhnya pulih.
Ia mengingatkan, pemerintah memiliki kewajiban politik untuk menciptakan instrumen yang mampu menciptakan keseimbangan antara ketersediaan modal dengan permintaan kredit dengan suku bunga yang kompetitif.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah perlu mengatur selisih maksimal antara BI "Rate" dengan bunga kredit, misalnya bila BI "Rate" tujuh persen, maka maksimal bunga kredit perbankan 10 persen/tahun.
"Regulasi itu tidak perlu berupa undang-undang, tetapi cukup peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia. Yang penting ada aturan yang memberi sanksi bagi bank yang melanggar ketentuan itu," kata Nugroho.
Ia membandingkan, di negara lain seperti Jepang, selisih (spread) antara bunga tabungan/deposito dengan pinjaman hanya 0,5-1 persen, sedangkan di Indonesia saat ini selisihnya lebih dari enam persen.
Bank-bank BUMN, katanya, harus berani mempelopori menurunkan suku bunga kredit, sebab selain berfungsi memupuk keuntungan, bank BUMN juga memiliki kewajiban moral ikut mendorong tumbuhnya sektor riil. (Ant)

Kamis, 07 Mei 2009

LIMA SOAL PERBURUHAN

Oleh Nugroho SBM


PADA 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh oleh para buruh Sedunia. HaI tersebut pertama kali ditetapkan oleh Kongres Sosialis Dunia Juli 1889 yang merupakan Konggres para buruh sedunia, di Paris. Tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Buruh untuk mengenang Peristiwa yang dikenal sebagai ”Peristiwa Haymarket” di depan supermarket terkenal di AS waktu itu, yaitu ”Haymarket”.

Dalam peristiwa tersebut sekitar 400,000 orang buruh berdemonstrasi menuntut pe-ngurangan jam kerja menjadi hanya 8 jam sehari. Tindakan represif kemudian dilakukan oleh pemerintah AS lewat angkatan bersenjatanya dengan menembaki para buruh yang berdemonstrasi sehingga ratusan buruh tewas dan beberapa lainnya ditangkap dan dihukum mati.
Keseimbangan Kepentingan

Ada lima masalah yang masih membelit kaum buruh di Indonesia. Pertama mencari keseimbangan kepentingan antara buruh dengan pengusaha, Kepentingan buruh adalah mendapatkan upah yang mencukupi. Sedangkan kepentingan pengusaha adalah mendapatkan keuntungan normal dan terjamin keberlanjutan usahanya.

Kedua kepentingan tersebut seringkali bertabrakan, lebih-lebih pada saat krisis finansial global yang dipicu oleh krisis di AS mulai terasa dampaknya di Indonesia. Organisasi Buruh International (ILO) baru-baru ini memprediksikan ada sekitar 50 Juta buruh di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaannya jika krisis ekonomi dunia tak segera diatasi.

PHK yang dilakukan pengusaha seringkali dipicu oleh tingginya tuntutan upah dan juga ketentuan upah minimum pemerintah yang terlalu tinggi. Pengusaha karena ”dipaksa” membayar upah yang tinggi tersebut akan menurutinya tetapi dengan melakukan PHK di sisi yang lain. Maka solusinya adalah dengan saling memahami satu sama lain antara buruh dan pengusaha.

Buruh perlu memahami situasi keuangan perusahaan. Jika memang perusahaan dalam kesulitan keuangan maka buruh hendaknya memahaminya. Oleh karena itu menjadi tugas serikat-serikat buruh (pekerja) untuk mendidik buruh agar memahami laporan keuangan perusahaan.

Sementara itu, pengusaha juga hendaknya jika memang mampu memberikan upah yang layak. Kalau perlu di atas upah minimum, sebab selama ini ada salah kaprah yang menganggap upah minimum sebagai upah maksimum.

Tetapi jika memang tidak mampu, pengusaha hendaknya secara terbuka memberitahukannya pada buruh. Cara lain agar buruh mau menerima ketidakmampuan perusahaan membayar upah yang layak adalah dengan memberi ”kompensasi” yang lain, misalnya melibatkan buruh dalam pengambilan keputusan perusahaan.

Dengan pelibatan seperti itu, buruh merasa dihargai sebagai manusia atau kebutuhan akan aktualisasi dirinya terpenuhi. Ini sesuai dengan pendarat pakar manajemen Herbert Maslow bahwa kebutuhan manusia tidak hanya kebutuhan fisik saja tetapi juga kebutuhan nonfisik antara lain kebutuhan untuk dihargai.

Ekonomi Biaya Tinggi

Masalah kedua terkait dengan masalah yang pertama yaitu masih adanya Ekonomi Biaya Tinggi di Indonesia sampai saat ini. Ketidakmampuan perusahaan untuk membayar upah buruh yang pantas salah satunya karena perusahaan harus menanggung berbagai pungutan baik yang liar maupun yang resmi.

Selama ini dalam riset-riset tentang ekonomi korupsi berkembang 2 (dua) teori besar tentang suap atau pungutan liar. Teori pertama yang dikenal dengan ”Hipotesis Uang Pelicin yang Efisien” (Efficient Grease Hypothesis) berpendapat bahwa suap yang diberikan perusahaan jika dihitung dengan nilai uang dan waktu akan jauh lebih efisien jika dibanding perusahaan menaati prosedur sesuai ketentuaan berlaku.

Tetapi banyak ahli yang menentang teori ini dan memperoleh bukti bahwa suap yang diberikan oleh perusahaan tidak mengurangi waktu dan biaya jika perusahaan berhadapan dengan pejabat publik. Bahkan pejabat publik akan menarik suap lebih besar dengan ”memainkan” prosedur formal. Hal demikian berlaku juga di Indonesia.

Maka upaya pemberantasan korupsi secara tegas dengan cara menindak para pelaku (baik pemberi maupun penerima suap) memang perlu terus dilakukan agar ekonomi biaya tinggi bisa terkikis.

Di samping itu; upaya-upaya untuk mencegah terjadinya korupsi dengan otomatisasi pelayanan adiministrasi publik seperti pembayaran pajak on line perlu dilakukan. Dengan otomatisasi tersebut maka kontak antara masyarakat dengan pejabat publik akan makin berkurang sehingga memperkecil peluang untuk korupsi.

Kesenjangan Upah

Masalah ketiga, kesenjangan upah antara pekerja kelas atas atau manajer dengan pekerja kelas bawah. Saat ini diperkirakan upah manajer di perusahaan yang bonafid di Indonesia bisa 50 kali lipat upah buruh, Soal kesenjangan upah ini memang bukan monopoli persoalan Indonesia. Sebagai contoh di AS saat ini gaji seorang eksekutif atau manajer perusahaan 225 kali lipat dari upah buruh.

Kesenjangan upah antara manajer dan buruh ini sebenarnya di luar logika teori ekonomi, Menurut teori upah yang paling banyak digunakan untuk penentuan upah --yaitu upah berdasarkan produktivitas-- maka jika gaji manajer 50 kali lipat upah buruh maka berarti produktivitas manajer 50 kali lipat (untuk Indonesia) atau 225 kali lipat (untuk AS) dibanding produktifitas buruh.

Siapa yang bisa percaya akan logika ini? Maka telah terjadi ”penghisapan” oleh manajer terhadap buruh dengan cara menentukan gaji manajer yang tinggi tetapi memberikan upah yang rendah bagi buruh.

Sebenarnya Organisasi Buruh Internasional (ILO) sudah memberikan aturan bahwa dalam sebuah perusahaan perbandingan antara gaji terendah dan tertinggi tidak boleh lebih dari 1 banding 7. Tetapi tampaknya aturan ILO tersebut jarang diperhatikan.

Sebab mengapa sampai saat ini upah buruh rendah tetapi gaji manajer tinggi; salah satunya adalah banyak perusahaan yang masih menganggap buruh sebagai beban dan pusat biaya (cost center) tetapi bukan sebagai asset.

Dalam perkembangan teori akuntansi sekarang ini banyak yang sudah memandang buruh sebagai asset. Jadi kalau perusahaan mengkursuskan karyawannya maka biaya kursus dibuktikan sebagai tambahan asset karena karyawan yang bertambah ahli dan bukannya di sisi kredit sebagai biaya.

Masalah kelima, adanya kebijakan tidak langsung yang tak mendukung berkembangnya dunia usaha dan dengan demikian juga tak mendukung perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Berbagai contoh kebijakan demikian antara lain: pengurangan subsidi BRM; kenaikan tarif dasar listrik; serta kenaikan tarif pajak.

Kebijakan demikian akan menambah beban berat pengusaha dan untuk mengurangi beban tersebut maka buruh akan dikurbankan baik dalam bentuk PHK maupun tidak menaikkan upah buruh. (80)

–– Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang.

Selasa, 21 April 2009

PEMILU DAN PERUBAHAN EKONOMI

* Oleh Nugroho SBM


KONDISI Amerika Serikat (AS) dan Indonesia memang berbeda. Di AS, pemilu di tengah krisis ekonomi dunia yang dipicu oleh krisis telah melahirkan perubahan dalam kepemimpinan dari George Bush ke Barack Obama. Peralihan kepemimpinan tersebut telah melahirkan perubahan yang cukup berarti dalam kebijakan ekonomi.

Kalau George Bush dari Partai Republik lebih banyak pro kepada pasar dan pengusaha yang akhirnya memicu krisis, maka Barack Obama lebih pro kepada masyarakat dan peran pemerintah untuk mengendalikan ekonomi.
Sementara di Indonesia, di tengah dampak krisis ekonomi dunia yang mulai terasa, pemilu legislatif tidak melahirkan pembaharuan yang berarti. Malah Partai Demokrat sebagai partai yang mencalonkan SBY sebagai presiden perolehan suaranya melejit menjadi nomor satu.

Padahal dahulu ketika mencalonkan SBY sebagai presiden pada 2004, Partai Demokrat hanya menduduki urutan ke-7 dalam perolehan suara. Banyak faktor bisa disebut sebagai kunci kemenangan Partai Demokrat, terutama yang berkait dengan bidang ekonomi.

Pertama, banyak kebijakan ekonomi populis (prorakyat) dari SBY yang menarik simpati rakyat yang lahir karena didukung oleh faktor keberuntungan. Contoh yang paling jelas adalah kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kebijakan tersebut bisa dilakukan setelah harga minyak di pasar dunia turun cukup drastis sehingga mengurangi beban subsidi BBM di APBN dan dengan demikian harga BBM bisa diturunkan. Kebijakan penurunan harga BBM ini cukup ampuh mendongkrak popularitas SBY dan Partai Demokrat sehingga akhirnya Partai Demokrat bisa menangguk suara terbesar dalam Pemilu Legislatif 2009 yang baru lalu.

Kedua, banyak pihak terutama rakyat kecil yang takut terhadap perubahan. Saya melakukan wawancara kecil dengan rakyat kecil sesaat setelah pencoblosan. Mereka umumnya memilih Partai Demokrat karena jika memilih partai lain takut bantuan langsung tunai (BLT) tidak akan diterima lagi. Menurut mereka, jika yang menang bukan Partai Demokrat maka program BLT akan dihapuskan. Padahal Program BLT sudah ada sejak pemerintahan Megawati.

Ketiga, di samping dari rakyat kecil, ketakutan juga datang dari para guru. Mereka takut jika partai yang menang selain Partai Demokrat maka program sertifikasi dan pemberian tunjangan akan dihentikan.

Keempat, penyebab yang sesungguhnya merupakan ironi dari kemenangan Partai Demokrat adalah karena lawan-lawan SBY dan Partai Demokrat mengecam berbagai program dan kebijakan ekonomi yang dilaksanakan oleh SBY. Kecaman tersebut justru menimbulkan simpati calon pemilih pada SBY dan Partai Demokrat.

Beberapa contoh kecaman tersebut antara lain kecaman Megawati terhadap kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM kemudian setelah beberapa saat menurunkan. Megawati menyebut hal tersebut sebagai mengatur negara seperti bermain ”yo-yo”.

Kecaman Megawati yang lain adalah terhadap kebijakan pemberian BLT yang dianggapnya kurang mendidik dan lebih mendidik misalnya dalam bentuk program padat karya. Meskipun kecaman itu benar tetapi masyarakat awam yang tidak ingin berpikir terlalu rumit menganggap bahwa Megawati menyerang SBY.

Padahal secara sosiologis orang Indonesia akan bersimpati dan membela mereka yang ”teraniaya”. Megawati barangkali lupa ketika naik menjadi presiden juga karena simpati rakyat karena ia dalam posisi ”teraniaya”.
Tak Berubah
Lalu bagaimana kaitannya hasil pemilu legislatif dengan arah kebijakan ekonomi? Arah kebijakan ekonomi akan tetap sama seperti sekarang karena partai yang menang adalah yang mendukung kebijakan-kebijakan ekonomi yang sekarang. Lalu apa yang salah dengan kebijakan ekonomi yang sekarang? Ada beberapa.

Pertama, kebijakan-kebijakan ekonomi karitatif seperti pemberian BLT untuk penduduk miskin akan terus berlangsung. Kebijakan semacam itu memang perlu dalam kondisi darurat misal: terjadinya kekurangan pangan atau kelaparan hebat. Tetapi dalam jangka panjang kebijakan demikian tidak mengatasi masalah mendasar kemiskinan.

Kebijakan demikian juga tidak mendidik. Kebijakan yang lebih baik, meskipun masih pada tataran karitatif, adalah dengan proyek padat karya. Dengan proyek padat karya, di samping penduduk miskin menerima bantuan uang juga harga dirinya akan lebih terangkat karena uang yang diterima tidak cuma-cuma seperti halnya dalam pemberian BLT.

Kebijakan yang lebih mendasar lagi untuk memerangi kemiskinan mestinya adalah lewat berbagai undang-undang yang memberi peluang bagi masyarakat miskin untuk bisa mengakses berbagai hal agar dia bisa hidup lebih baik. Misalnya: UU tentang penjaminan kredit bagi usaha kecil menengah, dan koperasi.

Selama ini pengusaha kecil tidak punya akses untuk meminjam di bank karena tidak punya agunan. Dengan UU penjaminan terhadap usaha kecil, menengah, dan koperasi maka menjadi tugas pemerintah --misal lewat Badan Penjaminan Kredit Usaha Kecil-- untuk menjamin kredit bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Kecenderungan kedua dalam kebijakan ekonomi yang masih tetap akan bertahan adalah berjalannya sistem ekonomi neoliberal. Ciri sistem ini adalah sangat mendewakan mekanisme pasar sebagai alat untuk memecahkan berbagai persoalan ekonomi serta pelemparan tanggung jawab sosial perusahaan kepada pemerintah atau negara.

Tentang pendewaan mekanisme pasar dapat kita lihat pada kebijakan pencabutan berbagai subsidi seperti subsidi BBM, subsidi pupuk, dan yang terbaru adalah subsidi bagi pendidikan tinggi dengan dijadikannya universitas-universitas negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Adapun pelemparan tanggung jawab sosial perusahaan kepada negara atau pemerintah tampak pada kasus Lapindo, Newmont, maupun Freeport.
Semestinya intervensi pemerintah terhadap perekonomian tetap diperlukan karena tidak selamanya pasar bisa menyelesaikan masalah.

Tanggung jawab sosial perusahaan sebenarnya sudah diatur dalam UU tentang Perseroan Terbatas. Hanya dalam pelaksanaan pemerintah perlu tegas dan masalah yang menjadi tanggung jawab sosial perusahaan diperluas. Betapa tidak tegas pemerintah dan betapa kecil lingkup tanggung jawab sosial perusahaan sangat tampak pada kasus kemeluapan lumpur karena kesalahan yang dilakukan pengeboran yang kemudian dialihkan menjadi karena kecelakaan dan karenanya pemerintah yang harus menanggung kesalahan itu.

Arah yang ketiga dari kebijakan ekonomi yang tidak berubah adalah tetap dikembangkannya pasar uang dan pasar modal sementara sektor riil jauh ketinggalan. Hal ini tampak dari ”kemalasan” perbankan untuk menyalurkan kredit dan malah menempatkan dananya di SBI dan spekulasi valuta asing. Mestinya BI bisa lebih mendorong penurunan bunga kredit dan memberi insentif agar bank mau memberikan kredit dengan, misalnya, mengkaitkan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan nisbah dana pihak ketiga terhadap pinjaman atau Loan To Deposit Ratio (LDR). Makin tinggi LDR makin kecil GWM-nya.

Namun, harapan masih terbentang jika PDI-P sebagai partai oposisi berkoalisi dengan partai-partai lain yang setujuan, yaitu mereka yang peduli terhadap masalah-masalah kronis ekonomi Indonesia yang tak kunjung terselesaikan seperti telah disebut di tulisan ini. (35)

–– Nugroho SBM SE MSP, staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip, tinggal di Semarang
Artikel dimuat di Wacana Suara Merdeka 20 April 2009, bisa diakses juga di
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=60211

Senin, 13 April 2009

KEMUNDURAN ILMU PENGETAHUAN DAN UNIVERSITAS DI INDONESIA

Oleh: Nugroho SBM

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Saratri Wilonoyudho dalam tulisannya di rubrik wacana Suara Merdeka berjudul “ Perguruan Tinggi dan Orang Tuli” (Suara Merdeka , 14 Maret 2009). Dalam tulisannya tersebut ia mengemukakan beberapa kritik pedas soal perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia pada umumnya dan universitas pada khususnya. Tulisan ini hanya bermaksud mempertegas tulisan Saratri Wilonoyudho tersebut dengan menambahkan dan mengemukakan beberapa contoh kongkrit.
Pertama, Saratri mengkritik bahwa sekarang ini ilmu pengetahuan di Indonesia makin “egois”, dalam arti tidak mau “bertegur sapa” atau bekerjasama dengan ilmu yang lain. Ilmu makin spesialistik. Padahal persoalan di masyarakat makin kompleks sehingga menuntut pemecahan yang makin komprehensif. Pemecahan komprehensif tersebut hanya bisa dicapai kalau berbagai disiplin ilmu saling bekerjasama. Berbagai contoh persoalan kompleks yang dihadapi masyarakat Indonesia itu misalnya adalah krisis ekonomi yang kemudian menjadi krisis multidimensi yang sampai sekarang belum juga berlalu sepenuhnya. Mestinya butuh kerjasama antar disiplin ilmu. Tidak hanya tugas ilmu ekonomi saja untuk menyelesaikannya tetapi ilmu-ilmu yang lain seperti psikologi, sosiologi, antrophologi, dan lain-lain.
Contoh persoalan kompleks di masyarakat yang menuntut kerjasama antar disiplin ilmu adalah masalah lingkungan hidup seperti banjir yang sekarang ini makin sering dialami masyarakat dan juga wilayahnya makin meluas. Untuk mengatasi masalah banjir tidak hanya tugas ilmu planologi (perencanaan kota) saja, melainkan juga ilmu-ilmu yang lain seperti teknik sipil, teknik arsitektur, sosiologi dan antrophologi (karena terkait dengan perilaku masyarakat), dan bahkan ilmu ekonomi (karena sering daerah konservasi diubah menjadi daerah industri atau perumahan dengan motif ekonomi). Dan masih banyak contoh yang lain.
Namun, dalam perkembangannya – seperti ditulis oleh Saratri – ilmu pengetahuan di Indonesia justru makin “egois” dan spesialistik. Menurut Saratri, jangankan dengan ilmu lain rumpun, misal antara ilmu sosial dengan ilmu pasti. Dalam satu rumpunpun, misalnya sama-sama ilmu sosial, jarang ada dialog atau tegur sapa.
Saya sendiri punya pengalaman di program Magister Manajemen (MM) Undip. Kebetulan saya mengampu mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” di program MM Undip. Mata kuliah ini memang berbasis pada mata kuliah ilmu ekonomi makro yang berasal dari jurusan saya yaitu jurusan ilmu ekonomi dan studi Pembangunan (IESP) atau kalau dulu disebut sebagai ilmu ekonomi umum. Sebagaimana diketahui ada 3 jurusan di Fakultas Ekonomi yaitu jurusan manajemen, jurusan akuntansi, dan jurusan IESP. Keberadaan mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” sebenarnya bisa dipandang sebagai “dialog” – atau “tegur sapa” menurut istilah Saratri – antara jurusan manajemen dengan jurusan IESP.
Adapun tujuan diberikannya mata kuliah “Analisis Lingkungan Bisnis” adalah memberi bekal kepada mahasiswa MM tentang pentingnya lingkungan bisnis yang sifatnya makro sehingga mereka tidak hanya terkungkung pada masalah-masalah manajemen dalam lingkup perusahaan saja seperti manajemen sumberdaya manusia, manajemen operasi, manajemen keuangan, dan lain-lain. Pengalaman krisis ekonomi 1997 dan juga 2008 membuktikan betapa fenomena ekonomi makro berupa krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa punya dampak besar terhadap manajemen perusahaan yaitu pada manajemen keuangan (karena utang Luar Negeri perusahaan menjadi makin besar), manajemen pemasaran (karena daya beli masyarakat merosot akibat krisis sehingga perusahaan harus melakukan segmentasi ulang pasarnya), maupun manajemen sumberdaya manusia (karena perusahaan terpaksa harus melakukan efisiensi di bidang kepegawaian). Ada pendapat bahwa jika perusahaan peka terhadap indikator ekonomi makro sebelum krisis 1997 maka perusahaan bisa melakukan “Hedging” (lindung nilai tukar) sehingga beban utang Luar Negeri tidak bertambah berat akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS waktu itu.
Contoh fenomena ekonomi makro lain yang mempengaruhi dunia usaha adalah inflasi. Jika terjadi inflasi maka hal tersebut akan mempengaruhi manajemen operasi (misalnya perusahaan harus memilih metode persediaan yang tepat supaya tidak mengalami kerugian), manajemen sumberdaya manusia (karena perusahaan harus menyesuaikan upah karyawannya), dan aspek manajemen yang lain.
Namun, dalam kurikulum program MM yang baru (mulai tahun 2009), ternyata mata kuliah Analisis Lingkungan Bisnis tersebut dihapus. Mata-mata kuliah dalam program MM makin spesialistik dan teknis melulu soal manajemen dalam perusahaan. Ini merupakan salah satu bukti kecil seperti yang ditulis oleh Saratri bahwa ilmu di Indonesia makin “Egois”.

Menara Gading
Kritik kedua yang dilontarkan Saratri secara implisit adalah universitas dan ilmu pengetahuan sudah tidak bisa lagi memecahkan masalah kongkrit di masyarakat. Ia mengatakan dalam salah satu bagian tulisannya “... Ironisnya permasalahan banjir, kemacetan lalu lintas, sampah, lingkungan yang memburuk, dan seterusnya justru terjadi di kota-kota besar ketika di dalamnya banyak bertebaran para doktor lulusan luar negeri atau profesor yang dianggap ahli dalam bidangnya masing-masing ...”. Saya setuju dan melihat fenomena yang sama.
Sebenarnya peringatan berbagai pihak atas sterilnya perkembangan ilmu terhadap fenomena masyarakat sudah cukup lama. Dulu ada istilah bahwa universitas telah menjadi menara gading, yang meskipun indah dan mahal tetapi tidak ada gunanya bagi masyarakat. Demikian pula halnya saat ini. Benar kata Saratri bahwa banyak penelitian di universitas yang dibiayai oleh Dirjen Dikti sekalipun hanya menghasilkan model kuantitatif yang canggih tetapi tidak menjawab persoalan nyata di masyarakat. Sementara itu, para dosen atau pengajar yang sering melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah seperti departemen dan pemerintah kabupaten/kota sering “diejek” sebagai peneliti “kelas dua”. Padahal penelitian kerjasama tersebut lebih praktis dan menjawab permasalahan nyata dalam masyarakat dan sering diimplementasikan lewat berbagai kebijakan.

Daya Saing Individu
Pada akhir tulisannya, Saratri memperingatkan bahwa sekarang ini globalisasi sudah memasuki gelombang III. Pada globalisasi gelombang III ini persaingan tidak lagi antar negara tetapi sudah antar individu sehingga dibutuhkan individu yang tangguh, brilyan, dan tahan uji menghadapi persaingan demikian. Dalam tulisannya, Saratri memang tidak mengemukakan kritik terhadap apakah universitas kita mampu menghasilkan individu yang demikian, tetapi secara implisit barangkali ia bermaksud demikian.
Bila saya mengamati kecenderungan dalam penerimaan mahasiswa baru di berbagai universitas – akhir-akhir ini – maka ada semacam kekhawatiran dalam diri saya apakah proses seleksi yang demikian menjamin input yang baik sehingga output yang dihasilkannyapun baik. Kecenderungan itu adalah dibukanya berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru yang orientasinya mendapatkan dana sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa baru tersebut. Hal ini dilakukan lebih-lebih setelah disahkannya UU tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk Perguruan Tinggi Negeri. Sementara itu, jatah bagi penerimaan mahasiswa baru dari jalur persaingan murni lewat tes porsinya makin kecil. Meskipun proses belajar mengajar juga penting untuk menghasilkan output (sarjana) yang baik, tetapi input yang dihasilkan dengan cara demikian kurang mendukung dihasilkannya ouput yang baik yang mampu bersaing pada globalisasi gelombang III ini.

(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)

Selasa, 24 Maret 2009

Komentar di media massa

Rabu, 11 Maret 2009 | 14:18 WIB

Ekonom: Perbankan Sulit Turunkan Bunga Kredit

Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM mengatakan, perbankan nasional sulit menurunkan bunga kredit pada tahun 2009 karena risiko usaha sepanjang tahun ini diperkirakan masih tinggi.

"Selama risiko usaha masih tinggi, maka penurunan BI (Bank Indonesia) `rate` dan inflasi yang rendah sulit bisa menekan penurunan bunga pinjaman," katanya ketika dihubungi di Semarang, Rabu.

Menurut dia, dalam mematok bunga pinjaman, perbankan setidaknya dipengaruhi tiga komponen utama, yakni inflasi, suku bunga tabungan termasuk Sertifikat Bank Indonesia (BI rate), dan risiko usaha.

Bunga tabungan/deposito, katanya, saat ini memang relatif rendah, hanya 3-5 persen dan SBI juga dipatok 7,75 persen, namun karena dunia usaha masih terkena imbas krisis global maka perbankan memilih jalan aman, yakni mengerem pengucuran kredit untuk mengurangi risiko kredit macet.

Bahkan untuk industri berorientasi ekspor, seperti garmen, tekstil, dan mebel, menurut dia, perbankan sementara waktu menghentikan kucuran kredit karena permintaan komoditas tersebut di pasar global anjlok bersamaan dengan melemahnya daya beli konsumen global.

Nugroho menambahkan, perbankan sulit menurunkan bunga kredit juga disebabkan ketidakmampuannya meningkatkan efisiensi sehingga selisih antara bunga tabungan dengan pinjaman sangat lebar, bisa lebih dari 10 persen.

Saat ini bunga tabungan/deposito hanya 3-5 persen, sementara bunga pinjaman antara 14-18 persen/tahun.

"Selisih bunga yang lebar ini menunjukkan perbankan gagal menerapkan efisiensi. Perbankan masih terus dibebani biaya `overhead` tinggi, seperti sewa dan bangun gedung atau rasio pegawai dengan beban kerja yang belum rasional," katanya.

Nugroho mengatakan, usaha mikro dan kecil tetap memiliki peluang hidup dan berkembang di saat krisis seperti sekarang ini karena produk yang dihasilkan lebih banyak pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau.

Usaha mikro dan kecil juga lebih lentur dalam menghadapi krisis, misalnya dengan mengubah ukuran lebih kecil atau menciptakan varian baru untuk mendekatkan dengan daya beli konsumen.

Ia menambahkan, belanja pemerintah dan puluhan ribu politikus untuk keperluan Pemilu 2009 akan menjadi pendorong penting untuk menggerakkan perekonomia nasional, sebab belanja barang dan jasa ini terdistribusi ke daerah-daerah.

"Uang yang mengalir ke daerah akan berputar di daerah itu sehingga ada `multiplier effect` (efek berantai, red.) bagi masyarakat setempat," demikian Nugroho SBM.

(Ns/NS/ant)