Oleh Nugroho SBM
DI samping tuntutan kenaikan upah karyawan, PT Freeport digugat masalah penjualan saham atau divestasi kepada pemegang saham Indonesia. Pemegang saham Indonesia bisa pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta.
Tuntutan divestasi itu wajar karena di satu sisi, dalam kontrak karya jilid II Freeport yang dimulai 1991 (kontrak karya jilid I 1967-1997, tetapi 1991 Freeport mengajukan perpanjangan kontrak dan dikabulkan-Red) Freeport tidak dikenai kewajiban melakukan divestasi.
Namun berdasarkan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara divestasi saham diharuskan. Dalam UU tersebut Pasal 112 Ayat 1 disebutkan setelah lima tahun berproduksi, badan usaha asing pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan divestasi saham. Sampai saat ini kepemilikan saham pemerintah pusat hanya 9,36%.
Divestasi saham merupakan upaya pemerintah dan DPR agar perusahaan pertambangan asing mampu membawa manfaat yang lebih besar baik bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Tetapi divestasi saham Freeport bukanlah perkara mudah karena akan timbul beberapa masalah.
Masalah potensial pertama yang akan timbul adalah perebutan pembelian saham yang didivestasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Contoh yang sudah ada dalam hal ini adalah divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Akar dari masalah itu ada pada landasan hukum atau peraturan dan perundang-undangan.
Landasan hukum utama divestasi saham Freeport adalah UU No 4/2009. Dalam UU tersebut hanya disebutkan bahwa perusahaan pertambangan asing wajib melakukan divestasi setelah lima tahun berproduksi. Penjelasan teknis yang lebih mendetail tentang divestasi saham akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pada Bab IX Pasal 97 sampai 99 disebutkan perusahaan asing pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan divestasi saham setelah lima tahun berproduksi sehingga sahamnya paling sedikit 20% dimiliki oleh peserta Indonesia. Divestasi tersebut dilakukan secara langsung dan berjenjang kepada peserta Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta.
Berjenjang artinya hak pertama diberikan kepada pemerintah pusat; jika pemerintah pusat tidak menggunakan haknya untuk membeli saham yang didivestasi, giliran berikutnya pada pemerintah provinsi dan seterusnya.
Pada PP No 23/ 2010 dinyatakan bahwa hal lain yang lebih mendetail lagi tentang divestasi saham akan diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang belum terbit.
Untuk mengatasi ketidakjelasan peraturan itu ada beberapa alternatif solusi. Pertama, merevisi PP No 23/ 2010 dengan penjelasan lebih detail tentang tata cara divestasi saham yang antara lain menyangkut hak antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Alternatif kedua, sebagaimana diamanatkan oleh PP No 23/2010 yaitu dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM yang lebih mendetailkan UU No 4/2009 dan PP itu, khususnya tentang hak pembelian saham antara pemerintah pusat dan daerah.
Kesulitan
Tetapi kesulitan yang timbul adalah pemerintah daerah mungkin tingkat kepatuhannya rendah terhadap peraturan menteri karena sifatnya tidak mengikat dan tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan menurut UU No 10/2004.
Kesulitan lainnya, masalah divestasi sebenarnya tidak hanya urusan Kementerian ESDM tetapi juga Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Alternatif ketiga, pembelian saham yang telah didivestasi secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Alternatif keempat, melakukan pengkajian dengan tolok ukur tertentu pihak mana antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih pantas membeli saham yang telah didivestasi.
Jadi Boneka
Masalah lain di samping perebutan hak pembelian saham antara pemerintah pusat dan daerah adalah ada kemungkinan pemerintah daerah hanya dijadikan boneka atau jalan masuk bagi perusahaan swasta untuk melakukan pembelian saham yang akan menghasilkan keuntungan yang besar.
Kekhawatiran itu juga muncul pada saat divestasi PT NNT. Untuk melakukan pembelian 24% saham PT NNT Pemprov Nusa Tenggara Barat, Pemkab Sumbawa Barat, dan PT Multi Capital (perusahaan swasta) membentuk PT Daerah Maju Bersaing. Dikhawatirkan justru PT Multi Capitallah yang akan memperoleh porsi terbesar dari pembelian saham PT NNT dan bukan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten.
Masalah berikutnya adalah kesulitan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah pusat karena harus melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan Freeport. Sebagaimana telah disebutkan dalam kontrak karya Freeport ternyata mempunyai hak istimewa untuk tidak melakukan divestasi saham.
Setelah divestasi disetujui pun belum tentu mudah dilaksanakan. Contoh sekali lagi dalam kasus divestasi PT NNT, sampai 2008 PT NNT ternyata tidak memenuhi kewajibannya melakukan divestasi.
Lalu, Pemerintah Indonesia menggugat lewat lembaga arbitrase internasional dan akhirnya pada 2009 lembaga itu memenangkan Indonesia dan mengharuskan PT NNT melakukan divestasi 27% sahamnya yang terdiri atas kewajiban divestasi 2006 sebesar 3%, tahun 2007 sebesar 7%, dan tahun 2008 sebesar 3%. Masalah lainnya, bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten atau kota memanfaatkan kepemilikan saham hasil divestasi. (29)
— Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Undip Semarang
Blog ini berisi tulisan ilmiah populer dan komentar di berbagai media massa tentang masalah-masalah sosial ekonomi yang sedang dan akan terjadi di Indonesia
Kamis, 24 November 2011
MEMPERSOALKAN PENYUAPAN OLEH PENGUSAHA INDONESIA
Oleh Nugroho SBM
Baru-baru ini organisasi Transparency International (TI) telah merilis peringkat pengusaha di dunia yang suka menyuap dalam menjalankan bisnisnya di luar negeri. Kegemaran menyuap itu diukur dengan yang namanya Indeks Pembayar Suap (Bribe Payers Index atau BPI). Besarnya indeks antara 0 (nol) sampai 10 (sepuluh). Makin kecil indeks makin menunjukkan bahwa pengusaha-pengusaha di suatu negara gemar menyuap dan sebaliknya makin kecil indeks menunjukkan makin bersih pengusaha-pengusaha di suatu negara dalam menjalankan bisnisnya di luar negeri.
Dari hasil survey TI, BPI Indonesia adalah 7,1 sehingga menempati urutan keempat setelah Rusia (dengan BPI 6,1), China (BPI 6,5) dan Meksiko (BPI 7). Survei tersebut dilakukan di 28 negara dengan mewawancarai sekitar 3..000 eksekutif perusahaan.
Ranking tinggi Indonesia dalam pembayaran suap tampaknya konsisten juga dengan ranking tinggi dalam korupsi yang dicerminkan dalam Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang tahun 2010 sebesar 2,8 dan menempatkan Indonesia di urutan ke 18 negara terkorup dari 178 negara yang disurvei. Dalam istilah di analisis ekonomi korupsi, pembayaran suap oleh pengusaha (yang diukur dengan BPI oleh TI) dikenal sebagai sisi penawaran (supply side) korupsi, sementara si pejabat pemerintah penerima suap (yang diukur dengan Indeks Persepsi Korupsi oleh TI) disebut sebagai sisi permintaan (demand side) dari korupsi.. Jadi Indonesia konsisten antara sisi penawaran dan sisi permintaan dalam hal korupsi.
Sisi permintaan atau pejabat yang menerima suap sudah banyak dibahas dan penegakan hukum juga cenderung mengurusi sisi penawaran ini. Sementara perusahaan yang menyuap biasanya akan terbebas dari hukuman. Oleh karena itu sungguh suatu momentum yang tepat ketika TI mengeluarkan publikasi tentang pembayaran suap oleh pengusaha berbagai negara untuk mempersoalkan dan menganalisis sisi penawaran dari korupsi yaitu dari sisi pemberi suap atau perusahaan di Indonesia.
Makna Suap
Secara harafiah, kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Namun, perkembangan kemudian, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup suatu tindakan dari pejabat publik).
Suap-menyuap dan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds), seringkali dikategorikan sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi, dalam tinjauan yang lebih umum, diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles ).
Tindakan suap diasumsikan sebagai keputusan independen dan rasional yang dibuat oleh agen individual (a decisions independently and rationally made by individual agents). Keputusan agen individual itu didasarkan atas analisis keuntungan dengan tujuan untuk mendapatkan atau memaksimalkan keuntungan atau kegunaan personal.
Secara filosofis, perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibitia. Konsep mala per se dilandasi oleh pemikiran natural wrongs yang menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah melarangnya, melainkan memang sudah dengan sendirinya salah.
Sedangkan konsep mala prohibitia bertitik tolak dari pemikiran bahwa perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah melarangnya. Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi agar yang disuap berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Bahkan, kasus penyuapan yang melibatkan saksi di pengadilan tergolong tindak pidana berat, menurut Konvensi Palermo tahun 2.000, sebab ia tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga berkaitan dengan asas peradilan yang jujur dan tindak pidana berupa gangguan terhadap proses memperoleh keadilan yang juga masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir.
Dari Budaya Upeti
Di Indonesia, suap-menyuap merupakan hal yang ada dalam sejarah bangsa. Ong Hok Ham (2004) mengaitkan antara tindakan korupsi, termasuk di dalamnya suap dengan budaya upeti. Menurut Ong Hok Ham dalam kosa kata bahasa Indonesia, istilah suap bisa ditarik akar budayanya dalam praktek pemberian upeti.
Istilah upeti berasal dari kata utpatti, yang dalam bahasa Sansekerta kurang lebih berarti bukti kesetiaan. Upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Para adipati memberikan persembahan kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut
Heather Sutherland dalam The Making of A Bureaucratic Elite (1979) menggambarkan betapa sistem upeti yang berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Alhasil, pola patron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar di antara para birokrat modern atau pamong praja di Indonesia. Karena sudah mengakar dalam budaya birokrasi, maka suap atau yang dipahami oleh masyarakat sebagai upeti, sangat sulit diberantas.
Ada dua hal pokok yang membuat budaya upeti lestari di Indonesia. Pertama, sistem administrasi yang memungkinkan pertukaran antara jabatan resmi dan imbalan material. Kedua, kekeliruan persepsi masyarakat tentang makna upeti dan gratifikasi. Arnold Laswell dan Harold Rogow (1963) dalam Power, Corruption, and Rectitude menguraikan bahwa suap terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik. Bahwa mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting. Maka terjadilah apa yang disebut venal office, yaitu bahwa kekuasaan bisa dimiliki bukan karena integritas atau kepemimpinan seseorang melainkan karena memiliki dana besar untuk kampanye, memiliki modal untuk membeli perusahaan publik, dan untuk membeli suara pemilih.
Terlebih lagi situasi ini diperparah oleh budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar .
Sisi Perusahaan
Dari sisi perusahaan, pemberian suap atau uang atau kepada pejabat mempunyai motif beragam.Pertama, untuk memperlancar urusan atau macam-macam ijin usaha. Kedua, untuk memperlancar pemasaran barang dan jasa yang diproduksinya. Dan Ketiga, bagi perusahaan milik negara baik milik pemerintah pusat (BUMN) maupun milik daerah (BUMD), karena sudah merupakan kewajiban tak tertulis untuk menyetor sejumlah uang atau fee kepada pejabat atau dalam istilah yang lebih kasar sering disebut sebagai “sapi perah”.
Jika motif pemberian suap adalah untuk memperlancar pengurusan macam-macam ijin usaha maka hal tersebut bisa diterangkan dengan teori yang disebut sebagai ”Efficient Grease Hypothesis” (Atau Hipotesis Uang Pelicin atau Suap yang Efisien) yang dikemukakan oleh antara lain: Francis T Lui (1985) dan Thomas Wu (2003). Teori tersebut mengatakan bahwa pemberian suap untuk memperlancar urusan atau ijin usaha adalah jauh lebih efisien dibandingkan jika perusahaan mentaati jalur resmi. Dari sisi perusahaan memang hal tersebut efisien tetapi ada pihak-pihak yang dirugikan.
Pihak yang dirugikan: pertama, pemerintah. Misalnya dalam kasus pengurusan ijin oleh perusahaan. Jika ijin perusahaan diurus secara jalur resmi maka negara mendapatkan pendapatan dari biaya pengurusan ijin tersebut. Tetapi kalau pengusaha memilih memberikan suap untuk memotong birokrasi tersebut maka tentu negara akan dirugikan. Pihak kedua yang dirugikan adalah konsumen yang menggunakan barang dan jasa yang diproduksi oleh perusahaan. Kerugiannya adalah karena biasanya suap tersebut dianggap biaya oleh perusahaan dan pada akhirnya digeser bebannya kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Ketiga, secara makro pemberian suap ini juga bisa dipandang telah menciptakan inefisiensi alokasi sumberdaya. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat telah dibuang secara sia-sia tanpoa ada output riilnya.
Lalu bagaimana kalau uang suap tersebut dikembalikan kepada negara? Dalam hal inipun sesuai dengan konsep biaya oportunitas dan nilai waktu dari uang masyarakat tetap yang dirugikan. Jika uang tersebut tidak digunakan untuk membayar suap maka sudah banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat semisal pembangunan infrastruktur dan subsidi untuk masyarakat miskin. Dan nilai barang dan jasa bagi masyarakat bila disediakan dengan uang yang digunakan untuk suap pada waktu suap diberikan tentu lebih tinggi dibanding pada waktu uang tersebut dikembalikan ke negara karena faktor inflasi.
Namun ada pendapat lain yang tidak setuju dengan hipotesis suap atau uang pelicin yang efisien (Efficient Grease Hypothesis). Beberapa ahli yang masuk kategori ini antara lain: Kaufmann (1997), Bardhan (1997), dan Murphy (2003). Menurut para ahli yang menentang argumen Suap yang efisien (Efficient Grease Hypothesis) pada kenyataannya berdasar riset: perusahaan yang memberikan suap belum tentu mendapatkan prioritas mendapatkan ijin lebih cepat. Pejabat yang menerima suap sebenarnya tidak mempercepat proses perijinan tetapi lebih kepada tidak menunda proses perijinan, dan seringkali pejabat yang diberi suap bukanlah pejabat yang bisa mengontrol proses perijinan secara keseluruhan.
Jika pemberian suap dimaksudkan sebagai memperlancar pemasaran maka hal itu sesuai dengan konsep pemasaran modern. Dalam pemasaran konvensional dikenal istilah 4 P (Product atau bagaimana mengemas produk yang berdaya jual tinggi, Place atau bagaimana memilih lokasi usaha, Price atau bagaimana menentukan harga yang sesuai daya beli konsumen, dan Promotion atau bagaimana melakukan promosi yang baik). Dalam manajemen pemasaran moderen ditambahkan beberapa P lagi diantaranya adalah Power atau kekuasaan. Yang dimaksud konsep Power adalah dalam memasarkan barang dan jasa tidak ada salahnya menggunakan jalur kekuasaan (pejabat). Pada kasus demikian, yang dirugikan adalah konsumen karena biaya untuk memfasilitasi si pejabat akan dibebankan kembali pada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi.
Jika motif pemberian suap oleh perusahaan-perusahaan negara dan daerah adalah sebagai kewajiban maka hal tersebut paling tidak akan merugikan pemerintah dan konsumen sama dengan dalam kasus pemberian fee untuk memperlancar pemberian ijin.
Pemberantasan Korupsi
Vogl (1998) menyatakan bahwa selama ini baik dalam riset maupun penindakan hukum yang menyangkut korupsi dan suap lebih berat ke sisi permintaan (demand) yaitu pejabat pemerintah yang menerima suap. Sementara dari sisi penawaran (supply) yaitu perusahaan yang memberikan suap tidak banyak disentuh. Maka Vogl mengusulkan supaya riset dan penindakan hukum korupsi dan suap lebih seimbang antara sisi permintaan dan penawaran.
Maka memang bila pemberian suap itu dianggap sebagai sesuatu yang salah secara hukum maka penindakan harus dilakukan dari dua sisi yaitu sisi permintaan atau pejabat yang menerima suap dan sisi penawaran yaitu perusahaan yang memberikan suap.
Di samping masalah keseimbangan penindakan antara sisi permintaan dan penawaran, tampaknya perlu juga dipertimbangkan beratnya hukuman bagi mereka yang terlibat dalam korupsi atau suap. Dalam istilah ekonomi ”biaya” melakukan korupsi dan suap harus lebih besar dari ”manfaat” melakukan korupsi atau suap. Sebuah studi oleh Rimawan Pradipto (2010) menunjukkan bahwa selama tahun 2001-2009 kekayaan negara yang dikorupsi sebesar Rp 73,01 triliun. Tetapi nilai hukuman secara finansial yang dikemblikan kepada negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Jadi manffat melakukan korupsi atau suap lebih besar dari biayanya.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP UNDIP Semarang)
Baru-baru ini organisasi Transparency International (TI) telah merilis peringkat pengusaha di dunia yang suka menyuap dalam menjalankan bisnisnya di luar negeri. Kegemaran menyuap itu diukur dengan yang namanya Indeks Pembayar Suap (Bribe Payers Index atau BPI). Besarnya indeks antara 0 (nol) sampai 10 (sepuluh). Makin kecil indeks makin menunjukkan bahwa pengusaha-pengusaha di suatu negara gemar menyuap dan sebaliknya makin kecil indeks menunjukkan makin bersih pengusaha-pengusaha di suatu negara dalam menjalankan bisnisnya di luar negeri.
Dari hasil survey TI, BPI Indonesia adalah 7,1 sehingga menempati urutan keempat setelah Rusia (dengan BPI 6,1), China (BPI 6,5) dan Meksiko (BPI 7). Survei tersebut dilakukan di 28 negara dengan mewawancarai sekitar 3..000 eksekutif perusahaan.
Ranking tinggi Indonesia dalam pembayaran suap tampaknya konsisten juga dengan ranking tinggi dalam korupsi yang dicerminkan dalam Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang tahun 2010 sebesar 2,8 dan menempatkan Indonesia di urutan ke 18 negara terkorup dari 178 negara yang disurvei. Dalam istilah di analisis ekonomi korupsi, pembayaran suap oleh pengusaha (yang diukur dengan BPI oleh TI) dikenal sebagai sisi penawaran (supply side) korupsi, sementara si pejabat pemerintah penerima suap (yang diukur dengan Indeks Persepsi Korupsi oleh TI) disebut sebagai sisi permintaan (demand side) dari korupsi.. Jadi Indonesia konsisten antara sisi penawaran dan sisi permintaan dalam hal korupsi.
Sisi permintaan atau pejabat yang menerima suap sudah banyak dibahas dan penegakan hukum juga cenderung mengurusi sisi penawaran ini. Sementara perusahaan yang menyuap biasanya akan terbebas dari hukuman. Oleh karena itu sungguh suatu momentum yang tepat ketika TI mengeluarkan publikasi tentang pembayaran suap oleh pengusaha berbagai negara untuk mempersoalkan dan menganalisis sisi penawaran dari korupsi yaitu dari sisi pemberi suap atau perusahaan di Indonesia.
Makna Suap
Secara harafiah, kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang artinya adalah begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Namun, perkembangan kemudian, bribe bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup suatu tindakan dari pejabat publik).
Suap-menyuap dan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds), seringkali dikategorikan sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi, dalam tinjauan yang lebih umum, diartikan sebagai bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu perusakan integritas, kebajikan atau asas-asas moral (an impairment of integrity, virtue, or moral principles ).
Tindakan suap diasumsikan sebagai keputusan independen dan rasional yang dibuat oleh agen individual (a decisions independently and rationally made by individual agents). Keputusan agen individual itu didasarkan atas analisis keuntungan dengan tujuan untuk mendapatkan atau memaksimalkan keuntungan atau kegunaan personal.
Secara filosofis, perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibitia. Konsep mala per se dilandasi oleh pemikiran natural wrongs yang menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah melarangnya, melainkan memang sudah dengan sendirinya salah.
Sedangkan konsep mala prohibitia bertitik tolak dari pemikiran bahwa perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah melarangnya. Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi agar yang disuap berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Bahkan, kasus penyuapan yang melibatkan saksi di pengadilan tergolong tindak pidana berat, menurut Konvensi Palermo tahun 2.000, sebab ia tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga berkaitan dengan asas peradilan yang jujur dan tindak pidana berupa gangguan terhadap proses memperoleh keadilan yang juga masuk kategori kejahatan lintas negara terorganisir.
Dari Budaya Upeti
Di Indonesia, suap-menyuap merupakan hal yang ada dalam sejarah bangsa. Ong Hok Ham (2004) mengaitkan antara tindakan korupsi, termasuk di dalamnya suap dengan budaya upeti. Menurut Ong Hok Ham dalam kosa kata bahasa Indonesia, istilah suap bisa ditarik akar budayanya dalam praktek pemberian upeti.
Istilah upeti berasal dari kata utpatti, yang dalam bahasa Sansekerta kurang lebih berarti bukti kesetiaan. Upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Para adipati memberikan persembahan kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut
Heather Sutherland dalam The Making of A Bureaucratic Elite (1979) menggambarkan betapa sistem upeti yang berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Alhasil, pola patron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar di antara para birokrat modern atau pamong praja di Indonesia. Karena sudah mengakar dalam budaya birokrasi, maka suap atau yang dipahami oleh masyarakat sebagai upeti, sangat sulit diberantas.
Ada dua hal pokok yang membuat budaya upeti lestari di Indonesia. Pertama, sistem administrasi yang memungkinkan pertukaran antara jabatan resmi dan imbalan material. Kedua, kekeliruan persepsi masyarakat tentang makna upeti dan gratifikasi. Arnold Laswell dan Harold Rogow (1963) dalam Power, Corruption, and Rectitude menguraikan bahwa suap terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik. Bahwa mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting. Maka terjadilah apa yang disebut venal office, yaitu bahwa kekuasaan bisa dimiliki bukan karena integritas atau kepemimpinan seseorang melainkan karena memiliki dana besar untuk kampanye, memiliki modal untuk membeli perusahaan publik, dan untuk membeli suara pemilih.
Terlebih lagi situasi ini diperparah oleh budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar .
Sisi Perusahaan
Dari sisi perusahaan, pemberian suap atau uang atau kepada pejabat mempunyai motif beragam.Pertama, untuk memperlancar urusan atau macam-macam ijin usaha. Kedua, untuk memperlancar pemasaran barang dan jasa yang diproduksinya. Dan Ketiga, bagi perusahaan milik negara baik milik pemerintah pusat (BUMN) maupun milik daerah (BUMD), karena sudah merupakan kewajiban tak tertulis untuk menyetor sejumlah uang atau fee kepada pejabat atau dalam istilah yang lebih kasar sering disebut sebagai “sapi perah”.
Jika motif pemberian suap adalah untuk memperlancar pengurusan macam-macam ijin usaha maka hal tersebut bisa diterangkan dengan teori yang disebut sebagai ”Efficient Grease Hypothesis” (Atau Hipotesis Uang Pelicin atau Suap yang Efisien) yang dikemukakan oleh antara lain: Francis T Lui (1985) dan Thomas Wu (2003). Teori tersebut mengatakan bahwa pemberian suap untuk memperlancar urusan atau ijin usaha adalah jauh lebih efisien dibandingkan jika perusahaan mentaati jalur resmi. Dari sisi perusahaan memang hal tersebut efisien tetapi ada pihak-pihak yang dirugikan.
Pihak yang dirugikan: pertama, pemerintah. Misalnya dalam kasus pengurusan ijin oleh perusahaan. Jika ijin perusahaan diurus secara jalur resmi maka negara mendapatkan pendapatan dari biaya pengurusan ijin tersebut. Tetapi kalau pengusaha memilih memberikan suap untuk memotong birokrasi tersebut maka tentu negara akan dirugikan. Pihak kedua yang dirugikan adalah konsumen yang menggunakan barang dan jasa yang diproduksi oleh perusahaan. Kerugiannya adalah karena biasanya suap tersebut dianggap biaya oleh perusahaan dan pada akhirnya digeser bebannya kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Ketiga, secara makro pemberian suap ini juga bisa dipandang telah menciptakan inefisiensi alokasi sumberdaya. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat telah dibuang secara sia-sia tanpoa ada output riilnya.
Lalu bagaimana kalau uang suap tersebut dikembalikan kepada negara? Dalam hal inipun sesuai dengan konsep biaya oportunitas dan nilai waktu dari uang masyarakat tetap yang dirugikan. Jika uang tersebut tidak digunakan untuk membayar suap maka sudah banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat semisal pembangunan infrastruktur dan subsidi untuk masyarakat miskin. Dan nilai barang dan jasa bagi masyarakat bila disediakan dengan uang yang digunakan untuk suap pada waktu suap diberikan tentu lebih tinggi dibanding pada waktu uang tersebut dikembalikan ke negara karena faktor inflasi.
Namun ada pendapat lain yang tidak setuju dengan hipotesis suap atau uang pelicin yang efisien (Efficient Grease Hypothesis). Beberapa ahli yang masuk kategori ini antara lain: Kaufmann (1997), Bardhan (1997), dan Murphy (2003). Menurut para ahli yang menentang argumen Suap yang efisien (Efficient Grease Hypothesis) pada kenyataannya berdasar riset: perusahaan yang memberikan suap belum tentu mendapatkan prioritas mendapatkan ijin lebih cepat. Pejabat yang menerima suap sebenarnya tidak mempercepat proses perijinan tetapi lebih kepada tidak menunda proses perijinan, dan seringkali pejabat yang diberi suap bukanlah pejabat yang bisa mengontrol proses perijinan secara keseluruhan.
Jika pemberian suap dimaksudkan sebagai memperlancar pemasaran maka hal itu sesuai dengan konsep pemasaran modern. Dalam pemasaran konvensional dikenal istilah 4 P (Product atau bagaimana mengemas produk yang berdaya jual tinggi, Place atau bagaimana memilih lokasi usaha, Price atau bagaimana menentukan harga yang sesuai daya beli konsumen, dan Promotion atau bagaimana melakukan promosi yang baik). Dalam manajemen pemasaran moderen ditambahkan beberapa P lagi diantaranya adalah Power atau kekuasaan. Yang dimaksud konsep Power adalah dalam memasarkan barang dan jasa tidak ada salahnya menggunakan jalur kekuasaan (pejabat). Pada kasus demikian, yang dirugikan adalah konsumen karena biaya untuk memfasilitasi si pejabat akan dibebankan kembali pada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi.
Jika motif pemberian suap oleh perusahaan-perusahaan negara dan daerah adalah sebagai kewajiban maka hal tersebut paling tidak akan merugikan pemerintah dan konsumen sama dengan dalam kasus pemberian fee untuk memperlancar pemberian ijin.
Pemberantasan Korupsi
Vogl (1998) menyatakan bahwa selama ini baik dalam riset maupun penindakan hukum yang menyangkut korupsi dan suap lebih berat ke sisi permintaan (demand) yaitu pejabat pemerintah yang menerima suap. Sementara dari sisi penawaran (supply) yaitu perusahaan yang memberikan suap tidak banyak disentuh. Maka Vogl mengusulkan supaya riset dan penindakan hukum korupsi dan suap lebih seimbang antara sisi permintaan dan penawaran.
Maka memang bila pemberian suap itu dianggap sebagai sesuatu yang salah secara hukum maka penindakan harus dilakukan dari dua sisi yaitu sisi permintaan atau pejabat yang menerima suap dan sisi penawaran yaitu perusahaan yang memberikan suap.
Di samping masalah keseimbangan penindakan antara sisi permintaan dan penawaran, tampaknya perlu juga dipertimbangkan beratnya hukuman bagi mereka yang terlibat dalam korupsi atau suap. Dalam istilah ekonomi ”biaya” melakukan korupsi dan suap harus lebih besar dari ”manfaat” melakukan korupsi atau suap. Sebuah studi oleh Rimawan Pradipto (2010) menunjukkan bahwa selama tahun 2001-2009 kekayaan negara yang dikorupsi sebesar Rp 73,01 triliun. Tetapi nilai hukuman secara finansial yang dikemblikan kepada negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Jadi manffat melakukan korupsi atau suap lebih besar dari biayanya.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP UNDIP Semarang)
BANK PELAT MERAH HARUS MEMELOPORI PENURUNAN SUKU BUNGA
JAKARTA--MICOM: Bank BUMN seharusnya bisa mempelopori penurunan suku bunga kredit seiring menurunnya suku bunga acuan (BI Rate) dari 6,5 persen menjadi enam persen sehingga bank swasta juga akan menurunkan suku bunganya.
Apabila bank BUMN belum juga menurunkan suku bunga, bank-bank swasta belum akan menurunkan suku bunga kredit, karena mereka menunggu reaksi lebih dulu dari bank-bank "papan atas" tersebut.
BI menurunkan BI Rate dalam upaya mendorong ekonomi nasional dapat tumbuh lebih tinggi, karena melihat penyelesaian krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat masih tak menentu.
Selain itu, dengan turunnya suku bunga kredit, para pelaku usaha juga akan mengajukan kredit baru atau yang sudah akad kredit segera dicairkan, karena prospek pasar yang makin cerah.
Pemerintah juga diminta untuk dapat mengoptimalkan belanja modal agar dapat diserap oleh pelaku usaha sehingga sektor riil bisa bergerak lebih jauh.
"Saat ini, penurunan BI Rate belum diikuti perbankan dengan menurunkan suku bunga kredit. Oleh karena itu harusnya dipelopori oleh bank BUMN," kata ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM.
Nugroho memperkirakan belum adanya penurunan suku bunga kredit karena bank mengalami inefisiensi seperti dibutuhkannya biaya pembangunan gedung dan ATM yang kemudian anggaran tersebut dibebankan kepada nasabah. Oleh karena itu, lanjut Nugroho, seharusnya BI dapat memberikan sanksi kepada perbankan yang tidak menurunkan suku bunga kreditnya.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan peraturan BI, misalnya adanya ketentuan spread antara BI Rate dengan deposito serta antara BI Rate dengan suku bunga kredit.
"Tentukan spread dan jika bank tidak melakukannya, maka dapat dikenai sanksi. Ini bisa menjadi cara yang efektif untuk menurunkan suku bunga kredit," kata Nugroho. (Ant/OL-10)
Apabila bank BUMN belum juga menurunkan suku bunga, bank-bank swasta belum akan menurunkan suku bunga kredit, karena mereka menunggu reaksi lebih dulu dari bank-bank "papan atas" tersebut.
BI menurunkan BI Rate dalam upaya mendorong ekonomi nasional dapat tumbuh lebih tinggi, karena melihat penyelesaian krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat masih tak menentu.
Selain itu, dengan turunnya suku bunga kredit, para pelaku usaha juga akan mengajukan kredit baru atau yang sudah akad kredit segera dicairkan, karena prospek pasar yang makin cerah.
Pemerintah juga diminta untuk dapat mengoptimalkan belanja modal agar dapat diserap oleh pelaku usaha sehingga sektor riil bisa bergerak lebih jauh.
"Saat ini, penurunan BI Rate belum diikuti perbankan dengan menurunkan suku bunga kredit. Oleh karena itu harusnya dipelopori oleh bank BUMN," kata ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM.
Nugroho memperkirakan belum adanya penurunan suku bunga kredit karena bank mengalami inefisiensi seperti dibutuhkannya biaya pembangunan gedung dan ATM yang kemudian anggaran tersebut dibebankan kepada nasabah. Oleh karena itu, lanjut Nugroho, seharusnya BI dapat memberikan sanksi kepada perbankan yang tidak menurunkan suku bunga kreditnya.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan peraturan BI, misalnya adanya ketentuan spread antara BI Rate dengan deposito serta antara BI Rate dengan suku bunga kredit.
"Tentukan spread dan jika bank tidak melakukannya, maka dapat dikenai sanksi. Ini bisa menjadi cara yang efektif untuk menurunkan suku bunga kredit," kata Nugroho. (Ant/OL-10)
Kamis, 27 Oktober 2011
MEMPERSOALKAN KENAIKAN TARIF JALAN TOL
Oleh Nugroho SBM
Mulai 7 Oktober 2011, secara resmi pemerintah menaikkan tarif jalan tol untuk 14 (empat belas) ruas jalan tol. Ada yang berpendapat bahwa kenaikan tarif jalan tol tersebut tidak menimbulkan persoalan secara ekonomi karena sebagian besar pengguna tol adalah golongan menengah ke atas yang tergolong mampu secara ekonomi.
Pendapat tersebut memang ada benarnya, tetapi ada beberapa hal yang perlu dikritisi tentang kebijakan menaikkan tarif jalan tol ini. Pertama, meskipun kecil tetapi ada pengguna jalan tol yang merupakan golongan tidak mampu yaitu para penumpang angkutan umum. Bisanya kalau tarif tol dinaikkan maka tarif angkutan umum yang melewati tol juga dinaikkan. Akibatnya para penumpang angkutan umum yang bisa dipastikan mereka yang termasuk golongan pas-pasan bahkan tidak mampu secara ekonomi akan terkena dampak negatifnya. kalau menyangkut manusia, sebenarnya ukuran relatif (persentase) tidak bisa dijadikan ukuran. Maksudnya tidak bisa suatu kebijakan diambil hanya karena orang yang terkena dampak negatif hanya kecil secara persentase.
Dasar Menaikkan
Hal kedua yang perlu dikritisi tentang kebijakan menaikkan tarif jalan tol adalah apa dasar atau landasan hukum kebijakan menaikkan tarif jalan tol tersebut. Dasar hukum yang dipakai pemerintah untuk menaikkan tarif di 14 9empatbelas) ruas jalan tol ternyata adalah Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa tarif jalan tol akan disesuaikan (dinaikkan) setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan inflasi. Amar (pertimbangan) dari hak menaikkan tarif otomatis setiap dua tahun ini ternyata adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif yaitu suapaya swasta tertarik untuk menjadi operator infrastruktur dalam hal ini jalan tol di tengah keterbatasan dana pemerintah untuk membangun infrastruktur.
Ketentuan undang-undang ini menimbulkan beberapa masalah. Pertama, menimbulkan ketidakadilan di antara para operator infrastruktur. Hak menaikkan tarif secara otomatis tiap dua tahun sekali ternyata hanya dinikmati oleh operator infrastruktur yang lain seperti air minum, ketenagalistrikan, dan telekomunikasi. Kalau pertimbangan utama adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif agar swasta mau berpartisipasi menjadi operator infrastruktur maka hak yang sama harus juga diberikan bagi operator infrastruktur yang lain.
Masalah kedua yang ditimbulkan oleh ketentuan undang-undang tentang jalan adalah inflasi sebagai dasar untuk menaikkan tarif jalan tol secara otomatis setiap dua tahun. Operator telekomunikasi memang pernah menggunakan inflasi sebagai dasar pertimbangan menaikkan tarif tetapi bukan sebagai variabel tunggal. Variabel lain yang digunakan oleh pemerintah untuk pertimbangan kenaikan tarif operator telekomunikasi adalah variabel efisiensi. Artinya jika operator telekomunikasi tidak mencapai indeks efisiensi tertentu maka tidak berhak menaikkan tarif. Ke depannnya undang-undang tentang jalan perlu direvisi dengan menambahkan variabel efisiensi untuk menaikkan tarif jalan tol..
Manfaat bagi Konsumen
Hal ketiga yang perlu dikritisi dari kebijakan menaikkan tarif jalan tol adalah manfaat bagi konsumen pengguna jalan tol. Mestinya setiap kenaikkan tarif jalan tol harus diikuti dengan tambahan manfaat (benefit) bagi konsumen pengguna jalan tol. Tetapi kebijakan kenaikan tarif jalan tol kali ini tidak disertai keterangan pemerintah tentang manfaat tambahan yang akan dinikmati oleh konsumen pengguna jalan tol.
Sebenarnya tentang manfaat yang dapat dinikmati oleh pengguna jalan tol sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum Jalan Tol. Namun, beberapa hal dalam peraturan menteri PU tersebut tetaplah belum sempurna dan perlu disempurnakan di masa mendatang.
Contoh standar pelayanan minimum jalan tol dalam Peraturan Menteri PU tersebut adalah transaksi pembayaran di pintu tol untuk setiap transaksinya tidak boleh lebih dari 8 (delapan) detik. Tetapi ketentuan ini tidak diikuti dengan ketentuan tentang panjang antrean. Mestinya standar pelayanan minimum tentang batas waktu 8 (delapan) detik untuk setiap transaksi tersebut hus diikuti dengan ketentuan panjang antrean kendaraan maksimum 10 (sepuluh) kendaraan. Jika antrean sudah lebih dari 10 (sepuluh) kendaraan maka ada dua langkah yang bisa dilakukan operator yaitu membuka pintu tol tambahan atau mempercepat waktu pelayanan menjadi kurang dari delapan detik.
Contoh yang lain lagi adalah standar pelayanan minimal tentang penanganan darurat jika terjadi kecelakaan di jalan tol. Dalam standar pelayanan minimal hanya diatur tentang kepemilikan jumlah minimal ambulans oleh operator, ketersediaan mobil derek, serta keberadaan mobil patroli. Bagi pengguna jalan tol yang lebih penting adalah jaminan serta batas waktu maksimum yang dibutuhkan untuk mendapat penanganan darurat jika terjadi kecelakaan di jalan tol.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
Mulai 7 Oktober 2011, secara resmi pemerintah menaikkan tarif jalan tol untuk 14 (empat belas) ruas jalan tol. Ada yang berpendapat bahwa kenaikan tarif jalan tol tersebut tidak menimbulkan persoalan secara ekonomi karena sebagian besar pengguna tol adalah golongan menengah ke atas yang tergolong mampu secara ekonomi.
Pendapat tersebut memang ada benarnya, tetapi ada beberapa hal yang perlu dikritisi tentang kebijakan menaikkan tarif jalan tol ini. Pertama, meskipun kecil tetapi ada pengguna jalan tol yang merupakan golongan tidak mampu yaitu para penumpang angkutan umum. Bisanya kalau tarif tol dinaikkan maka tarif angkutan umum yang melewati tol juga dinaikkan. Akibatnya para penumpang angkutan umum yang bisa dipastikan mereka yang termasuk golongan pas-pasan bahkan tidak mampu secara ekonomi akan terkena dampak negatifnya. kalau menyangkut manusia, sebenarnya ukuran relatif (persentase) tidak bisa dijadikan ukuran. Maksudnya tidak bisa suatu kebijakan diambil hanya karena orang yang terkena dampak negatif hanya kecil secara persentase.
Dasar Menaikkan
Hal kedua yang perlu dikritisi tentang kebijakan menaikkan tarif jalan tol adalah apa dasar atau landasan hukum kebijakan menaikkan tarif jalan tol tersebut. Dasar hukum yang dipakai pemerintah untuk menaikkan tarif di 14 9empatbelas) ruas jalan tol ternyata adalah Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa tarif jalan tol akan disesuaikan (dinaikkan) setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan inflasi. Amar (pertimbangan) dari hak menaikkan tarif otomatis setiap dua tahun ini ternyata adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif yaitu suapaya swasta tertarik untuk menjadi operator infrastruktur dalam hal ini jalan tol di tengah keterbatasan dana pemerintah untuk membangun infrastruktur.
Ketentuan undang-undang ini menimbulkan beberapa masalah. Pertama, menimbulkan ketidakadilan di antara para operator infrastruktur. Hak menaikkan tarif secara otomatis tiap dua tahun sekali ternyata hanya dinikmati oleh operator infrastruktur yang lain seperti air minum, ketenagalistrikan, dan telekomunikasi. Kalau pertimbangan utama adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif agar swasta mau berpartisipasi menjadi operator infrastruktur maka hak yang sama harus juga diberikan bagi operator infrastruktur yang lain.
Masalah kedua yang ditimbulkan oleh ketentuan undang-undang tentang jalan adalah inflasi sebagai dasar untuk menaikkan tarif jalan tol secara otomatis setiap dua tahun. Operator telekomunikasi memang pernah menggunakan inflasi sebagai dasar pertimbangan menaikkan tarif tetapi bukan sebagai variabel tunggal. Variabel lain yang digunakan oleh pemerintah untuk pertimbangan kenaikan tarif operator telekomunikasi adalah variabel efisiensi. Artinya jika operator telekomunikasi tidak mencapai indeks efisiensi tertentu maka tidak berhak menaikkan tarif. Ke depannnya undang-undang tentang jalan perlu direvisi dengan menambahkan variabel efisiensi untuk menaikkan tarif jalan tol..
Manfaat bagi Konsumen
Hal ketiga yang perlu dikritisi dari kebijakan menaikkan tarif jalan tol adalah manfaat bagi konsumen pengguna jalan tol. Mestinya setiap kenaikkan tarif jalan tol harus diikuti dengan tambahan manfaat (benefit) bagi konsumen pengguna jalan tol. Tetapi kebijakan kenaikan tarif jalan tol kali ini tidak disertai keterangan pemerintah tentang manfaat tambahan yang akan dinikmati oleh konsumen pengguna jalan tol.
Sebenarnya tentang manfaat yang dapat dinikmati oleh pengguna jalan tol sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum Jalan Tol. Namun, beberapa hal dalam peraturan menteri PU tersebut tetaplah belum sempurna dan perlu disempurnakan di masa mendatang.
Contoh standar pelayanan minimum jalan tol dalam Peraturan Menteri PU tersebut adalah transaksi pembayaran di pintu tol untuk setiap transaksinya tidak boleh lebih dari 8 (delapan) detik. Tetapi ketentuan ini tidak diikuti dengan ketentuan tentang panjang antrean. Mestinya standar pelayanan minimum tentang batas waktu 8 (delapan) detik untuk setiap transaksi tersebut hus diikuti dengan ketentuan panjang antrean kendaraan maksimum 10 (sepuluh) kendaraan. Jika antrean sudah lebih dari 10 (sepuluh) kendaraan maka ada dua langkah yang bisa dilakukan operator yaitu membuka pintu tol tambahan atau mempercepat waktu pelayanan menjadi kurang dari delapan detik.
Contoh yang lain lagi adalah standar pelayanan minimal tentang penanganan darurat jika terjadi kecelakaan di jalan tol. Dalam standar pelayanan minimal hanya diatur tentang kepemilikan jumlah minimal ambulans oleh operator, ketersediaan mobil derek, serta keberadaan mobil patroli. Bagi pengguna jalan tol yang lebih penting adalah jaminan serta batas waktu maksimum yang dibutuhkan untuk mendapat penanganan darurat jika terjadi kecelakaan di jalan tol.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
Waspadai Pengaruh Tidak Langsung dari Krisis Eropa
Semarang- Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Nugroho SBM memprediksi pengaruh krisis ekonomi beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat terhadap Indonesia relatif kecil karena ekspor Indonesia ke kawasan itu hanya 23 persen.
“Ekspor Indonesia ke Eropa sekitar 13 persen, sedangkan ke AS 10 persen. Itu artinya 77 persen ekspor Indonesia ditujukan ke negara-negara lain,” katanya dalam seminar internasional “Situasi Makroekonomi Global” di Semarang, Selasa (11/10).
Sejumlah ekonom, kata Nugroho, juga memperkirakan pengaruh krisis ekonomi dua benua itu terhadap Indonesia relatif kecil, namun Indonesia tetap harus waspada atas pengaruh tidak langsungnya.
Pengaruh tidak langsung itu, katanya, antara lain krisis permodalan dan nilai tukar mata uang, seperti melorotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Penurunan nilai tukar rupiah ini mengkhawatirkan, sebab sekitar 40-60 persen bahan baku di Indonesia diperoleh dari impor,” kata Nugroho.
Selain itu, katanya, merosotnya IHSG menyebabkan banyak investor asing menjual saham untuk menukarkannya dengan dolar AS yang terus menguat.
Untuk meredam situasi ini, katanya, pemerintah harus membeli kembali Surat Utang Negara yang bernilai lebih dari Rp3,132 triliun dan menyediakan dana cadangan untuk mengakomodasi asumsi besaran-besaran perubahan makroekonomi dalam APBN.
“Perusahan-perusahaan milik negara juga dilarang menjual surat utang negara,” tambahnya.
Faktor fundamental ekonomi Indonesia lainnya dinilai Nugroho masih kuat, seperti cadangan devisa yang lebih dari 124,638 juta dolar AS. Angka sebesar ini, katanya, cukup untuk membiayai kebutuhan impor selama tujuh bulan.
Nugroho mengingatkan pemerintah agar mampu meyakinkan investor untuk melakukan investasi langsung jangka panjang, bukan berupa “uang panas” yang mudah “terbang” ketika situasi ekonomi dan moneter di belahan Bumi lain sedang bergejolak.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, katanya, merupakan pasar potensial yang layak dijadikan tempat investasi langsung jangka panjang. O ant
“Ekspor Indonesia ke Eropa sekitar 13 persen, sedangkan ke AS 10 persen. Itu artinya 77 persen ekspor Indonesia ditujukan ke negara-negara lain,” katanya dalam seminar internasional “Situasi Makroekonomi Global” di Semarang, Selasa (11/10).
Sejumlah ekonom, kata Nugroho, juga memperkirakan pengaruh krisis ekonomi dua benua itu terhadap Indonesia relatif kecil, namun Indonesia tetap harus waspada atas pengaruh tidak langsungnya.
Pengaruh tidak langsung itu, katanya, antara lain krisis permodalan dan nilai tukar mata uang, seperti melorotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Penurunan nilai tukar rupiah ini mengkhawatirkan, sebab sekitar 40-60 persen bahan baku di Indonesia diperoleh dari impor,” kata Nugroho.
Selain itu, katanya, merosotnya IHSG menyebabkan banyak investor asing menjual saham untuk menukarkannya dengan dolar AS yang terus menguat.
Untuk meredam situasi ini, katanya, pemerintah harus membeli kembali Surat Utang Negara yang bernilai lebih dari Rp3,132 triliun dan menyediakan dana cadangan untuk mengakomodasi asumsi besaran-besaran perubahan makroekonomi dalam APBN.
“Perusahan-perusahaan milik negara juga dilarang menjual surat utang negara,” tambahnya.
Faktor fundamental ekonomi Indonesia lainnya dinilai Nugroho masih kuat, seperti cadangan devisa yang lebih dari 124,638 juta dolar AS. Angka sebesar ini, katanya, cukup untuk membiayai kebutuhan impor selama tujuh bulan.
Nugroho mengingatkan pemerintah agar mampu meyakinkan investor untuk melakukan investasi langsung jangka panjang, bukan berupa “uang panas” yang mudah “terbang” ketika situasi ekonomi dan moneter di belahan Bumi lain sedang bergejolak.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, katanya, merupakan pasar potensial yang layak dijadikan tempat investasi langsung jangka panjang. O ant
Senin, 19 September 2011
SAATNYA BI TURUNKAN SUKU BUNGA
ANTARA - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menyatakan sekarang ini merupakan momentum yang tepat bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan atau Sertifikat Bank Indonesia (BI Rate) karena nilai rupiah terus menguat.
"Tanpa mematok SBI tinggi seperti sekarang ini yang mencapai 6,75 persen, rupiah tetap akan menguat. BI setidaknya bisa menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin menjadi 6,25 persen," katanya di Semarang, Selasa, ketika diminta pendapatnya mengenai suku bunga acuan.
Krisis finansial yang melanda Eropa dan melambatnya perekonomian Amerika Serikat, menurut Nugroho, menyebabkan modal mengalir deras ke Asia, termasuk ke Indonesia, yang mengalami pertumbunan tinggi bersama China dan India.
Dosen Fakultas Ekonomi Undip itu mengemukakan, pematokan bunga tinggi malah hanya mendorong aliran uang dari luar negeri ditempatkan dalam investasi jangka pendek, seperti di pasar modal dan deposito yang lebih aman, namun menjanjikan keuntungan agak tinggi.
"Di Eropa dan Jepang, misalnya, bunga deposito nyaris nol persen, namun di Indonesia perbankan rata-rata memberi 4-5 persen per tahun. Kalau punya puluhan miliar rupiah, bunganya lebih tinggi lagi," katanya.
Ia mengkhawatirkan aliran dana yang masuk ke Indonesia dibenamkan dalam investasi jangka pendek, seperti di bursa saham atau deposito, padahal negeri ini membutuhkan investasi langsung yang besar untuk menggerakkan sektor riil demi memacu pertumbuhan.
Menurut dia, sektor riil bisa tumbuh cepat bila memiliki dukungan infrastruktur memadai, birokrasi yang efisien, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
"Satu hal lagi, bila bunga kredit rendah sehingga mampu menciptakan daya saing usaha," katanya.
Akan tetapi, kata Nugroho, yang terjadi saat ini Indonesia masih bergumul dengan infrastruktur yang karut-marut, birokrasi belum efisien, dan korupsi yang melanda di berbagai sektor.
"Ketiga hal tersebut sangat membebani daya saing dunia bisnis. Tiga hal tersebut ditambah suku bunga tinggi kian meredupkan daya saing," kata Nugroho.
Ia menambahkan bank-bank pemerintah harus menjadi pelopor penurunan suku bunga pinjaman jika BI menurunkan SBI. Pengalaman selama ini, kata Nugroho, bank-bank BUMN malah enggan menurunkan suku bunga meski BI sudah menurunkan bunga acuan.
"Bank-bank BUMN kan ditarget setor keuntungan ke kas negara (APBN). Jadi, sepanjang mereka masih bisa menjual kredit dengan bunga tinggi, mereka tidak selamanya mengikuti penurunan SBI. Mereka (bank-bank BUMN) sebagai entitas binis juga dituntut meraih keuntungan tinggi," katanya.
Akan tetapi, kata Nugroho, penurunan bunga acuan oleh BI setidaknya akan memaksa perbankan meninjau ulang bunga kredit yang diberlakukan saat ini, yakni sekitar 13-14 persen/tahun (bunga efektif).
Pewarta : Achmad Zaenal
Penyunting : M Hari Atmoko
"Tanpa mematok SBI tinggi seperti sekarang ini yang mencapai 6,75 persen, rupiah tetap akan menguat. BI setidaknya bisa menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin menjadi 6,25 persen," katanya di Semarang, Selasa, ketika diminta pendapatnya mengenai suku bunga acuan.
Krisis finansial yang melanda Eropa dan melambatnya perekonomian Amerika Serikat, menurut Nugroho, menyebabkan modal mengalir deras ke Asia, termasuk ke Indonesia, yang mengalami pertumbunan tinggi bersama China dan India.
Dosen Fakultas Ekonomi Undip itu mengemukakan, pematokan bunga tinggi malah hanya mendorong aliran uang dari luar negeri ditempatkan dalam investasi jangka pendek, seperti di pasar modal dan deposito yang lebih aman, namun menjanjikan keuntungan agak tinggi.
"Di Eropa dan Jepang, misalnya, bunga deposito nyaris nol persen, namun di Indonesia perbankan rata-rata memberi 4-5 persen per tahun. Kalau punya puluhan miliar rupiah, bunganya lebih tinggi lagi," katanya.
Ia mengkhawatirkan aliran dana yang masuk ke Indonesia dibenamkan dalam investasi jangka pendek, seperti di bursa saham atau deposito, padahal negeri ini membutuhkan investasi langsung yang besar untuk menggerakkan sektor riil demi memacu pertumbuhan.
Menurut dia, sektor riil bisa tumbuh cepat bila memiliki dukungan infrastruktur memadai, birokrasi yang efisien, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
"Satu hal lagi, bila bunga kredit rendah sehingga mampu menciptakan daya saing usaha," katanya.
Akan tetapi, kata Nugroho, yang terjadi saat ini Indonesia masih bergumul dengan infrastruktur yang karut-marut, birokrasi belum efisien, dan korupsi yang melanda di berbagai sektor.
"Ketiga hal tersebut sangat membebani daya saing dunia bisnis. Tiga hal tersebut ditambah suku bunga tinggi kian meredupkan daya saing," kata Nugroho.
Ia menambahkan bank-bank pemerintah harus menjadi pelopor penurunan suku bunga pinjaman jika BI menurunkan SBI. Pengalaman selama ini, kata Nugroho, bank-bank BUMN malah enggan menurunkan suku bunga meski BI sudah menurunkan bunga acuan.
"Bank-bank BUMN kan ditarget setor keuntungan ke kas negara (APBN). Jadi, sepanjang mereka masih bisa menjual kredit dengan bunga tinggi, mereka tidak selamanya mengikuti penurunan SBI. Mereka (bank-bank BUMN) sebagai entitas binis juga dituntut meraih keuntungan tinggi," katanya.
Akan tetapi, kata Nugroho, penurunan bunga acuan oleh BI setidaknya akan memaksa perbankan meninjau ulang bunga kredit yang diberlakukan saat ini, yakni sekitar 13-14 persen/tahun (bunga efektif).
Pewarta : Achmad Zaenal
Penyunting : M Hari Atmoko
MEMAHAMI KONFLIK DI INDONESIA
Oleh Nugroho SBM
Indonesia kembali dilanda konflik. Ada 2 (dua) konflik yang masih hangat diberitakan oleh media massa yaitu di Kabupaten Kendal dan Ambon. Khusus untuk konflik di Ambon, ini adalah konflik yang kedua setelah konflik besar-besaran tahun 1989 an. Bila dilihat dari sejarah maka yang sering terjadi di Indonesia adalah konflik yang pemicunya adalah SARA atau Suku, Agama, Ras, dan Aliran.
Ada 2 (dua) teori sosial yang bisa menjelaskan terjadinya konflik di Indonesia. Teori pertama, disebut sebagai teori kultural. Menurut teori ini, konflik terjadi karena tiap suku, agama, ras, dan aliran mempunyai sistem kepercayaan atau dogma yang memang berbeda. Dogma tersebut seringkali diterima tanpa reserve dari para penganutnya. Bila antar suku, agama, ras, dan aliran tersebut bergesekan dalam suatu kasus maka akan menimbulkan konflik.
Teori kedua untuk menerangkan konflik adalah teori struktural. Menurut teori ini, SARA sebagai pemicu konflik hanya permukaannya saja. Ada faktor yang lebih mendasar dari SARA. Beberapa faktor mendasar itu adalah: pertama, adanya kesenjangan ekonomi antar anggota masyarakat yang dikelompokkan berdasarkan SARA. Kesenjangan ekonomi seringkali menciptakan kecemburuan sosial yang mudah berubah menjadi kekerasan atau konflik secara fisik.
Faktor kedua adalah adanya mobilisasi sosial yang terlalu cepat dari kelompok atau elemen masyarakat tertentu dibanding kelompok atau elemen masyarakat yang lain. Misalnya saja adanya kelompok pendatang dari etnis tertentu di suatu daerah yang ternyata bisa mencapai kemajuan ekonomi lebih cepat dibanding etnis asli yang sudah lama tinggal di daerah tersebut.
Faktor ketiga adalah adanya konspirasi tingkat tinggi antar penguasa militer maupun politik. Konspirasi tersebut menggunakan cara ”mengacak-acak” daerah-daerah tertentu yang rawan konflik baik untuk tujuan menaikkan daya tawar politik maupun untuk karir militer (oknum militer sengaja menciptakan konflik kemudian meredamnya sendiri yang membuahkan kenaikan pangkat atau karir militernya). Contoh lain konspirasi ini adalah fenomena pemekaran daerah baru atas dasar etnis. Pemekaran daerah baru atas dasar pengelompokan etnis ini secara potensial bisa menimbulkan konflik karena adanya etnis minoritas di daerah pemekaran baru tersebut. Di smping itu pemekaran daerah baru juga akan menjadi beban bagi APBN karena tambahan DAU dan dana Bagi Hasil bagi daerah pemekaran baru. Bila dilihat secara mendalam maka pemekaran itu ternyata salah satunya adalah hasil konspirasi mantan pejabat yang ingin menjabat lagi di daerah pemekaran baru.
Faktor keempat adalah adanya relasi fungsional antar pemerintah pusat dengan daerah (Kabupaten dan kota) yang tidak harmonis. Meskipun otonomi daerah sudah dilaksanakan yang mendorong daerah (Kabupaten dan Kota) bisa merumuskan sendiri kebijakan pembangunannya dan juga subsidi bagi daerah yang makin besar dengan Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil, tetapi hubungan antara pemerintah pusat-daerah masih tidak harmonis. Banyak pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) yang sering memaksakan kehendak dengan melahirkan perda-perda yang tidak sesuai dengan peraturan atau undang-undang yang dijaga oleh pemerintah pusat. Perda-perda tersebut dikeluarkan dengan alasan kekhasan daerah atas nama otonomi daerah. Lahirnya perda-perda yang ”melenceng” tersebut tentu menimbulkan rasa tidak aman bagi unsur masyarakat yang berseberangan dengan perda. Hal ini bisa menimbulkan gesekan atau konflik.
Mestinya pemerintah pusat lebih proaktif untuk menjalin kerjasama yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota sehingga tidak lahir perda-perda yang kontra dengan peraturan atau undang-undang secara nasional yang dijaga oleh pemerintah pusat. Selama ini yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah tindakan kuratif berupa pembatalan perda-perda yang bermasalah. Meskipun tindakan tersebut benar, tetapi alangkah lebih baiknya tindakan preventif yang lebih diutamakan yaitu menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota seperti telah diuraikan.
Kebijakan
Baik teori kultural maupun teori sturuktural tampaknya bisa menjelaskan konflik yang masih sering terjadi di Indonesia. Maka bisa ditarik beberapa implikasi kebijakan atas dasar kedua teori untuk meredam konflik yang terjadi. Pertama, membangun nasionalisme Indonesia. Parakitri Tahi Simbolon pernah menyatakan bahwa Bangsa Indonesia adalah ”sebuah proyek yang belum selesai”. Artinya untuk mengintegrasikan unsur-unsur SARA di Indonesia menjadi bangsa yang tanpa memandang SARA belumlah selesai sampai sekarang. Banyak cara bisa dilakukan untuk hal ini. Dulu Bung Karno memakai musuh bersama dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Sekarang ini cara yang bisa dilakukan adalah tidak membesar-nesarkan perbedaan atas dasar SARA baik dalam implementasi kebijakan maupun dalam pernyataan para pejabat.
Kedua, kebijakan pembangunan di bidang ekonomi hendknya tidak menimbulkan ketimpangan ekonomi antar SARA. Misalnya saja pemerintah harus lebih mendorong etnis atau pengusaha pribumi untuk lebih maju dengan berbagai fasilitas. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan di Malaysia.
Ketiga, tindakan pemerintah untuk membatasi pemekaran daerah baru termasuk yang dibentuk atas dasar kesamaan etnis sudah benar dan perlu dilanjutkan.
Keempat, tindakan pemerintah pusat untuk membatalkan perda-perda bermasalah yang potensial memicu konflik juga sudah benar. Hanya perlu dibarengi dengan tindakan preventif berupa sosialisasi dari pemerintah pusat dan juga upaya-upaya lain untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis antar pemerintah pusat dengan daerah sehingga tidak lahir perda-perda bermasalah yang memicu konflik.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
Indonesia kembali dilanda konflik. Ada 2 (dua) konflik yang masih hangat diberitakan oleh media massa yaitu di Kabupaten Kendal dan Ambon. Khusus untuk konflik di Ambon, ini adalah konflik yang kedua setelah konflik besar-besaran tahun 1989 an. Bila dilihat dari sejarah maka yang sering terjadi di Indonesia adalah konflik yang pemicunya adalah SARA atau Suku, Agama, Ras, dan Aliran.
Ada 2 (dua) teori sosial yang bisa menjelaskan terjadinya konflik di Indonesia. Teori pertama, disebut sebagai teori kultural. Menurut teori ini, konflik terjadi karena tiap suku, agama, ras, dan aliran mempunyai sistem kepercayaan atau dogma yang memang berbeda. Dogma tersebut seringkali diterima tanpa reserve dari para penganutnya. Bila antar suku, agama, ras, dan aliran tersebut bergesekan dalam suatu kasus maka akan menimbulkan konflik.
Teori kedua untuk menerangkan konflik adalah teori struktural. Menurut teori ini, SARA sebagai pemicu konflik hanya permukaannya saja. Ada faktor yang lebih mendasar dari SARA. Beberapa faktor mendasar itu adalah: pertama, adanya kesenjangan ekonomi antar anggota masyarakat yang dikelompokkan berdasarkan SARA. Kesenjangan ekonomi seringkali menciptakan kecemburuan sosial yang mudah berubah menjadi kekerasan atau konflik secara fisik.
Faktor kedua adalah adanya mobilisasi sosial yang terlalu cepat dari kelompok atau elemen masyarakat tertentu dibanding kelompok atau elemen masyarakat yang lain. Misalnya saja adanya kelompok pendatang dari etnis tertentu di suatu daerah yang ternyata bisa mencapai kemajuan ekonomi lebih cepat dibanding etnis asli yang sudah lama tinggal di daerah tersebut.
Faktor ketiga adalah adanya konspirasi tingkat tinggi antar penguasa militer maupun politik. Konspirasi tersebut menggunakan cara ”mengacak-acak” daerah-daerah tertentu yang rawan konflik baik untuk tujuan menaikkan daya tawar politik maupun untuk karir militer (oknum militer sengaja menciptakan konflik kemudian meredamnya sendiri yang membuahkan kenaikan pangkat atau karir militernya). Contoh lain konspirasi ini adalah fenomena pemekaran daerah baru atas dasar etnis. Pemekaran daerah baru atas dasar pengelompokan etnis ini secara potensial bisa menimbulkan konflik karena adanya etnis minoritas di daerah pemekaran baru tersebut. Di smping itu pemekaran daerah baru juga akan menjadi beban bagi APBN karena tambahan DAU dan dana Bagi Hasil bagi daerah pemekaran baru. Bila dilihat secara mendalam maka pemekaran itu ternyata salah satunya adalah hasil konspirasi mantan pejabat yang ingin menjabat lagi di daerah pemekaran baru.
Faktor keempat adalah adanya relasi fungsional antar pemerintah pusat dengan daerah (Kabupaten dan kota) yang tidak harmonis. Meskipun otonomi daerah sudah dilaksanakan yang mendorong daerah (Kabupaten dan Kota) bisa merumuskan sendiri kebijakan pembangunannya dan juga subsidi bagi daerah yang makin besar dengan Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil, tetapi hubungan antara pemerintah pusat-daerah masih tidak harmonis. Banyak pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) yang sering memaksakan kehendak dengan melahirkan perda-perda yang tidak sesuai dengan peraturan atau undang-undang yang dijaga oleh pemerintah pusat. Perda-perda tersebut dikeluarkan dengan alasan kekhasan daerah atas nama otonomi daerah. Lahirnya perda-perda yang ”melenceng” tersebut tentu menimbulkan rasa tidak aman bagi unsur masyarakat yang berseberangan dengan perda. Hal ini bisa menimbulkan gesekan atau konflik.
Mestinya pemerintah pusat lebih proaktif untuk menjalin kerjasama yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota sehingga tidak lahir perda-perda yang kontra dengan peraturan atau undang-undang secara nasional yang dijaga oleh pemerintah pusat. Selama ini yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah tindakan kuratif berupa pembatalan perda-perda yang bermasalah. Meskipun tindakan tersebut benar, tetapi alangkah lebih baiknya tindakan preventif yang lebih diutamakan yaitu menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan pemerintah kabupaten dan kota seperti telah diuraikan.
Kebijakan
Baik teori kultural maupun teori sturuktural tampaknya bisa menjelaskan konflik yang masih sering terjadi di Indonesia. Maka bisa ditarik beberapa implikasi kebijakan atas dasar kedua teori untuk meredam konflik yang terjadi. Pertama, membangun nasionalisme Indonesia. Parakitri Tahi Simbolon pernah menyatakan bahwa Bangsa Indonesia adalah ”sebuah proyek yang belum selesai”. Artinya untuk mengintegrasikan unsur-unsur SARA di Indonesia menjadi bangsa yang tanpa memandang SARA belumlah selesai sampai sekarang. Banyak cara bisa dilakukan untuk hal ini. Dulu Bung Karno memakai musuh bersama dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Sekarang ini cara yang bisa dilakukan adalah tidak membesar-nesarkan perbedaan atas dasar SARA baik dalam implementasi kebijakan maupun dalam pernyataan para pejabat.
Kedua, kebijakan pembangunan di bidang ekonomi hendknya tidak menimbulkan ketimpangan ekonomi antar SARA. Misalnya saja pemerintah harus lebih mendorong etnis atau pengusaha pribumi untuk lebih maju dengan berbagai fasilitas. Kebijakan seperti ini pernah dilakukan di Malaysia.
Ketiga, tindakan pemerintah untuk membatasi pemekaran daerah baru termasuk yang dibentuk atas dasar kesamaan etnis sudah benar dan perlu dilanjutkan.
Keempat, tindakan pemerintah pusat untuk membatalkan perda-perda bermasalah yang potensial memicu konflik juga sudah benar. Hanya perlu dibarengi dengan tindakan preventif berupa sosialisasi dari pemerintah pusat dan juga upaya-upaya lain untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis antar pemerintah pusat dengan daerah sehingga tidak lahir perda-perda bermasalah yang memicu konflik.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
MEWASPADAI KREDIT KONSUMSI
Oleh Nugroho SBM
Direktur pengawasan dan Penelitian BI, Wimboh Santosa, menyatakan bahwa Bank Indonesia tengah mewaspadai laju pertumbuhan kredit konsumsi dan meminta perbankan untuk segera mengalihkan fokusnya ke kredit produktif. Hal itu dilandasi data bahwa pertumbuhan kredit konsumsi rata-rata tumbuh per tahunnya 23,3 persen. Hal itu mendekati pertumbuhan kredit modal kerja sebesar 23,8 persen dan justru melampaui pertumbuhan kredit investasi sebesar 20,8 persen. Sedangkan kredit bermasalah di sektor konsumsi hingga saat ini mencapai 2,7 persen dari total kredit. (Rubrik Ekonomi dan Bisnis Suara Merdeka 27 Agustus 2011).
Kekhawatiran BI tersebut sangat beralasan karena dampak buruk potensial dari kredit konsumsi yang terlalu besar. Pertama, kegiatan konsumsi dalam ranah kebijakan ekonomi tidak akan banyak menstimulasi ekonomi. Dalam istilah kebijakan, kegiatan konsumsi tidak akan menimbulkan dampak pelipatgandaan (multiplier effect) yang akan membawa perekonmian ke kondisi yang lebih baik. Hal ini berbeda dengan kegiatan investasi. Jika ada investasi baru di suatu bidang usaha maka akan tercipta kesempatan kerja baru sehingga pendapatan masyarakat akan naik. Di samping itu juga akan tercipta kegiatan-kegiatan ekonomi baru yang terkait dengan investasi baru tersebut. Demikian seterusnya. Inilah yang disebut sebagai dampak pelipatgandaan atau multiplier effect.
Kedua, kredit konsumsi jika tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya kredit macet. Jika hal itu terjadi maka akan menyebabkan institusi keuangan terutama bank yang memberikan kredit juga akan mengalami kesulitan. Jika bank mengalami kesulitan maka hal itu akan mempengaruhi para deposan yang menyimpan uangnya di sana dan itu akan menyebabkan para deposan menarik uangnya secara beramai-ramai. Hal ini akan menimbulkan krisis lebih besar. Kita bisa menimba pengalaman dari krisis di Indonesia tahun 1997 yang antara lain juga dipicu oleh penarikan dana besar-besaran dari para deposan akibat kepanikan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang begitu tajam.
Ketiga, seringkali kredit konsumsi juga digunakan untuk kegiatan spekulasi. Kegiatan spekulasi tersebut biasanya dilakukan di sektor perumahan atau properti. Seperti diketahui kredit konsumsi baik oleh bank maupun lembaga keuangan lainnya dibagi dalam tiga jenis yaitu kredit di sektor properti atau perumahan, kredit kendaraan bermotor, dan kredit multiguna. Sampai saat ini berdasarkan data BI komposisi kredit konsumsi adalah kredit perumahan atau properti Rp 17,9 triliun, kredit multiguna Rp 14,5 triliun, dan kredit kendaraan bermotor Rp 12,6 triliun.
Pada umumnya kredit perumahan digunakan untuk membeli rumah dengan alasan bukan karena kebutuhan tetapi karena rumah tersebut akan dijual lagi. Jadi untuk kegiatan spekulasi. Biasanya sebelum kredit perumahan tersebut lunas, si pengambil kredit yang pertama sudah melakukan penjualan rumahnya dengan melakukan oper kredit. Yang sering terjadi, penjualan rumah secara oper kredit tersebut tidak berjalan sesuai rencana atau tidak laku sehingga akhirnya kredit tersebut macet. Krisis keuangan yang terjadi di AS tahun 2007, sebenarnya juga dipicu oleh permasalahan kredit di sektor perumahan.
Sebab
Ada tiga sebab mengapa kredit konsumsi di Indonesia meningkat dengan cepat. Pertama, terjadinya kenaikan kelas menengah yang sifatnya konsumtif di Indonesia. Dalam laporan kuartal pertama tentang ekonomi Indonesia tahun 2011 (Indonesian Economy Quarterly 2011) dengan mengambil judul ”2008 Again ?” yang telah diseminarkan di Jakarta beberapa waktu lalu, Bank Dunia menyatakan telah terjadi kenaikan penduduk yang masuk dalam golongan kelas menengah.
Batasan golongan menengah yang digunakan oleh Bank Dunia adalah mereka yang pengeluaran per harinya 2 sampai 20 dolar AS per orang per hari. Dengan batasan seperti itu, Bank Dunia mencatat telah terjadi kenaikan golongan menengah dari 81 juta jiwa pada tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada tahun 2010. Kenaikan golongan menengah Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010 tersebut rata-rata adalah 7 juta per tahunnya.
Dengan menggunakan batasan yang sama, Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank atau ADB) mencatat kenaikan kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang atau 25 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 1999 menjadi 93 juta orang atau 43 persen dari total penduduk Indonesia di tahun 2010.
Memang biasanya kelas menengah di seluruh dunia sifatnya adalah inovatif dan produktif sehingga bisa menjadi agen perubahan. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kelas menengah ini justru sifatnya konsumtif. Salah satu indikatornya adalah jika ada pertunjukan musik yang harga karcisnya Rp 500.000,- sampai Rp 1 juta – yang merupakan batas kemampuan daya beli kelas menengah - langsung habis diserbu. Tetapi di sisi yang lain jumlah wirausahawan di Indonesia yang kreatif dan produktif tidak bertambah dengan signifikan.
Sebab kedua mengapa kredit konsumsi tumbuh dengan pesat adalah karena persyaratan administrasinya yang sangat mudah. Syarat administrasi untuk kredit kendaraan bermotor misalnya cukup hanya fotocopy KTP dan mengisi formulir tanpa ada survai tentang pemimjam. Uang muka yang dituntut pun untuk semua jenis kredit konsumi sangatlah ringan.
Sebab ketiga, para pemberi kredit konsumsi (bank dan non-bank) juga menggunakan modus yang aman dengan cara bekerjasama dengan instansi di mana sang debitur bekerja untuk memotong gaji sang debitur sebagai cicilan atas kreditnya. Dengan cara demikian kredit pasti kembali.
Kebijakan
Lalu kebijakan apa yang bisa dilakukan agar kredit konsumsi tidak tumbuh terlalu cepat dan kalaupun tumbuh tidak menyebabkan masalah? Pertama, bagaimanpun urgensi pendidikan karakter terutama penekanan bahwa gaya hidup bekerja keras, inovatif, produktif adalah lebih terhormat perlu terus diajarkan dalam berbagai tingkat pendidikan.
Di berbagai sekolah menengah bahkan dasar telah diajarkan muatan lokal berupa pendidikan ketrampilan praktis untuk berwirausaha. Di Fakultas Ekonomi Undip sendiri ada mata kuliah kewiraswastaan. Dalam mata kuliah tersebut ada teori dan praktek. Pada sesi praktek, mahasiswa dibagi dalam kelompok kemudian diberi modal untuk memulai suatu usaha. Pada akhir kuliah modal harus dikembalikan dan dilaporkan berapa keuntungan yang diperoleh. Banyak mahasiswa yang kemudian melanjutkan usaha tersebut dan mengembangkannya. Dengan cara ini diharapkan ada jiwa kewiraswastaan yang tertanam sehingga pertambahan kelas menengah yang cukup cepat di Indonesia tidak menjadi kelas yang konsumtif tetapi kelas yang produktif.
Kebijakan kedua, BI seyogyanya menetapkan kebijakan perkreditan yang ketat di kredit konsumsi. Salah satunya adalah penetapan batas minimum uang muka untuk kredit konsumsi. Kesepakatan yang ada di kalangan profesional keuangan, batas minimum uang muka yang aman untuk kredit adalah 30 persen dari nilai kredit.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
Direktur pengawasan dan Penelitian BI, Wimboh Santosa, menyatakan bahwa Bank Indonesia tengah mewaspadai laju pertumbuhan kredit konsumsi dan meminta perbankan untuk segera mengalihkan fokusnya ke kredit produktif. Hal itu dilandasi data bahwa pertumbuhan kredit konsumsi rata-rata tumbuh per tahunnya 23,3 persen. Hal itu mendekati pertumbuhan kredit modal kerja sebesar 23,8 persen dan justru melampaui pertumbuhan kredit investasi sebesar 20,8 persen. Sedangkan kredit bermasalah di sektor konsumsi hingga saat ini mencapai 2,7 persen dari total kredit. (Rubrik Ekonomi dan Bisnis Suara Merdeka 27 Agustus 2011).
Kekhawatiran BI tersebut sangat beralasan karena dampak buruk potensial dari kredit konsumsi yang terlalu besar. Pertama, kegiatan konsumsi dalam ranah kebijakan ekonomi tidak akan banyak menstimulasi ekonomi. Dalam istilah kebijakan, kegiatan konsumsi tidak akan menimbulkan dampak pelipatgandaan (multiplier effect) yang akan membawa perekonmian ke kondisi yang lebih baik. Hal ini berbeda dengan kegiatan investasi. Jika ada investasi baru di suatu bidang usaha maka akan tercipta kesempatan kerja baru sehingga pendapatan masyarakat akan naik. Di samping itu juga akan tercipta kegiatan-kegiatan ekonomi baru yang terkait dengan investasi baru tersebut. Demikian seterusnya. Inilah yang disebut sebagai dampak pelipatgandaan atau multiplier effect.
Kedua, kredit konsumsi jika tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya kredit macet. Jika hal itu terjadi maka akan menyebabkan institusi keuangan terutama bank yang memberikan kredit juga akan mengalami kesulitan. Jika bank mengalami kesulitan maka hal itu akan mempengaruhi para deposan yang menyimpan uangnya di sana dan itu akan menyebabkan para deposan menarik uangnya secara beramai-ramai. Hal ini akan menimbulkan krisis lebih besar. Kita bisa menimba pengalaman dari krisis di Indonesia tahun 1997 yang antara lain juga dipicu oleh penarikan dana besar-besaran dari para deposan akibat kepanikan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang begitu tajam.
Ketiga, seringkali kredit konsumsi juga digunakan untuk kegiatan spekulasi. Kegiatan spekulasi tersebut biasanya dilakukan di sektor perumahan atau properti. Seperti diketahui kredit konsumsi baik oleh bank maupun lembaga keuangan lainnya dibagi dalam tiga jenis yaitu kredit di sektor properti atau perumahan, kredit kendaraan bermotor, dan kredit multiguna. Sampai saat ini berdasarkan data BI komposisi kredit konsumsi adalah kredit perumahan atau properti Rp 17,9 triliun, kredit multiguna Rp 14,5 triliun, dan kredit kendaraan bermotor Rp 12,6 triliun.
Pada umumnya kredit perumahan digunakan untuk membeli rumah dengan alasan bukan karena kebutuhan tetapi karena rumah tersebut akan dijual lagi. Jadi untuk kegiatan spekulasi. Biasanya sebelum kredit perumahan tersebut lunas, si pengambil kredit yang pertama sudah melakukan penjualan rumahnya dengan melakukan oper kredit. Yang sering terjadi, penjualan rumah secara oper kredit tersebut tidak berjalan sesuai rencana atau tidak laku sehingga akhirnya kredit tersebut macet. Krisis keuangan yang terjadi di AS tahun 2007, sebenarnya juga dipicu oleh permasalahan kredit di sektor perumahan.
Sebab
Ada tiga sebab mengapa kredit konsumsi di Indonesia meningkat dengan cepat. Pertama, terjadinya kenaikan kelas menengah yang sifatnya konsumtif di Indonesia. Dalam laporan kuartal pertama tentang ekonomi Indonesia tahun 2011 (Indonesian Economy Quarterly 2011) dengan mengambil judul ”2008 Again ?” yang telah diseminarkan di Jakarta beberapa waktu lalu, Bank Dunia menyatakan telah terjadi kenaikan penduduk yang masuk dalam golongan kelas menengah.
Batasan golongan menengah yang digunakan oleh Bank Dunia adalah mereka yang pengeluaran per harinya 2 sampai 20 dolar AS per orang per hari. Dengan batasan seperti itu, Bank Dunia mencatat telah terjadi kenaikan golongan menengah dari 81 juta jiwa pada tahun 2003 menjadi 131 juta jiwa pada tahun 2010. Kenaikan golongan menengah Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010 tersebut rata-rata adalah 7 juta per tahunnya.
Dengan menggunakan batasan yang sama, Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank atau ADB) mencatat kenaikan kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang atau 25 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 1999 menjadi 93 juta orang atau 43 persen dari total penduduk Indonesia di tahun 2010.
Memang biasanya kelas menengah di seluruh dunia sifatnya adalah inovatif dan produktif sehingga bisa menjadi agen perubahan. Tetapi yang terjadi di Indonesia, kelas menengah ini justru sifatnya konsumtif. Salah satu indikatornya adalah jika ada pertunjukan musik yang harga karcisnya Rp 500.000,- sampai Rp 1 juta – yang merupakan batas kemampuan daya beli kelas menengah - langsung habis diserbu. Tetapi di sisi yang lain jumlah wirausahawan di Indonesia yang kreatif dan produktif tidak bertambah dengan signifikan.
Sebab kedua mengapa kredit konsumsi tumbuh dengan pesat adalah karena persyaratan administrasinya yang sangat mudah. Syarat administrasi untuk kredit kendaraan bermotor misalnya cukup hanya fotocopy KTP dan mengisi formulir tanpa ada survai tentang pemimjam. Uang muka yang dituntut pun untuk semua jenis kredit konsumi sangatlah ringan.
Sebab ketiga, para pemberi kredit konsumsi (bank dan non-bank) juga menggunakan modus yang aman dengan cara bekerjasama dengan instansi di mana sang debitur bekerja untuk memotong gaji sang debitur sebagai cicilan atas kreditnya. Dengan cara demikian kredit pasti kembali.
Kebijakan
Lalu kebijakan apa yang bisa dilakukan agar kredit konsumsi tidak tumbuh terlalu cepat dan kalaupun tumbuh tidak menyebabkan masalah? Pertama, bagaimanpun urgensi pendidikan karakter terutama penekanan bahwa gaya hidup bekerja keras, inovatif, produktif adalah lebih terhormat perlu terus diajarkan dalam berbagai tingkat pendidikan.
Di berbagai sekolah menengah bahkan dasar telah diajarkan muatan lokal berupa pendidikan ketrampilan praktis untuk berwirausaha. Di Fakultas Ekonomi Undip sendiri ada mata kuliah kewiraswastaan. Dalam mata kuliah tersebut ada teori dan praktek. Pada sesi praktek, mahasiswa dibagi dalam kelompok kemudian diberi modal untuk memulai suatu usaha. Pada akhir kuliah modal harus dikembalikan dan dilaporkan berapa keuntungan yang diperoleh. Banyak mahasiswa yang kemudian melanjutkan usaha tersebut dan mengembangkannya. Dengan cara ini diharapkan ada jiwa kewiraswastaan yang tertanam sehingga pertambahan kelas menengah yang cukup cepat di Indonesia tidak menjadi kelas yang konsumtif tetapi kelas yang produktif.
Kebijakan kedua, BI seyogyanya menetapkan kebijakan perkreditan yang ketat di kredit konsumsi. Salah satunya adalah penetapan batas minimum uang muka untuk kredit konsumsi. Kesepakatan yang ada di kalangan profesional keuangan, batas minimum uang muka yang aman untuk kredit adalah 30 persen dari nilai kredit.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
KEPENTINGAN EKONOMI DAN PELANGGARAN TATA RUANG
Oleh Nugroho SBM
Sewaktu penulis pertama kali masuk kuliah di program pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota (planologi) di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir Tommy Firman salah seorang pengajar menyatakan bahwa program harus menerima lebih banyak mahasiswa dari disiplin ilmu ekonomi. Alasannya supaya para perencana kota mengenal lebih dalam ilmu ekonomi. Dia menjelaskan bahwa para perencana kota yang kebanyakan dari disiplin ilmu arsitektur gagal membuat rencana kota yang ditaati dalam pelaksanaannya. Kebanyakan rencana kota yang dibuat oleh para arsitek, masih menurut Tommy Firman, kalah oleh kepentingan dan dinamika ekonomi. Banyak penggunaan lahan untuk perkantoran atau ruang terbuka hijau yang akhirnya berubah menjadi kawasan bisnis.
Pernyataan Dr. Ir Tommy Firman (sekarang sudah guru besar) yang penulis kutip di depan sangat relevan dengan keresahan dan pernyataan Imam Mardjuki (Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang) menanggapi disahkannya Perda Nomor 19 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2030 Menurut Mardjuki setelah disahkannya RTRW Kota Semarang 2011-2030 tersebut hendaknya jangan ada lagi ijin-ijin pembangunan yang berseberangan dengan RTRW tersebut (SM, 3/6 /11).
Masih menurut Mardjuki lagi, selama ini RTRW kerap dilanggar. Ia mencontohkan 2 (dua) pelanggaran terhadap RTRW yang lama (Perda Nomor 5 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Semarang 2000 – 2010). Pertama, kawasan jalan Pemuda dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan untuk pemerintahan. Terbukti sekarang sudah menjadi kawasan perbelanjaan dan juga banyak hotel berbintang berdiri di sana. Kedua, di kawasan jalan Pemuda juga diperbolehkan untuk perguruan tinggi dengan konsentrasi pada disiplin ilmu teknologi informasi, kini sudah tumbuh perguruan tinggi dengan bebagai disiplin ilmu atau tidak lagi hanya yang berkonsentrasi pada teknologi informasi.
Sebenarnya, pelanggaran tata ruang wilayah kota Semarang terjadi juga jauh sebelum RTRW Kota Semarang 2000-2010 seperti yang disebut oleh Mardjuki.Sebagian besar masyarakat kota Semarang tahu dalam RTRW Kota Semarang sebelum RTRW 2000-2010, kawasan Simpang Lima misalnya diperuntukkan untuk perkantoran, olahraga dan keagamaan. Tetapi sekarang kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan bisnis.
Penyebab dan Solusinya
Melihat kecenderungan pelanggaran tata ruang di Kota Semarang, lalu timbul pertanyaan apa penyebabnya? Pertama, penulis setuju dengan pernyataan Dr. Ir Tommy Firman bahwa kebanyakan rencana tata ruang kota tidak disusun dengan mengakomodasikan kegiatan ekonomi masyarakat yang memang sangat dinamis. Kasus perubahan drastis kawasan Simpang Lima dari kawasan perkantoran, olahraga dan keagamaan menjadi kawasan bisnis karena kurangnya pemahaman bahwa lokasi di pusat kota sangat diinginkan oleh kegiatan ekonomi atau bisnis Hal tersebut terjadi karena penyusunan rencana kota kurang melibatkan para ahli ekonomi secara intens.
Selama ini peran ahli ekonomi dalam perencanaan kota hanya sebagai tempelan belaka. Akibatnya aspek analisis ekonomi kurang mendapat tempat yang menonjol. Urusan perencanaan kota dianggap urusan teknis para sarjana teknik (insinyur). Tetapi memang keterlibatan para ahli ekonomi dalam penyusunan rencana kota seringkali juga terkendala masalah data. Sebagaimana diketahui, di Indonesia makin sempit wilayah maka makin tidak ada data. Sebagai contoh data dasar seperti pendapatan masyarakat; pada tingkat nasional ada data pendapatan nasional; pada tingkat daerah ada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Tetapi pada tingkat kecamatan data semacam itu tidak ada. Untuk mengatasinya para ahli ekonomi dan konsultan yang menyewanya harus berani melakukan survei lapangan langsung. Memang biayanya mahal, tetapi ada pepatah mengatakan ”Data untuk perencanaan memang mahal tetapi lebih mahal perencanaan tanpa data (mengingat dampak negatib yang akan terjadi)”.
Sebab kedua mengapa rencana kota –termasuk rencana kota Semarang – tidak ditaati dalam pelaksanannya adalah justru rencana kota itu terlalu kaku serta berjangka panjang di satu sisi dan di sisi lain kegiatan ekonomi dan bisnis sangat dinamis di sisi yang lain. Secara praktek di negara-negara di dunia, dikenal ada 2 (dua) macam rencana kota. Pertama, dikenal dengan nama Master Plan yang diterapkan di Amerika Serikat. Bentuk Master Plan ini biasanya berupa zonasi (pembagian ruang) yang kaku. Wilayah atau ruang yang sudah diplot untuk perumahan tidak boleh diubah menjadi perkantoran. Banyak ahli mengatakan bahwa Master Plan ini hanya cocok untuk kawasan yang baru (kota-kota baru). Kelemahan dari Master Plan adalah karena sifatnya yang kaku maka dalam jangka panjang tidak bisa mengakomodasikan dinamika aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat serta kurang realistik karena banyak aktivitas yang bisa dilakukan bersamaan tanpa saling menganggu. Meskipun begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara masih memakai bentuk Master Plan ini untuk rencana kotanya.
Karena kelemahan rencana kota berbentuk Master Plan inilah kemudian lahir bentuk alternatifnya yang dikenal dengan Structural Plan. Bentuk ini banyak dipakai di negara-negara Eropa. Dalam bentuk ini, rencana kota hanya memuat garis-garis besar kegiatan utama yang diperbolehkan di beberapa wilayah dalam rencana kota. Kegiatan lain diperbolehkan berlokasi di situ asalkan tidak bertentangan. Contohnya: suatu kawasan yang ditentukan untuk kawasan perumahan masih diperbolehkan adanya perkantoran dan kegiatan jasa tetapi tertutup untuk kegiatan industri. Maka seberapa jauh RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 ditaati bisa dievaluasi dari seberapa luwes RTRW tersebut.
Sangsi
Sebab ketiga dari tidak ditaatinya RTRW Kota termasuk Kota Semarang adalah tiadanya sangsi hukum bagi yang melanggarnya. Tetapi itu dulu. Sekarang dengan Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang akan ada sangsi bagi siapapun (termasuk pemerintah) yang melanggar penggunaan lahan dan bangunan yang sudah ditetapkan di RTRW Kota. Ada 3 bentuk sangsi yaitu sangsi adiministrasi (termuat di Pasal 62 sampai 64), sangsi perdata (Pasal 66, 67, dan 75) dan sangsi pidana (Pasal 69 sampai 74).
Sangsi administratif meliputi peringatan tertulis, denda administratif sampai penutupan kegiatan dan pembongkaran bangunan. Sedangkan sangsi perdata antara lain memberi ganti rugi setelah diputuskan oleh pengadilan Dan sangsi pidana berupa hukuman kurungan minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun penjara serta denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sangsi tersebut sekali lagi bisa dikenakan kepada masyarakat maupun pejabat pemerintah sebagai personal dan pemerintah sebagai lembaga. Maka kalau ingin RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 yang sudah diperdakan menjadi Perda Nomor 19 tahun 2011 ditaati, penerapan sangsi yang sudah diatur secara jelas dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus diterapkan secara tegas tanpa pandang bulu.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang dan Alumnus Program S2 Planologi ITB)
Sewaktu penulis pertama kali masuk kuliah di program pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota (planologi) di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir Tommy Firman salah seorang pengajar menyatakan bahwa program harus menerima lebih banyak mahasiswa dari disiplin ilmu ekonomi. Alasannya supaya para perencana kota mengenal lebih dalam ilmu ekonomi. Dia menjelaskan bahwa para perencana kota yang kebanyakan dari disiplin ilmu arsitektur gagal membuat rencana kota yang ditaati dalam pelaksanaannya. Kebanyakan rencana kota yang dibuat oleh para arsitek, masih menurut Tommy Firman, kalah oleh kepentingan dan dinamika ekonomi. Banyak penggunaan lahan untuk perkantoran atau ruang terbuka hijau yang akhirnya berubah menjadi kawasan bisnis.
Pernyataan Dr. Ir Tommy Firman (sekarang sudah guru besar) yang penulis kutip di depan sangat relevan dengan keresahan dan pernyataan Imam Mardjuki (Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang) menanggapi disahkannya Perda Nomor 19 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2030 Menurut Mardjuki setelah disahkannya RTRW Kota Semarang 2011-2030 tersebut hendaknya jangan ada lagi ijin-ijin pembangunan yang berseberangan dengan RTRW tersebut (SM, 3/6 /11).
Masih menurut Mardjuki lagi, selama ini RTRW kerap dilanggar. Ia mencontohkan 2 (dua) pelanggaran terhadap RTRW yang lama (Perda Nomor 5 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Semarang 2000 – 2010). Pertama, kawasan jalan Pemuda dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan untuk pemerintahan. Terbukti sekarang sudah menjadi kawasan perbelanjaan dan juga banyak hotel berbintang berdiri di sana. Kedua, di kawasan jalan Pemuda juga diperbolehkan untuk perguruan tinggi dengan konsentrasi pada disiplin ilmu teknologi informasi, kini sudah tumbuh perguruan tinggi dengan bebagai disiplin ilmu atau tidak lagi hanya yang berkonsentrasi pada teknologi informasi.
Sebenarnya, pelanggaran tata ruang wilayah kota Semarang terjadi juga jauh sebelum RTRW Kota Semarang 2000-2010 seperti yang disebut oleh Mardjuki.Sebagian besar masyarakat kota Semarang tahu dalam RTRW Kota Semarang sebelum RTRW 2000-2010, kawasan Simpang Lima misalnya diperuntukkan untuk perkantoran, olahraga dan keagamaan. Tetapi sekarang kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan bisnis.
Penyebab dan Solusinya
Melihat kecenderungan pelanggaran tata ruang di Kota Semarang, lalu timbul pertanyaan apa penyebabnya? Pertama, penulis setuju dengan pernyataan Dr. Ir Tommy Firman bahwa kebanyakan rencana tata ruang kota tidak disusun dengan mengakomodasikan kegiatan ekonomi masyarakat yang memang sangat dinamis. Kasus perubahan drastis kawasan Simpang Lima dari kawasan perkantoran, olahraga dan keagamaan menjadi kawasan bisnis karena kurangnya pemahaman bahwa lokasi di pusat kota sangat diinginkan oleh kegiatan ekonomi atau bisnis Hal tersebut terjadi karena penyusunan rencana kota kurang melibatkan para ahli ekonomi secara intens.
Selama ini peran ahli ekonomi dalam perencanaan kota hanya sebagai tempelan belaka. Akibatnya aspek analisis ekonomi kurang mendapat tempat yang menonjol. Urusan perencanaan kota dianggap urusan teknis para sarjana teknik (insinyur). Tetapi memang keterlibatan para ahli ekonomi dalam penyusunan rencana kota seringkali juga terkendala masalah data. Sebagaimana diketahui, di Indonesia makin sempit wilayah maka makin tidak ada data. Sebagai contoh data dasar seperti pendapatan masyarakat; pada tingkat nasional ada data pendapatan nasional; pada tingkat daerah ada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Tetapi pada tingkat kecamatan data semacam itu tidak ada. Untuk mengatasinya para ahli ekonomi dan konsultan yang menyewanya harus berani melakukan survei lapangan langsung. Memang biayanya mahal, tetapi ada pepatah mengatakan ”Data untuk perencanaan memang mahal tetapi lebih mahal perencanaan tanpa data (mengingat dampak negatib yang akan terjadi)”.
Sebab kedua mengapa rencana kota –termasuk rencana kota Semarang – tidak ditaati dalam pelaksanannya adalah justru rencana kota itu terlalu kaku serta berjangka panjang di satu sisi dan di sisi lain kegiatan ekonomi dan bisnis sangat dinamis di sisi yang lain. Secara praktek di negara-negara di dunia, dikenal ada 2 (dua) macam rencana kota. Pertama, dikenal dengan nama Master Plan yang diterapkan di Amerika Serikat. Bentuk Master Plan ini biasanya berupa zonasi (pembagian ruang) yang kaku. Wilayah atau ruang yang sudah diplot untuk perumahan tidak boleh diubah menjadi perkantoran. Banyak ahli mengatakan bahwa Master Plan ini hanya cocok untuk kawasan yang baru (kota-kota baru). Kelemahan dari Master Plan adalah karena sifatnya yang kaku maka dalam jangka panjang tidak bisa mengakomodasikan dinamika aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat serta kurang realistik karena banyak aktivitas yang bisa dilakukan bersamaan tanpa saling menganggu. Meskipun begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara masih memakai bentuk Master Plan ini untuk rencana kotanya.
Karena kelemahan rencana kota berbentuk Master Plan inilah kemudian lahir bentuk alternatifnya yang dikenal dengan Structural Plan. Bentuk ini banyak dipakai di negara-negara Eropa. Dalam bentuk ini, rencana kota hanya memuat garis-garis besar kegiatan utama yang diperbolehkan di beberapa wilayah dalam rencana kota. Kegiatan lain diperbolehkan berlokasi di situ asalkan tidak bertentangan. Contohnya: suatu kawasan yang ditentukan untuk kawasan perumahan masih diperbolehkan adanya perkantoran dan kegiatan jasa tetapi tertutup untuk kegiatan industri. Maka seberapa jauh RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 ditaati bisa dievaluasi dari seberapa luwes RTRW tersebut.
Sangsi
Sebab ketiga dari tidak ditaatinya RTRW Kota termasuk Kota Semarang adalah tiadanya sangsi hukum bagi yang melanggarnya. Tetapi itu dulu. Sekarang dengan Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang akan ada sangsi bagi siapapun (termasuk pemerintah) yang melanggar penggunaan lahan dan bangunan yang sudah ditetapkan di RTRW Kota. Ada 3 bentuk sangsi yaitu sangsi adiministrasi (termuat di Pasal 62 sampai 64), sangsi perdata (Pasal 66, 67, dan 75) dan sangsi pidana (Pasal 69 sampai 74).
Sangsi administratif meliputi peringatan tertulis, denda administratif sampai penutupan kegiatan dan pembongkaran bangunan. Sedangkan sangsi perdata antara lain memberi ganti rugi setelah diputuskan oleh pengadilan Dan sangsi pidana berupa hukuman kurungan minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun penjara serta denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sangsi tersebut sekali lagi bisa dikenakan kepada masyarakat maupun pejabat pemerintah sebagai personal dan pemerintah sebagai lembaga. Maka kalau ingin RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 yang sudah diperdakan menjadi Perda Nomor 19 tahun 2011 ditaati, penerapan sangsi yang sudah diatur secara jelas dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus diterapkan secara tegas tanpa pandang bulu.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang dan Alumnus Program S2 Planologi ITB)
Senin, 05 September 2011
RAPBN 2012: ANTARA NAZAR DAN GAYUS
Oleh Nugroho SBM
Presiden telah menyampaikan RAPBN 2012 di depan Sidang Paripurna DPR. Masyarakat umum, dunia usaha, pengamat, dan lain-lain tampaknya makin pesimistis dan acuh tak acuh menanggapi RAPBN tersebut. Menurut saya hal itu disebabkan oleh dua masalah yang membelit yaitu dari sisi pengeluaran dan penerimaan.
Dari sisi pengeluaran meskipun dikatakan belanja modal naik 27 persen menjadi Rp 126 triliun, tetapi banyak pihak pesimis apakah belanja modal sebesar itu bisa sebagai sarana untuk mencapai berbagai tujuan pembangunan ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan lain-lain.
Dalam pengakuan Nazarudin di pelarian terungkap bahwa proyek-proyek pembangunan pemerintah, misalnya dalam kasus pembangunan Wisma Atlet, dalam pelaksanaan tendernya si pelaksana proyek harus mengeluarkan dana sekitar 20 persen dari nilai proyek. Ditambah biaya lain-lain dalam pelaksanaannya, maka uang yang harus dikeluarkan pelaksana proyek bisa mencapai 30 persen. Maka jika belanja modal di RAPBN 2012 sebesar Rp 162 triliun, yang akan dikeluarkan secara riil hanya 70 persennya yaitu sebesar Rp 117 triliun. Sisanya sebesar 30 persen akan menjadi “bancakan” para koruptor baik eksekutif , legislatif, maupun para calo anggaran.
Sebenarnya isu kebocoran anggaran ini bukan hal baru. Pada zaman Orde Baru, kita masih ingat pernyataan “Begawan Ekonomi” Indonesia Profesor Sumitro Djojohadikusumo (almarhum) yang menyatakan bahwa anggaran negara di sisi pengeluaran telah bocor kurang lebih 30 persen.
Gayus Tambunan
Dari sisi penerimaan khususnya dari pajak, juga ada masalah. Masalah yang dimaksud adalah penerimaan negara dari pajak telah dikorup oleh aparat pajak dengan melakukan kolusi bersama para pembayar pajak perusahaan-perusahaan besar. Kita masih ingat kasus Gayus Tambunan yang telah mengorup penerimaan pajak yang seharusnya disetor kepada negara. Itulah sebabnya rasio pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di tahun 2011 hanya 12,2 persen dan diharapkan naik menjadi hanya 12,6 persen di tahun 2012 mendatang.
Jadi bisa disimpulkan, baik di sisi pengeluaran maupun di sisi penerimaan (khususnya dari pajak) APBN dari tahun ke tahun selalu dikorupsi. Mengapa hal ini dengan mudah terjadi? Salah satu cara menganalisisnya adalah dengan menganalisis manfaat “biaya melakukan korupsi di Indonesia.”
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat nonfinansial antara lain sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi, para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-Undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di mana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan, dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie, beberapa waktu lalu tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Hukuman Koruptor
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dilakukan oleh Rimawan Pradipto (2010) dari UGM menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 2001-2009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi dan kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial ini pun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomor 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga para terdakwa menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyinggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-Undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
Hanya dengan penegakan hukum yang serius terhadap para koruptor APBN baik dari sisi penerimaan (khususnya pajak) maupun sisi pengeluaran maka RAPBN 2012 yang setelah dibahas dengan DPR menjadi APBN 2012 bisa menjadi alat efektif untuk menyejahterakan masyarakat.
Presiden telah menyampaikan RAPBN 2012 di depan Sidang Paripurna DPR. Masyarakat umum, dunia usaha, pengamat, dan lain-lain tampaknya makin pesimistis dan acuh tak acuh menanggapi RAPBN tersebut. Menurut saya hal itu disebabkan oleh dua masalah yang membelit yaitu dari sisi pengeluaran dan penerimaan.
Dari sisi pengeluaran meskipun dikatakan belanja modal naik 27 persen menjadi Rp 126 triliun, tetapi banyak pihak pesimis apakah belanja modal sebesar itu bisa sebagai sarana untuk mencapai berbagai tujuan pembangunan ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan lain-lain.
Dalam pengakuan Nazarudin di pelarian terungkap bahwa proyek-proyek pembangunan pemerintah, misalnya dalam kasus pembangunan Wisma Atlet, dalam pelaksanaan tendernya si pelaksana proyek harus mengeluarkan dana sekitar 20 persen dari nilai proyek. Ditambah biaya lain-lain dalam pelaksanaannya, maka uang yang harus dikeluarkan pelaksana proyek bisa mencapai 30 persen. Maka jika belanja modal di RAPBN 2012 sebesar Rp 162 triliun, yang akan dikeluarkan secara riil hanya 70 persennya yaitu sebesar Rp 117 triliun. Sisanya sebesar 30 persen akan menjadi “bancakan” para koruptor baik eksekutif , legislatif, maupun para calo anggaran.
Sebenarnya isu kebocoran anggaran ini bukan hal baru. Pada zaman Orde Baru, kita masih ingat pernyataan “Begawan Ekonomi” Indonesia Profesor Sumitro Djojohadikusumo (almarhum) yang menyatakan bahwa anggaran negara di sisi pengeluaran telah bocor kurang lebih 30 persen.
Gayus Tambunan
Dari sisi penerimaan khususnya dari pajak, juga ada masalah. Masalah yang dimaksud adalah penerimaan negara dari pajak telah dikorup oleh aparat pajak dengan melakukan kolusi bersama para pembayar pajak perusahaan-perusahaan besar. Kita masih ingat kasus Gayus Tambunan yang telah mengorup penerimaan pajak yang seharusnya disetor kepada negara. Itulah sebabnya rasio pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di tahun 2011 hanya 12,2 persen dan diharapkan naik menjadi hanya 12,6 persen di tahun 2012 mendatang.
Jadi bisa disimpulkan, baik di sisi pengeluaran maupun di sisi penerimaan (khususnya dari pajak) APBN dari tahun ke tahun selalu dikorupsi. Mengapa hal ini dengan mudah terjadi? Salah satu cara menganalisisnya adalah dengan menganalisis manfaat “biaya melakukan korupsi di Indonesia.”
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat nonfinansial antara lain sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi, para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-Undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di mana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan, dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie, beberapa waktu lalu tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Hukuman Koruptor
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dilakukan oleh Rimawan Pradipto (2010) dari UGM menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 2001-2009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi dan kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial ini pun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomor 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga para terdakwa menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyinggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-Undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
Hanya dengan penegakan hukum yang serius terhadap para koruptor APBN baik dari sisi penerimaan (khususnya pajak) maupun sisi pengeluaran maka RAPBN 2012 yang setelah dibahas dengan DPR menjadi APBN 2012 bisa menjadi alat efektif untuk menyejahterakan masyarakat.
Senin, 22 Agustus 2011
JAMINAN SOSIAL;BELAJAR DARI KASUS INGGERIS DAN AS
Oleh: Nugroho SBM
Sampai saat ini, debat di DPR tentang Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) masih belum juga usai sehingga pengesahan UU tersebut masih belum jelas kapan. Di samping itu, banyak pihak yang menuntut supaya UU induknya yaitu Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) direvisi terlebih dahulu karena dianggap mengandung unsur komersialisasi dan kapitalistik. Diharapkan- tentu- hal-hal tersebut bisa segera beres sehingga kewajiban negara untuk menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat segera dapat direalisasikan.
Pada aspek yang lain, dalam hal pemberian jaminan sosial, Indonesia bisa belajar dari dua kasus besar yang saat ini menimpa dua negara besar yaitu Inggeris dan AS.
Pertama, terkait dengan Inggeris. Seperti diketahui, sampai saat ini pemerintah dan aparat keamanan di sana belum sepenuhnya berhasil menghentikan kerusuhan besar yang dipicu oleh ditembak matinya seorang pria di daerah rusuh Nottingham oleh aaparat keamanan. Tertembak matinya pria tersebut hanyalah pemicu. Penyebab sebenarnya adalah kemiskinan dan pengangguran akibat keputusan Perdana Menteri Inggeris David Cameron yang di tahun 2010 memotong anggaran untuk tunjangan kaum miskin, tunjangan pendidikan, dan tunjangan sosial guna memangkas defisit anggaran. Maka kaum miskin yang terlantar yang tak diurus oleh negara merupakan api dalam sekam yang akhirnya benar-benar meletus pada peristiwa kerusuhan di Nottingham. Dari kasus di Inggeris ini, kita bisa belajar bahwa bagaimanapun dan di manapun tanggungjawab sosial negara kepada masyarakat antara lain dalam bentuk pemberian jaminan sosial adalah masalah penting. Bila negara atau pemerintah lalai dalam hal ini maka kerusuhan sosial sewaktu-waktu bisa meletus. Oleh karena itu, sekali lagi masalah UU BPJS dan UUSJSN harus segera dituntaskan supaya kewajiban negara memberikan jaminan sosial bagi masyarakat tidak tertunda-tunda.
Terkait Krisis AS
Kedua, terkait dengan krisis di AS. Sebagaimana diketahui, AS saat ini tengah dilanda krisis utang. Sebagaimana diketahui sampai Mei 2011 utang pemerintah AS mencapai 14,3 triliun dolar AS. Sementara itu pendapatan nasionalnya 14,7 triliun dolar AS. Sehingga dengan demikian rasio utang terhadap pendapatan nasional AS saat ini telah mencapai 96 persen. Padahal konsensus di antara para ekonom, batas aman rasio utang suatu negara terhadap pendapatan nasionalnya hanya 60 persen. Memang konggres dan presiden Obama telah sepakat untuk menambah utang baru sebanyak 2,1` triliun dolar AS, tetapi langkah ini hanyalah menunda kebangkrutan ekonomi AS.
Utang AS yang besar tersebut adalah untuk menutup defisit anggaran AS. Mengapa defisit anggaran AS membengkak? Secara kebijakan ekonomi, memang Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat selalu “pro rakyat” dengan penegluaran yang besar untuk berbagai tunjangan sosial bagi masyarakat. Ini berlawanan dengan ciri kas Partai Republik yang selalu “pro pasar” atau “pro pengusaha” dengan kebijakan misalnya pemotongan pajak atau tidak menaikkan pajak. Bila dilihat APBN AS semasa pemerintahan Obama maka pengeluaran pemerintah yang terbesar adalah untuk: pembayaran bunga obligasi pemerintah, pertahanan dan keamanan, tunjangan kesehatan, dan tunjangan sosial. Dari struktur pengeluaran itu bisa dilihat bahwa pengeluaran untuk tunjangan sosial dan kesehatan merupakan pos pengeluaran yang besar.
Lalu mengapa pengeluaran yang besar untuk tunjangan sosial dan kesehatan tersebut diiukti pula dengan utang yang besar? Biasanya memang ciri khas Partai Demokrat untuk menutup pengeluaran “pro rakyat” yang besar akan diambilkan dari penerimaan pajak.
Tetapi tampaknya pemerintahan Barrack Obama menghadapi situasi lain yang tak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Barrack Obama – tak seperti presiden lain dari Partai Demokrat- harus menghadapi suatu fraksi dari partai republik yang sangat ekstrim yang menolak setiap langkah pemerintah untuk menaikkan pajak. Mereka hanya berjumlah 85 orang dari 240 anggota konggres dari Partai Republik. Seluruh anggota Konggres adalah 435 orang. Mereka menyebut diri sebagai Partai Teh (Tea Party) untuk mengingatkan masyarakat akan peristiwa heroik pejuang AS yang menumpahkan teh di Pelabuhan Boston untuk memprotes Kebijakan Pajak pemerintah Inggeris. Meskipun kecil, anggota Partai Teh ini dengan suaranya yang keras dan taktik politik yang jitu telah berhasil mempengaruhi masyarakat dan juga bahkan sebagian anggota Partai Demokrat untuk menolak setiap rancangan kebijakan pemerintah Obama yang akan menaikkan penerimaan pajak untuk menutup defisit anggarannya. Akibatnya terpaksa pemerintah Obama terus menambah utangnya untuk menutup defisit anggaran AS.
Dari kasus krisis utang di AS Indonesia bisa belajar bahwa bagaimanapun penerimaan dari pajak sangatlah penting untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah termasuk untuk jaminan sosial. Ini penting ditekankan sebab dalam RUU BPJS - seperti telah saya tulis di Suara Merdeka 22 Juli 2011- pemerintah malah hendak menggeser beban pembiayaan jaminan sosial dari pemerintah kepada masyarakat dan pihak ketiga. Mungkin pemerintah takut bahwa pengeluaran untuk jaminan sosial ini akan memeperberat beban pengeluaran di APBN yang diikuti dengan beban perlunya mencari tambahan penerimaan.
Tetapi kekhawatiran itu tampaknya tak beralasan. Pemerintah sebenarnya masih bisa menggenjot penerimaan dari pajak. Menkeu Agus Martowardoyo menyatakan bahwa dari sekitar 22,6 juta perusahaan di Indonesia yang taat membayar pajak hanya 500 ribu perusahaan saja. Sedangkan secara perorangan dari 238 juta orang penduduk Indonesia yang membayar pajak hanya 7 juta orang saja (Suara Merdeka, 11 Agustus 2011). Artinya sebenarnya peluang untuk meningkatkan penerimaan dari pajak masih terbuka lebar. Syaratnya tentu saja perlunya kejujuran aparat pajak dan wajib pajak serta wajib pajak hendaknya bisa diyakinkan betul bahwa pajak yang mereka bayarkan memang digunakan untuk kepentingan umum.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
Sampai saat ini, debat di DPR tentang Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) masih belum juga usai sehingga pengesahan UU tersebut masih belum jelas kapan. Di samping itu, banyak pihak yang menuntut supaya UU induknya yaitu Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) direvisi terlebih dahulu karena dianggap mengandung unsur komersialisasi dan kapitalistik. Diharapkan- tentu- hal-hal tersebut bisa segera beres sehingga kewajiban negara untuk menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat segera dapat direalisasikan.
Pada aspek yang lain, dalam hal pemberian jaminan sosial, Indonesia bisa belajar dari dua kasus besar yang saat ini menimpa dua negara besar yaitu Inggeris dan AS.
Pertama, terkait dengan Inggeris. Seperti diketahui, sampai saat ini pemerintah dan aparat keamanan di sana belum sepenuhnya berhasil menghentikan kerusuhan besar yang dipicu oleh ditembak matinya seorang pria di daerah rusuh Nottingham oleh aaparat keamanan. Tertembak matinya pria tersebut hanyalah pemicu. Penyebab sebenarnya adalah kemiskinan dan pengangguran akibat keputusan Perdana Menteri Inggeris David Cameron yang di tahun 2010 memotong anggaran untuk tunjangan kaum miskin, tunjangan pendidikan, dan tunjangan sosial guna memangkas defisit anggaran. Maka kaum miskin yang terlantar yang tak diurus oleh negara merupakan api dalam sekam yang akhirnya benar-benar meletus pada peristiwa kerusuhan di Nottingham. Dari kasus di Inggeris ini, kita bisa belajar bahwa bagaimanapun dan di manapun tanggungjawab sosial negara kepada masyarakat antara lain dalam bentuk pemberian jaminan sosial adalah masalah penting. Bila negara atau pemerintah lalai dalam hal ini maka kerusuhan sosial sewaktu-waktu bisa meletus. Oleh karena itu, sekali lagi masalah UU BPJS dan UUSJSN harus segera dituntaskan supaya kewajiban negara memberikan jaminan sosial bagi masyarakat tidak tertunda-tunda.
Terkait Krisis AS
Kedua, terkait dengan krisis di AS. Sebagaimana diketahui, AS saat ini tengah dilanda krisis utang. Sebagaimana diketahui sampai Mei 2011 utang pemerintah AS mencapai 14,3 triliun dolar AS. Sementara itu pendapatan nasionalnya 14,7 triliun dolar AS. Sehingga dengan demikian rasio utang terhadap pendapatan nasional AS saat ini telah mencapai 96 persen. Padahal konsensus di antara para ekonom, batas aman rasio utang suatu negara terhadap pendapatan nasionalnya hanya 60 persen. Memang konggres dan presiden Obama telah sepakat untuk menambah utang baru sebanyak 2,1` triliun dolar AS, tetapi langkah ini hanyalah menunda kebangkrutan ekonomi AS.
Utang AS yang besar tersebut adalah untuk menutup defisit anggaran AS. Mengapa defisit anggaran AS membengkak? Secara kebijakan ekonomi, memang Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat selalu “pro rakyat” dengan penegluaran yang besar untuk berbagai tunjangan sosial bagi masyarakat. Ini berlawanan dengan ciri kas Partai Republik yang selalu “pro pasar” atau “pro pengusaha” dengan kebijakan misalnya pemotongan pajak atau tidak menaikkan pajak. Bila dilihat APBN AS semasa pemerintahan Obama maka pengeluaran pemerintah yang terbesar adalah untuk: pembayaran bunga obligasi pemerintah, pertahanan dan keamanan, tunjangan kesehatan, dan tunjangan sosial. Dari struktur pengeluaran itu bisa dilihat bahwa pengeluaran untuk tunjangan sosial dan kesehatan merupakan pos pengeluaran yang besar.
Lalu mengapa pengeluaran yang besar untuk tunjangan sosial dan kesehatan tersebut diiukti pula dengan utang yang besar? Biasanya memang ciri khas Partai Demokrat untuk menutup pengeluaran “pro rakyat” yang besar akan diambilkan dari penerimaan pajak.
Tetapi tampaknya pemerintahan Barrack Obama menghadapi situasi lain yang tak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Barrack Obama – tak seperti presiden lain dari Partai Demokrat- harus menghadapi suatu fraksi dari partai republik yang sangat ekstrim yang menolak setiap langkah pemerintah untuk menaikkan pajak. Mereka hanya berjumlah 85 orang dari 240 anggota konggres dari Partai Republik. Seluruh anggota Konggres adalah 435 orang. Mereka menyebut diri sebagai Partai Teh (Tea Party) untuk mengingatkan masyarakat akan peristiwa heroik pejuang AS yang menumpahkan teh di Pelabuhan Boston untuk memprotes Kebijakan Pajak pemerintah Inggeris. Meskipun kecil, anggota Partai Teh ini dengan suaranya yang keras dan taktik politik yang jitu telah berhasil mempengaruhi masyarakat dan juga bahkan sebagian anggota Partai Demokrat untuk menolak setiap rancangan kebijakan pemerintah Obama yang akan menaikkan penerimaan pajak untuk menutup defisit anggarannya. Akibatnya terpaksa pemerintah Obama terus menambah utangnya untuk menutup defisit anggaran AS.
Dari kasus krisis utang di AS Indonesia bisa belajar bahwa bagaimanapun penerimaan dari pajak sangatlah penting untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah termasuk untuk jaminan sosial. Ini penting ditekankan sebab dalam RUU BPJS - seperti telah saya tulis di Suara Merdeka 22 Juli 2011- pemerintah malah hendak menggeser beban pembiayaan jaminan sosial dari pemerintah kepada masyarakat dan pihak ketiga. Mungkin pemerintah takut bahwa pengeluaran untuk jaminan sosial ini akan memeperberat beban pengeluaran di APBN yang diikuti dengan beban perlunya mencari tambahan penerimaan.
Tetapi kekhawatiran itu tampaknya tak beralasan. Pemerintah sebenarnya masih bisa menggenjot penerimaan dari pajak. Menkeu Agus Martowardoyo menyatakan bahwa dari sekitar 22,6 juta perusahaan di Indonesia yang taat membayar pajak hanya 500 ribu perusahaan saja. Sedangkan secara perorangan dari 238 juta orang penduduk Indonesia yang membayar pajak hanya 7 juta orang saja (Suara Merdeka, 11 Agustus 2011). Artinya sebenarnya peluang untuk meningkatkan penerimaan dari pajak masih terbuka lebar. Syaratnya tentu saja perlunya kejujuran aparat pajak dan wajib pajak serta wajib pajak hendaknya bisa diyakinkan betul bahwa pajak yang mereka bayarkan memang digunakan untuk kepentingan umum.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip Semarang)
ANALISIS BIAYA-MANFAAT MELAKUKAN KORUPSI
Oleh Nugroho SBM
Nazarudin akhirnya tertangkap di Cartagena Sepanyol. Masyarakat berharap tertangkapnya Nazarudin menjadi kunci berbagai kasus korupsi besar yang selama ini “dinyanyikan” oleh Nazarudin dari persembunyiannya.Meskipun ia kini berusaha bungkam, tetapi KPK dan pihak terkait bisa terus melanjutkan penyidikan dg bukti-bukti yang ada
Asa masyarakat yang besar tersebut hendaknya jangan dikecewakan sebab selama ini pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat. Hal tersebut bisa dilihat dari besarnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2010 lalu yang masih bertengger di angka 2,8 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di urutan 15 dari 180 negara yang disurvai oleh Transparaency International. Mengapa pemberantasan korupsi jalan di tempat? Ilmu ekonomi membantu menjelaskan hal tersebut dengan alat analisis yang sederhana yaitu analisis biaya-manfaat.
Analisis biaya-manfaat seseorang melakukan korupsi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom Garry S Becker (1968). Becker memang ekonom yang idenya unik karena menganalisis berbagai fenomena dari sudut pandang ekonomi. Salah satu ide ”aneh”nya adalah ia pernah menulis tentang Ilmu Ekonomi Perkawinan. Dalam analisis Becker, seseorang melakukan tindakan korupsi atau tidak akan mempertimbangkan antara manfaat yaitu uang yang dia peroleh dari hasil melakukan korupsi dan biaya berupa hukuman yang harus ia tanggung jika ia tertangkap, diadili, dan dihukum karena melakukan tindakan korupsi.
Teori Becker ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ahli ekonomi lain, misalnya Bologna (1993), Pollinsky dan Shavel (1997), Bandura (1997), Frey (2009) dan Almer (2009), Yang pada intinya lebih memerinci manfaat dan biaya melakukan korupsi serta mengembangkan berbagai alat analisis. Alat analisis yang dikembangkan ada yang bersifat matematis, tetapi ada pula yang menggunakan eksperimen yang diambil dari ilmu psikologi.
Hati-hati dengan Hukuman
Meskipun semua ahli sepakat bahwa mestinya biaya melakukan korupsi yaitu hukuman yang diberikan kepada para koruptor harus lebih besar dari manfaat korupsi yaitu uang yang diperoleh dari hasil korupsi, tetapi Frey (2009) mengingatkan bahwa hukuman tak selalu mencapai tujuannya. Frey menyebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan penghukuman terhadap para koruptor menjadi tidak sesuai, tidak efisien bahkan menjadi kontra-produktif. Pertama, hukuman yang dikenakan terlalu ringan dibanding hasil korupsi. Kedua, penghukuman di penjara tidak membuat orang jera tetapi malah menjadi ajang sekolah atau pembelajaran tentang teknik korupsi yang lebih canggih dari narapidana lain. Ketiga, adanya kenyataan seringkali orang yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah justru lolos dari jeratan hukum. Keempat, seringkali penghukuman terhadap orang yang terlibat korupsi diintervensi oleh kekuasaan sehingga tidak optimal. Dan Kelima, orang yang selesai menjalani hukuman termasuk dalam kasus korupsi sringkali kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga ia setelah keluar dari penjara sulit mendapatkan pekerjaan yang legal dan halal sehingga ia akan kembali berbuat kejahatan.
Bagaimana di Indonesia?
Lalu bagaimana analisis manfaat-biaya untuk korupsi di Indonesia? Untuk masalah manfaat - yaitu uang yang berhasil diambil oleh para koruptor - tak perlu diragukan lagi. Menurut catatan, selama tahun 2001 sampai 2009 mencapai Rp 73,07 triliun. Sebuah jumlah yang besar.
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat non-finansial antara lain: sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi kita sering melihat para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-undang Nomer 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25 juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua yang aktual adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dialkukan oleh Rimawan Pradipto (2010) menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 200102009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi yang kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial inipun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomer 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomer 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyimnggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannnya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar di FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip)
Nazarudin akhirnya tertangkap di Cartagena Sepanyol. Masyarakat berharap tertangkapnya Nazarudin menjadi kunci berbagai kasus korupsi besar yang selama ini “dinyanyikan” oleh Nazarudin dari persembunyiannya.Meskipun ia kini berusaha bungkam, tetapi KPK dan pihak terkait bisa terus melanjutkan penyidikan dg bukti-bukti yang ada
Asa masyarakat yang besar tersebut hendaknya jangan dikecewakan sebab selama ini pemberantasan korupsi di Indonesia jalan di tempat. Hal tersebut bisa dilihat dari besarnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2010 lalu yang masih bertengger di angka 2,8 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di urutan 15 dari 180 negara yang disurvai oleh Transparaency International. Mengapa pemberantasan korupsi jalan di tempat? Ilmu ekonomi membantu menjelaskan hal tersebut dengan alat analisis yang sederhana yaitu analisis biaya-manfaat.
Analisis biaya-manfaat seseorang melakukan korupsi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom Garry S Becker (1968). Becker memang ekonom yang idenya unik karena menganalisis berbagai fenomena dari sudut pandang ekonomi. Salah satu ide ”aneh”nya adalah ia pernah menulis tentang Ilmu Ekonomi Perkawinan. Dalam analisis Becker, seseorang melakukan tindakan korupsi atau tidak akan mempertimbangkan antara manfaat yaitu uang yang dia peroleh dari hasil melakukan korupsi dan biaya berupa hukuman yang harus ia tanggung jika ia tertangkap, diadili, dan dihukum karena melakukan tindakan korupsi.
Teori Becker ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ahli ekonomi lain, misalnya Bologna (1993), Pollinsky dan Shavel (1997), Bandura (1997), Frey (2009) dan Almer (2009), Yang pada intinya lebih memerinci manfaat dan biaya melakukan korupsi serta mengembangkan berbagai alat analisis. Alat analisis yang dikembangkan ada yang bersifat matematis, tetapi ada pula yang menggunakan eksperimen yang diambil dari ilmu psikologi.
Hati-hati dengan Hukuman
Meskipun semua ahli sepakat bahwa mestinya biaya melakukan korupsi yaitu hukuman yang diberikan kepada para koruptor harus lebih besar dari manfaat korupsi yaitu uang yang diperoleh dari hasil korupsi, tetapi Frey (2009) mengingatkan bahwa hukuman tak selalu mencapai tujuannya. Frey menyebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan penghukuman terhadap para koruptor menjadi tidak sesuai, tidak efisien bahkan menjadi kontra-produktif. Pertama, hukuman yang dikenakan terlalu ringan dibanding hasil korupsi. Kedua, penghukuman di penjara tidak membuat orang jera tetapi malah menjadi ajang sekolah atau pembelajaran tentang teknik korupsi yang lebih canggih dari narapidana lain. Ketiga, adanya kenyataan seringkali orang yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah justru lolos dari jeratan hukum. Keempat, seringkali penghukuman terhadap orang yang terlibat korupsi diintervensi oleh kekuasaan sehingga tidak optimal. Dan Kelima, orang yang selesai menjalani hukuman termasuk dalam kasus korupsi sringkali kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga ia setelah keluar dari penjara sulit mendapatkan pekerjaan yang legal dan halal sehingga ia akan kembali berbuat kejahatan.
Bagaimana di Indonesia?
Lalu bagaimana analisis manfaat-biaya untuk korupsi di Indonesia? Untuk masalah manfaat - yaitu uang yang berhasil diambil oleh para koruptor - tak perlu diragukan lagi. Menurut catatan, selama tahun 2001 sampai 2009 mencapai Rp 73,07 triliun. Sebuah jumlah yang besar.
Manfaat ini masih ditambah dengan manfaat non-finansial antara lain: sikap masyarakat yang mulai permisif karena mulai pesimis dengan penindakan kasus korupsi dan ”dukungan” dari pejabat publik. Sikap permisif masyarakat membuat para koruptor tidak lagi merasa malu menghadapi wartawan dan sorotan kamera. Bahkan di televisi kita sering melihat para tertuduh dan terpidana kasus korupsi masih bisa tersenyum lebar. Untuk dukungan dari pejabat publik ada dua contoh. Pertama, usulan merevisi Undang-undang Nomer 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana diusulkan hukuman maksimal bagi koruptor diturunkan dan koruptor yang melakukan korupsi sampai Rp 25 juta dibebaskan dari hukuman asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Untungnya revisi tersebut ditunda sampai saat ini. Contoh kedua yang aktual adalah pernyataan kontroversial Ketua DPR Marzuki Alie tentang pembubaran KPK dan perlunya mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Dengan demikian yang perlu dilihat pada kasus korupsi di Indonesia adalah biayanya. Pertama, ternyata hukuman untuk para koruptor masih terlalu ringan. Studi yang dialkukan oleh Rimawan Pradipto (2010) menunjukkan bahwa uang hasil korupsi selama tahun 200102009 sebesar Rp 73,07 triliun. Tetapi total hukuman denda finansial yang dijatuhkan dan kembali ke kas negara hanya Rp 5,32 triliun atau 7,29 persen dari total dana yang dikorupsi. Belum lagi bila tingkat inflasi diperhitungkan ke dalamnya maka secara riil uang yang dikorupsi yang kembali kepada negara tentu lebih kecil lagi. Maka supaya para koruptor jera, hukuman denda finansial inipun mestinya juga diperberat, tidak malah diperingan seperti yang dulu pernah diusulkan dalam revisi UU Nomer 31 tahun 2001 yang untungnya ditunda.
Kedua, dalam penerapan hukuman terhadap kasus korupsi tampaknya pertimbangan subjektif hakim masih ada sehingga menerima hukuman yang berbeda-beda. Kasus Artalyta Suryani misalnya mendapatkan vonis maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomer 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi dari pihak penyelenggara negara yang menerima suap yaitu Irawady Joenoes seorang Komisioner Komisi Yudisial (KY) menerima hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Tetapi pasal yang dikenakan terhadap Irawady adalah Pasal 12 bukan Pasal 5 seperti yang dikenakan terhadap Artalyta. Hal ini tentu menyimnggung rasa keadilan di masyarakat. Untuk itu hakim dan juga UU nya perlu melihat dengan objektif sehingga rasa keadilan dan efek jera terhadap koruptor bisa mencapai sasarannya.
Ketiga, dalam kasus korupsi dalam bentuk penyuapan kepada aparat hukum mestinya denda dan hukumannnya lebih berat meskipun secara hukum positif yang tercantum dalam Undang-undang hukumannya sudah tercantum secara pasti. Sesuai Konvensi Palermo tahun 2000 (Palermo Convention, 2000) tindak pidana korupsi dan suap-menyuap terhadap aparat penegak hukum khususnya aparat peradilan termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena sifatnya yang kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan). Para aparat penegak hukum mestinya mengetahui hal ini.
(Nugroho SBM, Staf Pengajar di FE dan Program Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan atau MIESP Undip)
Kamis, 11 Agustus 2011
PEMERINTAH KURANG MANFAATKAN "BOOMING" EKONOMI ASIA
SEMARANG, KOMPAS.com - Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai pemerintah kurang memanfaatkan momentum booming ekonomi kawasan Asia sehingga Indonesia tidak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi selama dua tahun terakhir.
"Jika pemerintah bergerak lebih cepat dan fokus, Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen. China dan India bisa memanfaatkannya sehingga tumbuh di atas delapan persen pada 2010," katanya di Semarang, Kamis (14/7/2011).
Menurut staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip itu, pertumbuhan ekonomi enam persen seperti yang dibukukan Indonesia belakangan ini bukan merupakan prestasi besar, sebab kawasan Asia dalam beberapa tahun terakhir ini memang sedang booming dan Indonesia ikut menikmatinya. "Pemerintah tanpa bekerja keras pun, Indonesia tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi moderat, enam persen karena kawasan ini (Asia) memang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi," katanya.
Ia memperkirakan, kehilangan dua poin pertumbuhan ekonomi setahun setara dengan potensi tidak terserapnya sekitar 800.000 tenaga kerja, sebab asumsinya setiap pertumbuhan ekonomi satu persen bisa menyerap 250.000-400.000 tenaga kerja.
Ia menjelaskan, hingga kini Indonesia tetap saja menghadapi masalah klasik yang membelenggu, seperti infrastruktur yang terbatas, birokrasi yang belum efisien, masalah pungutan (korupsi), dan terbatasnya stimulus untuk investasi di daerah luar Jawa.
Faktor eksternalnya, menurut Nugroho, perbankan amat selektif membiayai proyek infrastruktur, yang biasanya bernilai besar, berjangka panjang, dan risikonya lebih besar. "Perbankan justru royal mengucurkan kredit konsumsi karena lebih aman dan menghasilkan imbalan (gain) tinggi," katanya. Menurut dia, stabilitas makroekonomi, relatifnya rendahnya inflasi, dan stabilitas politiklah yang mendorong banyak investor membenamkan modalnya ke Indonesia.
Pemerintah, katanya, seharusnya bisa bertindak lebih, misalnya, fokus membenahi infrastruktur, dengan memperluas akses jalan di berbagai daerah, peningkatan kapasitas pelabuhan, dan bandara. "Dari tahun ke tahun keluhannya sama, jalan rusak atau akses jalan masih terbatas. Kalau terus seperti ini, percuma saja ada stimulus atau keringan pajak bagi investor yang membuka usaha di luar Jawa," katanya.
Akan tetapi, katanya, pemerintah belum terlambat untuk memperbaikinya, sebab Indonesia memiliki tiga modal penting untuk tumbuh, yakni stabilitas makroekonomi, inflasi rendah, dan sumber daya alam.
Nugroho mengkhawatirkan skandal korupsi yang melibatkan elit politik -- termasuk politikus dari partai berkuasa -- menyebabkan roda pemerintahan bergerak lamban karena sebagian energinya tersita untuk mengurus masalah itu.
"Jika pemerintah bergerak lebih cepat dan fokus, Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen. China dan India bisa memanfaatkannya sehingga tumbuh di atas delapan persen pada 2010," katanya di Semarang, Kamis (14/7/2011).
Menurut staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip itu, pertumbuhan ekonomi enam persen seperti yang dibukukan Indonesia belakangan ini bukan merupakan prestasi besar, sebab kawasan Asia dalam beberapa tahun terakhir ini memang sedang booming dan Indonesia ikut menikmatinya. "Pemerintah tanpa bekerja keras pun, Indonesia tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi moderat, enam persen karena kawasan ini (Asia) memang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi," katanya.
Ia memperkirakan, kehilangan dua poin pertumbuhan ekonomi setahun setara dengan potensi tidak terserapnya sekitar 800.000 tenaga kerja, sebab asumsinya setiap pertumbuhan ekonomi satu persen bisa menyerap 250.000-400.000 tenaga kerja.
Ia menjelaskan, hingga kini Indonesia tetap saja menghadapi masalah klasik yang membelenggu, seperti infrastruktur yang terbatas, birokrasi yang belum efisien, masalah pungutan (korupsi), dan terbatasnya stimulus untuk investasi di daerah luar Jawa.
Faktor eksternalnya, menurut Nugroho, perbankan amat selektif membiayai proyek infrastruktur, yang biasanya bernilai besar, berjangka panjang, dan risikonya lebih besar. "Perbankan justru royal mengucurkan kredit konsumsi karena lebih aman dan menghasilkan imbalan (gain) tinggi," katanya. Menurut dia, stabilitas makroekonomi, relatifnya rendahnya inflasi, dan stabilitas politiklah yang mendorong banyak investor membenamkan modalnya ke Indonesia.
Pemerintah, katanya, seharusnya bisa bertindak lebih, misalnya, fokus membenahi infrastruktur, dengan memperluas akses jalan di berbagai daerah, peningkatan kapasitas pelabuhan, dan bandara. "Dari tahun ke tahun keluhannya sama, jalan rusak atau akses jalan masih terbatas. Kalau terus seperti ini, percuma saja ada stimulus atau keringan pajak bagi investor yang membuka usaha di luar Jawa," katanya.
Akan tetapi, katanya, pemerintah belum terlambat untuk memperbaikinya, sebab Indonesia memiliki tiga modal penting untuk tumbuh, yakni stabilitas makroekonomi, inflasi rendah, dan sumber daya alam.
Nugroho mengkhawatirkan skandal korupsi yang melibatkan elit politik -- termasuk politikus dari partai berkuasa -- menyebabkan roda pemerintahan bergerak lamban karena sebagian energinya tersita untuk mengurus masalah itu.
Rabu, 10 Agustus 2011
Perlindungan Nyata Buruh Migran
• Oleh Nugroho SBM
KISAH pilu buruh migran atau TKI/ TKW Indonesia di luar negeri, termasuk nasib tragis Ruyati binti Sapubi yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, bukanlah hal baru dan tidak ada jaminan hal itu tidak terulang pada masa mendatang jika kebijakan pemerintah terhadap buruh migran juga belum berubah. Selama ini kebijakan pemerintah kita terhadap buruh migran hanyalah mendorong sebanyak-banyaknya mereka untuk bekerja di luar negeri.
Lalu mereka dielu-elukan sebagai pahlawan devisa karena mendatangkan devisa yang cukup besar ke Indonesia. Remitansi atau upah yang dikirim para TKI ke Indonesia berupa devisa atau valuta asing setahunnya tak kurang dari 8,6 miliar AS atau sekitar Rp 100 triliun. Devisa sebesar itu turut menjaga keseimbangan neraca pembayaran internasional Indonesia dan juga perekonomian Indonesia dari dampak gejolak perekonomian global.
Namun upaya mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya TKI ke luar negeri juga membawa ekses. Relatif banyak TKW kita yang bekerja di berbagai negara menjalani hukum mati tanpa ada upaya serius pemerintah untuk mengupayakan pembelaan dan perlindungan hukum. Perhatian serius baru diberikan misalnya menjelang pilpres. Kita ingat kasus Siti Hajar, TKW yang dianiaya di Malaysia tahun 2009, pemerintah terlihat gigih membelanya, bahkan SBY menelepon pimpinan negari jiran itu.
Tapi pembelaan itupun ternoda oleh pernyataan Presiden SBY tatkala menanggapi kasus Siti Hajar. Dia mengatakan telah berjumpa dengan sedikitnya 50 TKI yang baru saja tiba dari Arab Saudi dan hanya 3 orang yang bermasalah (detik.com, 11/06/09). Kesalahan pernyataan itu adalah ketika ia menganggap 3 sebagai jumlah kecil. Semestinya sekecil apapun kalau itu menyangkut nyawa tetaplah harus dianggap sebagai sesuatu yang besar.
Sebelumnya kita juga ingat menjelang Pilpres 2004 muncul kasus penyiksaan TKW Nirmala Bonat di Malaysia. Perhatian pemerintah begitu serius menanggapi, termasuk para capres. Tetapi setelah itu, tak ada lagi yang peduli terhadap persidangan yang harus dihadapi oleh Nirmala Bonat selama 4 tahun. Pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun kepada Yim Pek Ha, majikan yang menyiksa TKW itu pada 2004 tapi dikurangi menjadi 12 tahun.
Kelemahan MoU
Jika ditelusur akar permasalahan sebenarnya dari berbagai kasus penyiksaan, hukuman mati, ataupun pelanggaran HAM lain yang dialami TKI maka hal tersebut terletak pada lemahnya perjanjian kerja sama (memorandum of understanding/ MoU) penempatan TKI antara pemerintah Indonesia dan pemerintah ”pengimpor” tenaga kerja kita. Dalam MoU tentang penempatan TKI sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia yang ditandatangani di Bali, 14 Mei 2009 tampak bahwa Indonesia tak berdaya menghadapi Malaysia. Dalam MoU disebutkan bahwa majikan dari TKI diberi keleluasaan menahan paspor.
Keleluasaan menahan paspor inilah yang memicu tingginya kasus penganiayaan terhadap TKI khususnya yang bekerja sebagai PRT di Malaysia. Mengapa penganiayaan terhadap Siti Hajar di Malaysia tahun 2009 bisa berlangsung selama 34 bulan itu adalah juga karena kewenangan majikan menahan paspor.
Wanita pembantu itu tidak bisa lari karena peraturan keimigrasian di negeri jiran tersebut ekstraketat. Jika ingin melindungi TKI dari berbagai kasus, khususnya penyiksaan maka MoU harus direvisi. Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar yang tidak semestinya bersikap inferior terhadap bangsa dan negara lain, termasuk Malaysia.
Masalah lain adalah tidak adanya pasal-pasal perlindungan atau proteksi terhadap TKI.
Studi yang dilakukan Migrant Care (2008) yang membandingkan pernjanjian bilateral penempatan TKI yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara dan yang dibuat Filipina dengan 14 negara mitranya menemukan fakta menarik. Dokumen perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara penerima TKI tak satupun memuat kata ”perlindungan”. Sementara yang dibuat oleh Filipina dengan 14 negara mitranya penuh dengan kata ”protection” mulai pasal perekrutan, penempatan, sampai tanggung jawab negara pengirim dan penerima. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
KISAH pilu buruh migran atau TKI/ TKW Indonesia di luar negeri, termasuk nasib tragis Ruyati binti Sapubi yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, bukanlah hal baru dan tidak ada jaminan hal itu tidak terulang pada masa mendatang jika kebijakan pemerintah terhadap buruh migran juga belum berubah. Selama ini kebijakan pemerintah kita terhadap buruh migran hanyalah mendorong sebanyak-banyaknya mereka untuk bekerja di luar negeri.
Lalu mereka dielu-elukan sebagai pahlawan devisa karena mendatangkan devisa yang cukup besar ke Indonesia. Remitansi atau upah yang dikirim para TKI ke Indonesia berupa devisa atau valuta asing setahunnya tak kurang dari 8,6 miliar AS atau sekitar Rp 100 triliun. Devisa sebesar itu turut menjaga keseimbangan neraca pembayaran internasional Indonesia dan juga perekonomian Indonesia dari dampak gejolak perekonomian global.
Namun upaya mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya TKI ke luar negeri juga membawa ekses. Relatif banyak TKW kita yang bekerja di berbagai negara menjalani hukum mati tanpa ada upaya serius pemerintah untuk mengupayakan pembelaan dan perlindungan hukum. Perhatian serius baru diberikan misalnya menjelang pilpres. Kita ingat kasus Siti Hajar, TKW yang dianiaya di Malaysia tahun 2009, pemerintah terlihat gigih membelanya, bahkan SBY menelepon pimpinan negari jiran itu.
Tapi pembelaan itupun ternoda oleh pernyataan Presiden SBY tatkala menanggapi kasus Siti Hajar. Dia mengatakan telah berjumpa dengan sedikitnya 50 TKI yang baru saja tiba dari Arab Saudi dan hanya 3 orang yang bermasalah (detik.com, 11/06/09). Kesalahan pernyataan itu adalah ketika ia menganggap 3 sebagai jumlah kecil. Semestinya sekecil apapun kalau itu menyangkut nyawa tetaplah harus dianggap sebagai sesuatu yang besar.
Sebelumnya kita juga ingat menjelang Pilpres 2004 muncul kasus penyiksaan TKW Nirmala Bonat di Malaysia. Perhatian pemerintah begitu serius menanggapi, termasuk para capres. Tetapi setelah itu, tak ada lagi yang peduli terhadap persidangan yang harus dihadapi oleh Nirmala Bonat selama 4 tahun. Pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun kepada Yim Pek Ha, majikan yang menyiksa TKW itu pada 2004 tapi dikurangi menjadi 12 tahun.
Kelemahan MoU
Jika ditelusur akar permasalahan sebenarnya dari berbagai kasus penyiksaan, hukuman mati, ataupun pelanggaran HAM lain yang dialami TKI maka hal tersebut terletak pada lemahnya perjanjian kerja sama (memorandum of understanding/ MoU) penempatan TKI antara pemerintah Indonesia dan pemerintah ”pengimpor” tenaga kerja kita. Dalam MoU tentang penempatan TKI sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia yang ditandatangani di Bali, 14 Mei 2009 tampak bahwa Indonesia tak berdaya menghadapi Malaysia. Dalam MoU disebutkan bahwa majikan dari TKI diberi keleluasaan menahan paspor.
Keleluasaan menahan paspor inilah yang memicu tingginya kasus penganiayaan terhadap TKI khususnya yang bekerja sebagai PRT di Malaysia. Mengapa penganiayaan terhadap Siti Hajar di Malaysia tahun 2009 bisa berlangsung selama 34 bulan itu adalah juga karena kewenangan majikan menahan paspor.
Wanita pembantu itu tidak bisa lari karena peraturan keimigrasian di negeri jiran tersebut ekstraketat. Jika ingin melindungi TKI dari berbagai kasus, khususnya penyiksaan maka MoU harus direvisi. Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar yang tidak semestinya bersikap inferior terhadap bangsa dan negara lain, termasuk Malaysia.
Masalah lain adalah tidak adanya pasal-pasal perlindungan atau proteksi terhadap TKI.
Studi yang dilakukan Migrant Care (2008) yang membandingkan pernjanjian bilateral penempatan TKI yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara dan yang dibuat Filipina dengan 14 negara mitranya menemukan fakta menarik. Dokumen perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara penerima TKI tak satupun memuat kata ”perlindungan”. Sementara yang dibuat oleh Filipina dengan 14 negara mitranya penuh dengan kata ”protection” mulai pasal perekrutan, penempatan, sampai tanggung jawab negara pengirim dan penerima. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
Cacat dan Debat RUU BPJS
• Oleh Nugroho SBM
SAMPAI saat ini masih terjadi perdebatan sengit antara pemerintah dan DPR, bahkan antarpejabat pemerintah, seputar RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BP¬JS).
Perdebatan itu me¬nyangkut bentuk dan peranan dari lembaga yang akan melaksanakan program-program jaminan sosial bagi masyarakat.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU itu antara pemerintah dan DPR ditambah belum diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mendorong Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) melayangkan gugatan Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan 8 menteri yang terkait di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian PN Jakarta Pusat memutuskan pihak tergugat bersalah karena dianggap lalai tidak menjalankan UU SJSN. Pengadilan ‘’menghukum’’ pihak tergugat untuk segera melaksanakan UU itu dan yang lebih penting segera mengesahkan RUU BPJS menjadi UU. Banyak pihak menyatakan bahwa berlarut-larutnya perdebatan tentang RUU itu tak lepas dari induknya, yaitu UU SJSN yang sudah ‘’cacat’’.
Jadi masalahnya lebih fundamental dari sekadar gugatan KAJS yang menyatakan bahwa pemerintah lalai karena tidak segera melaksanakan UU SJSN.
Bila perdebatan tentang RUU itu ingin segera beres, UU SJSN harus diubah atau ditinjau ulang terlebih dahulu. Se¬ba¬gaimana diketahui UU itu lahir sebagai pemenuhan tuntutan kewajiban negara yang tertuang dalam Pembukaan, Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 h Ayat 3, dan Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Ada beberapa cacat dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. Pertama; UU SJSN telah mengubah hak rakyat untuk menerima jaminan sosial, dari negara justru menjadi kewajiban.
Pasal 17 UU tersebut menggunakan kata wajib (wajib menjadi peserta, wajib membayar iuran, pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerja, dan lain-lain). Jumlah iuran pun ditentukan oleh pihak lain. Jadi ada unsur kewajiban di sini.
Kedua; UU SJSN menggeser kewajiban negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945 kepada pihak ketiga. Pihak ketiga yang bentuknya badan usaha akan membayar jaminan sosial dari hasil iuran rakyat atau anggota yang diwajibkan. Ini mirip dengan usaha asuransi. Jadi kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat telah digeser ke pihak ketiga (badan usaha) dalam bentuk usaha asuransi.
Ketiga; UU SJSN memberi peluang bagi kehadiran badan usaha atau perusahaan asing untuk mengelola jaminan sosial, yang berarti pemerintah juga melepaskan tanggung jawab sosial pada masyarakatnya kepada agen-agen neo¬liberalisme.
Uji Materi
Keempat; dengan UU SJSN juga kepentingan rakyat yang seharusnya dinomorsatukan malah dinomorduakan dan dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Tentu saja bisnis jaminan sosial ini akan menjanjikan keuntungan yang besar.
Kalau benar sistemnya dengan iuran dan seperti bisnis asuransi serta diwajibkan bagi pekerja dan golongan masyarakat tertentu maka dana yang akan dikelola tentu akan sangat besar.
Kalau toh tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari penyelenggaraan jaminan sosial, ke¬untungan bisa diperoleh dengan cara memutar dana hasil setoran wajib peserta ke bisnis yang lain seperti bisnis saham, valuta asing, disimpan di perbankan dan bisnis-bisnis yang lain.
Betapa menggiurkannya dana yang akan dikelola oleh badan usaha yang nantinya mengelola jaminan sosial nasional, juga terlihat dari kekhawatiran serikat pekerja dan manajemen dari 4 BUMN: PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri yang akan dilebur ke BPJS. Kekhawatiran itu menyangkut dana sekitar Rp 100 triliun dari iuran 90 juta pekerja untuk jaminan hari tua (JHT).
Sangat tepat bila sebelum membahas RUU BPJS, terlebih dahulu memperdebatkan materi UU SJSN yang mempunyai beberapa cacat.
Sangat tepat pula tindakan para aktivis yang menentang UU SJSN dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konsitusi (MK). Mahkamah mestinya dengan jernih dan bijaksana menimbang apakah roh dari UU SJSN sesuai atau tidak dengan UUD 1945.
Hakim konstitusi seyogianya me¬nyadari betapa roh kapitalisme dan neo¬liberalisme sekarang sudah merasuk ke sistem ekonomi Indonesia lewat jalur yang konstitusional yaitu lewat undang-undang. Bisa saja beberapa UU telah dibeli para agen neoliberalisme.
Hal ini yang tidak di¬sadari oleh para ekonom pemerintahan. Karena itu ekonom perlu belajar hukum, dan sekarang ini banyak kajian pendekatan ekonomi untuk masalah hukum untuk mendekatkan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
SAMPAI saat ini masih terjadi perdebatan sengit antara pemerintah dan DPR, bahkan antarpejabat pemerintah, seputar RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BP¬JS).
Perdebatan itu me¬nyangkut bentuk dan peranan dari lembaga yang akan melaksanakan program-program jaminan sosial bagi masyarakat.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU itu antara pemerintah dan DPR ditambah belum diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mendorong Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) melayangkan gugatan Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, dan 8 menteri yang terkait di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian PN Jakarta Pusat memutuskan pihak tergugat bersalah karena dianggap lalai tidak menjalankan UU SJSN. Pengadilan ‘’menghukum’’ pihak tergugat untuk segera melaksanakan UU itu dan yang lebih penting segera mengesahkan RUU BPJS menjadi UU. Banyak pihak menyatakan bahwa berlarut-larutnya perdebatan tentang RUU itu tak lepas dari induknya, yaitu UU SJSN yang sudah ‘’cacat’’.
Jadi masalahnya lebih fundamental dari sekadar gugatan KAJS yang menyatakan bahwa pemerintah lalai karena tidak segera melaksanakan UU SJSN.
Bila perdebatan tentang RUU itu ingin segera beres, UU SJSN harus diubah atau ditinjau ulang terlebih dahulu. Se¬ba¬gaimana diketahui UU itu lahir sebagai pemenuhan tuntutan kewajiban negara yang tertuang dalam Pembukaan, Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 h Ayat 3, dan Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Ada beberapa cacat dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. Pertama; UU SJSN telah mengubah hak rakyat untuk menerima jaminan sosial, dari negara justru menjadi kewajiban.
Pasal 17 UU tersebut menggunakan kata wajib (wajib menjadi peserta, wajib membayar iuran, pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerja, dan lain-lain). Jumlah iuran pun ditentukan oleh pihak lain. Jadi ada unsur kewajiban di sini.
Kedua; UU SJSN menggeser kewajiban negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945 kepada pihak ketiga. Pihak ketiga yang bentuknya badan usaha akan membayar jaminan sosial dari hasil iuran rakyat atau anggota yang diwajibkan. Ini mirip dengan usaha asuransi. Jadi kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat telah digeser ke pihak ketiga (badan usaha) dalam bentuk usaha asuransi.
Ketiga; UU SJSN memberi peluang bagi kehadiran badan usaha atau perusahaan asing untuk mengelola jaminan sosial, yang berarti pemerintah juga melepaskan tanggung jawab sosial pada masyarakatnya kepada agen-agen neo¬liberalisme.
Uji Materi
Keempat; dengan UU SJSN juga kepentingan rakyat yang seharusnya dinomorsatukan malah dinomorduakan dan dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Tentu saja bisnis jaminan sosial ini akan menjanjikan keuntungan yang besar.
Kalau benar sistemnya dengan iuran dan seperti bisnis asuransi serta diwajibkan bagi pekerja dan golongan masyarakat tertentu maka dana yang akan dikelola tentu akan sangat besar.
Kalau toh tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari penyelenggaraan jaminan sosial, ke¬untungan bisa diperoleh dengan cara memutar dana hasil setoran wajib peserta ke bisnis yang lain seperti bisnis saham, valuta asing, disimpan di perbankan dan bisnis-bisnis yang lain.
Betapa menggiurkannya dana yang akan dikelola oleh badan usaha yang nantinya mengelola jaminan sosial nasional, juga terlihat dari kekhawatiran serikat pekerja dan manajemen dari 4 BUMN: PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri yang akan dilebur ke BPJS. Kekhawatiran itu menyangkut dana sekitar Rp 100 triliun dari iuran 90 juta pekerja untuk jaminan hari tua (JHT).
Sangat tepat bila sebelum membahas RUU BPJS, terlebih dahulu memperdebatkan materi UU SJSN yang mempunyai beberapa cacat.
Sangat tepat pula tindakan para aktivis yang menentang UU SJSN dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konsitusi (MK). Mahkamah mestinya dengan jernih dan bijaksana menimbang apakah roh dari UU SJSN sesuai atau tidak dengan UUD 1945.
Hakim konstitusi seyogianya me¬nyadari betapa roh kapitalisme dan neo¬liberalisme sekarang sudah merasuk ke sistem ekonomi Indonesia lewat jalur yang konstitusional yaitu lewat undang-undang. Bisa saja beberapa UU telah dibeli para agen neoliberalisme.
Hal ini yang tidak di¬sadari oleh para ekonom pemerintahan. Karena itu ekonom perlu belajar hukum, dan sekarang ini banyak kajian pendekatan ekonomi untuk masalah hukum untuk mendekatkan antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi. (10)
— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang
Kamis, 16 Juni 2011
EKONOMI PANCASILA DAN DOMINASI ASING
Oleh Nugroho SBM
Setiap memperingati Hari lahir Pancasila 1 Juni, seperti yang telah kita peringati beberapa hari yang lalu, wacana tentang penerapan Pancasila pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia kembali muncul. Salah satu aspek di mana Pancasila harus diterapkan adalah ekonomi.
Ide tentang Ekonomi Pancasila yang pernah digulirkan Profesor Mubyarto dari UGM sekitar tahun 1980 an memang sekarang banyak dilupakan. Tetapi sebenarnya konsepnya sangat bagus yaitu bagaimana sila-sila dalam Pancasila diterapkan dalam kehidupan berekonomi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain dalam kegiatan ekonomi, diharapkan semua pihak menerapkan ekonomi yang berketuhanan, berperikemanusiaan, memperhatikan persatuan, demokratis dan berkeadilan. Dan bila hal tersebut dipraktekkan secara benar maka bangsa Indonesia sendirilah yang mengendalikan perekonomiannya dan hasilnyapun bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun, sekarang ini banyak pihak risau bahwa ekonomi Indonesia sekarang ini sangat jauh dari konsep ekonomi Pancasila karena pihak asing ditengarai telah menguasai atau mendominasi ekonomi Indonesia. Dalam hal penguasaan atau dominasi asing atas ekonomi Indonesia memang timbul 2 (dua) pendapat yang berbeda.
Dua Pendapat
Pendapat pertama menolak adanya pendapat yang menyatakan bahwa asing telah mendominasi ekonomi Indonesia. Tolok ukur yang digunakan adalah: pertama, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 27 persen dan terus menurun. Kedua, rasio ekspor terhadap PDB juga hanya 28 persen. Angka-angka itu berarti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing sangat rendah.
Pendapat kedua – yang akhir-akhir ini lebih nyaring terdengar – menyatakan bahwa memang asing telah mendominasi ekonomi Indonesia. Ada beberapa indikator yang dikemukakan. Pertama, dominasi asing terjadi di dunia perbankan. Hingga Maret 2011 asing telah menguasai 50,6 persen dari asset perbankan nasional artinya dari total asset perbankan nasional senilai Rp 3.065 triliun, Rp 1.551 triliun di antaranya sudah dimiliki asing. Di antara 121 bank umum, kepemilikan asing dalam bentuk saham sudah ada di 47 bank umum dengan porsi kepemilikan asing yang bervariasi.
Kedua, asing juga sudah menguasai dunia perasuransian nasional. Di antara 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang milik pribumi atau orang Indonesia. Perusahaan asuransi besar yang asset atau ekuitasnya di atas Rp 750 miliar, hampir semuanya merupakan perusahaan patungan dengan perusahaan asing. Dari sisi perolehan premi, 5 (lima) besarnya adalah perusahaan asing.
Ketiga, di pasar modal kepemilikan atau dominasi asing lebih terlihat. Dari semua saham yang dicatatkan dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, 60 sampai 70 persen sudah dimiliki oleh asing.
Keempat, dominasi asing terlihat pula di kepemilikan BUMN yang sudah diprivatisasi. Dari semua BUMN yang sudah diprivatisasi oleh pemerintah kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Di sektor minyak dan gas, dominasi asing tersebut lebih tampak lagi. Dari semua operator pertambangan minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia, 75 persen milik asing dan hanya 25 persen milik pribumi.
Kelima, indikator lain bahwa ekonomi Indonesia sudah didominasi asing adalah sangat pekanya indikator-indikator makro ekonomi Indonesia terhadap perubahan indikator-indikator ekonomi internasional. Salah satu contoh indikator ekonomi makro adalah suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Dalam berbagai momen jika Bank Sentral AS meningkatkan atau menurunkan suku bunga acuan di AS (Fed Rate) maka dengan seketika pula BI akan menyesuaikan BI Rate nya.
Mengapa Khawatir?
Timbul pertanyaan mengapa banyak pihak khwatir akan dominasi asing dalam ekonomi Indonesia? Ada minimal dua alasan. Pertama, keberadaan asing dalam ekonomi Indonesia ternyata tidak banyak meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perusahaan-perusahaan pertambangan migas milik asing yang ada di Indonesia hanya memberikan bagi hasil yang sangat kecil bagi pemerintah Indonesia. Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun sumbangannya minim. Tenaga kerja yang dipakai kebanyakan adalah tenaga kerja asing. Teknologi yang digunakan adalah teknologi padat modal yang sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Laba usaha yang didapatkan pun tidak dibelanjakan di Indonesia tetapi dikirim ke negara asal dari perusahaan asing tersebut Contoh nyata dari kasus keberadaan perusahaan-perusahaan asing di daerah yang tidak atau sedikit menyumbangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada keberadaan PT Freeport, Newmont, dan masih banyak lagi.
Kedua, dominasi asing bisa mempengaruhi arah kebijakan ekonomi kita. Kita masih ingat bagaimana IMF di tahun 1997 – untuk membantu Indonesia mengatasi Krisis Ekonomi - dengan Letter of Intent (LOI) nya bisa menyetir kebijakan ekonomi Indonesia bahkan mengalahkan GBHN yang sudah disusun secara susah payah oleh MPR. Fakta demikian bukan monopoli Indonesia. Kejatuhan presiden Chili Simon Allende juga menunjukkan bagaimana berkuasanya perusahaan asing menyetir arah kebijakan ekonomi suatu negara. Seperti diketahui Presiden Simon Allende adalah seorang yang beraliran sosialis. Arah kebijakan ekonomi yang ingin dijalankannya adalah melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Karena merasa terancam maka perusahaan asing yang memproduksi minuman ringan mensponsori kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap Simon Allende. Cerita di pasar modal dan pasar valuta asing pun sama. Selama ini investor asing di pasar modal karena modal mereka yang besar dan jumlahnya mayoritas, bisa dengan mudah mempermainkan harga-harga saham untuk memperoleh keuntungan. Demikian pula nilai tukar atau kurs bisa dipermainkan dengan mudah demi meraup keuntungan yang besar. Spekulasi tersebut dilakukan tanpa memikirkan dampak buruknya berupa goyahnya ekonomi Indonesia.
Maka memang sebelum terlanjur terlalu jauh, penguasaan atau dominasi asing terhadap ekonomi Indonesia perlu diwaspadai. Ada yang berpendapat bahwa dominasi asing itu tidak apa-apa asalkan pemerintah dan masyarakat Indonesia masih tetap bisa memegang kendali dan memanfaatkannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Di sinilah pentingnya mereaktualisasikan konsep ekonomi Pancasila. misalnya saja dikaitkan dengan sila keadilan sosial di mana mereka yang kaya yaitu perusahaan-perusahaan asing harus membantu atau mensubsidi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih miskin. Caranya bisa lewat pajak progresif, bagi hasil yang lebih adil bagi Indonesia, lebih mendayagunakan tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), dan lain-lain
Aktualisasi ekonomi yang berperikemanusiaan misalnya juga patut diterapkan untuk perusahaan asing yang berada di Indonesia, misalnya dengan keharusan membayar upah yang layak bagi pekerja Indonesia, menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan, dan lain-lain. Hal yang sama bisa juga dikaitkan dengan sila Ketuhanan yang Mahaesa, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Ini bukanlah sesuatu yang mustahil asal ada kemauan kuat pemerintah untuk melaksanakannya.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Setiap memperingati Hari lahir Pancasila 1 Juni, seperti yang telah kita peringati beberapa hari yang lalu, wacana tentang penerapan Pancasila pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia kembali muncul. Salah satu aspek di mana Pancasila harus diterapkan adalah ekonomi.
Ide tentang Ekonomi Pancasila yang pernah digulirkan Profesor Mubyarto dari UGM sekitar tahun 1980 an memang sekarang banyak dilupakan. Tetapi sebenarnya konsepnya sangat bagus yaitu bagaimana sila-sila dalam Pancasila diterapkan dalam kehidupan berekonomi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain dalam kegiatan ekonomi, diharapkan semua pihak menerapkan ekonomi yang berketuhanan, berperikemanusiaan, memperhatikan persatuan, demokratis dan berkeadilan. Dan bila hal tersebut dipraktekkan secara benar maka bangsa Indonesia sendirilah yang mengendalikan perekonomiannya dan hasilnyapun bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun, sekarang ini banyak pihak risau bahwa ekonomi Indonesia sekarang ini sangat jauh dari konsep ekonomi Pancasila karena pihak asing ditengarai telah menguasai atau mendominasi ekonomi Indonesia. Dalam hal penguasaan atau dominasi asing atas ekonomi Indonesia memang timbul 2 (dua) pendapat yang berbeda.
Dua Pendapat
Pendapat pertama menolak adanya pendapat yang menyatakan bahwa asing telah mendominasi ekonomi Indonesia. Tolok ukur yang digunakan adalah: pertama, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 27 persen dan terus menurun. Kedua, rasio ekspor terhadap PDB juga hanya 28 persen. Angka-angka itu berarti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing sangat rendah.
Pendapat kedua – yang akhir-akhir ini lebih nyaring terdengar – menyatakan bahwa memang asing telah mendominasi ekonomi Indonesia. Ada beberapa indikator yang dikemukakan. Pertama, dominasi asing terjadi di dunia perbankan. Hingga Maret 2011 asing telah menguasai 50,6 persen dari asset perbankan nasional artinya dari total asset perbankan nasional senilai Rp 3.065 triliun, Rp 1.551 triliun di antaranya sudah dimiliki asing. Di antara 121 bank umum, kepemilikan asing dalam bentuk saham sudah ada di 47 bank umum dengan porsi kepemilikan asing yang bervariasi.
Kedua, asing juga sudah menguasai dunia perasuransian nasional. Di antara 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang milik pribumi atau orang Indonesia. Perusahaan asuransi besar yang asset atau ekuitasnya di atas Rp 750 miliar, hampir semuanya merupakan perusahaan patungan dengan perusahaan asing. Dari sisi perolehan premi, 5 (lima) besarnya adalah perusahaan asing.
Ketiga, di pasar modal kepemilikan atau dominasi asing lebih terlihat. Dari semua saham yang dicatatkan dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, 60 sampai 70 persen sudah dimiliki oleh asing.
Keempat, dominasi asing terlihat pula di kepemilikan BUMN yang sudah diprivatisasi. Dari semua BUMN yang sudah diprivatisasi oleh pemerintah kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Di sektor minyak dan gas, dominasi asing tersebut lebih tampak lagi. Dari semua operator pertambangan minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia, 75 persen milik asing dan hanya 25 persen milik pribumi.
Kelima, indikator lain bahwa ekonomi Indonesia sudah didominasi asing adalah sangat pekanya indikator-indikator makro ekonomi Indonesia terhadap perubahan indikator-indikator ekonomi internasional. Salah satu contoh indikator ekonomi makro adalah suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate). Dalam berbagai momen jika Bank Sentral AS meningkatkan atau menurunkan suku bunga acuan di AS (Fed Rate) maka dengan seketika pula BI akan menyesuaikan BI Rate nya.
Mengapa Khawatir?
Timbul pertanyaan mengapa banyak pihak khwatir akan dominasi asing dalam ekonomi Indonesia? Ada minimal dua alasan. Pertama, keberadaan asing dalam ekonomi Indonesia ternyata tidak banyak meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perusahaan-perusahaan pertambangan migas milik asing yang ada di Indonesia hanya memberikan bagi hasil yang sangat kecil bagi pemerintah Indonesia. Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun sumbangannya minim. Tenaga kerja yang dipakai kebanyakan adalah tenaga kerja asing. Teknologi yang digunakan adalah teknologi padat modal yang sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Laba usaha yang didapatkan pun tidak dibelanjakan di Indonesia tetapi dikirim ke negara asal dari perusahaan asing tersebut Contoh nyata dari kasus keberadaan perusahaan-perusahaan asing di daerah yang tidak atau sedikit menyumbangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada keberadaan PT Freeport, Newmont, dan masih banyak lagi.
Kedua, dominasi asing bisa mempengaruhi arah kebijakan ekonomi kita. Kita masih ingat bagaimana IMF di tahun 1997 – untuk membantu Indonesia mengatasi Krisis Ekonomi - dengan Letter of Intent (LOI) nya bisa menyetir kebijakan ekonomi Indonesia bahkan mengalahkan GBHN yang sudah disusun secara susah payah oleh MPR. Fakta demikian bukan monopoli Indonesia. Kejatuhan presiden Chili Simon Allende juga menunjukkan bagaimana berkuasanya perusahaan asing menyetir arah kebijakan ekonomi suatu negara. Seperti diketahui Presiden Simon Allende adalah seorang yang beraliran sosialis. Arah kebijakan ekonomi yang ingin dijalankannya adalah melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Karena merasa terancam maka perusahaan asing yang memproduksi minuman ringan mensponsori kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap Simon Allende. Cerita di pasar modal dan pasar valuta asing pun sama. Selama ini investor asing di pasar modal karena modal mereka yang besar dan jumlahnya mayoritas, bisa dengan mudah mempermainkan harga-harga saham untuk memperoleh keuntungan. Demikian pula nilai tukar atau kurs bisa dipermainkan dengan mudah demi meraup keuntungan yang besar. Spekulasi tersebut dilakukan tanpa memikirkan dampak buruknya berupa goyahnya ekonomi Indonesia.
Maka memang sebelum terlanjur terlalu jauh, penguasaan atau dominasi asing terhadap ekonomi Indonesia perlu diwaspadai. Ada yang berpendapat bahwa dominasi asing itu tidak apa-apa asalkan pemerintah dan masyarakat Indonesia masih tetap bisa memegang kendali dan memanfaatkannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Di sinilah pentingnya mereaktualisasikan konsep ekonomi Pancasila. misalnya saja dikaitkan dengan sila keadilan sosial di mana mereka yang kaya yaitu perusahaan-perusahaan asing harus membantu atau mensubsidi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih miskin. Caranya bisa lewat pajak progresif, bagi hasil yang lebih adil bagi Indonesia, lebih mendayagunakan tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), dan lain-lain
Aktualisasi ekonomi yang berperikemanusiaan misalnya juga patut diterapkan untuk perusahaan asing yang berada di Indonesia, misalnya dengan keharusan membayar upah yang layak bagi pekerja Indonesia, menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan, dan lain-lain. Hal yang sama bisa juga dikaitkan dengan sila Ketuhanan yang Mahaesa, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Ini bukanlah sesuatu yang mustahil asal ada kemauan kuat pemerintah untuk melaksanakannya.
(Nugroho SBM, SE, MSP, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
PENGELOLAAN UTANG UNTUK PROYEK
Oleh Nugroho SBM
ADAN Anggaran DPRD Kota Semarang akhirnya menyetujui usulan utang pemkot Rp 77,1 miliar pada tahun anggaran 2011 (SM, 21/05/11) Utang itu kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jateng karena bunganya paling rendah di antara semua bank yang sudah dijajaki, yaitu 11% dengan jangka pelunasan dua tahun. Pelunasan pertama dilakukan 2012 sebesar Rp 61,5 miliar dan kedua tahun 2013 sebesar Rp 26,5 miliar.
Pinjaman itu akan digunakan membiayai 32 proyek dari berbagai dinas dan lembaga pemerintah. Belum ada penjelasan detail, khususnya berbagai ketentuan yang menyangkut pinjaman daerah. Padahal ada beberapa UU dan peraturan yang mengatur tentang pinjaman daerah, dan yang secara khusus mengatur adalah PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
Misalnya, pertama; prinsip mengenai pinjaman daerah. Beberapa prinsip itu yakni merupakan alternatif pembiayaan daerah dalam melaksanakan desentralisasi, digunakan membiayai kegiatan yang merupakan wewenang daerah, daerah tidak dapat meminjam langsung kepada luar negeri, jumlahnya tidak melebihi batas defisit APBD, dan batas kumulatif pinjaman daerah sesuai perundang-undangan.
Kedua; syarat-syarat pinjaman daerah. Beberapa syarat tersebut adalah jumlah sisa pinjaman daerah ditambah pinjaman baru yang akan ditarik tidak melebihi 75% penerimaan APBD tahun sebelumnya, rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman daerah atau debt service coverage ratio (DSCR) yaitu rasio penerimaan daerah bersih (PAD + dana bagi hasil + DAU - belanja wajib untuk pegawai) dibagi pembayaran cicilan dan bunga serta biaya lain-lain) minimal harus 2,5, tidak mempunyai tunggakan pinjaman, serta untuk pinjaman jangka menengah dan panjang harus sepersetujuan DPRD.
Ketiga; sumber pinjaman daerah. Ada beberapa sumber yang diperbolehkan yaitu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan nonbank, dan masyarakat. Keempat; jenis pinjaman berdasarkan jangka waktu. Berdasarkan jangka waktunya pinjaman dapat dibedakan dalam tiga jenis jangka pendek (kurang dari 1 tahun), jangka menengah (lebih dari 1 tahun tetapi tidak melebihi masa jabatan kepala daerah), dan jangka panjang (lebih dari 1 tahun sampai melebihi masa jabatan kepala daerah pada masa itu).
Rasio Penerimaan
Kelima; penggunaan pinjaman. Pinjaman jangka pendek hanya boleh digunakan untuk menutup kekurangan arus kas. Pinjaman jangka menengah digunakan membiayai pelayanan umum tetapi yang tidak menghasilkan penerimaan. Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Keenam; mengenai larangan-larangannya. Daerah dilarang melakukan penjaminan terhadap pinjaman pihak lain dan dilarang menjadikan pendapatan daerah atau barang milik daerah sebagai jaminan.
Atas dasar beberapa ketentuan tentang pinjaman daerah, kita bisa mengkritik pinjaman daerah yang dilakukan oleh pemkot. Pertama; mengenai kemampuan Pemkot Semarang mengembalikan pinjaman. Hal itu tercermin dari rasio penerimaan dalam APBD dibagi cicilan dan bunga pinjaman daerah atau yang disebut sebagai DSCR.
Berdasarkan ketentuan DSCR ini minimal harus 2,5 artinya penerimaan bersih Pemkot (= PAD + bagi hasil pajak + DAU - belanja wajib untuk pegawai) pada tahun anggaran tersebut minimal 2,5 kali dari cicilan dan bunga pinjaman daerah serta biaya lain-lain (biaya komitmen dan administrasi pinjaman).
Perlu dicermati apakah ketentuan ini sudah dipenuhi? Jangan sampai seperti kasus pinjaman luar negeri PDAM yang ternyata tidak hanya memberatkan PDAM di beberapa daerah tetapi juga pemda, bahkan akhirnya membebani pemerintah pusat karena pemda ternyata keberatan membayarnya.
Hal kedua yang perlu dicermati adalah penggunaannya. Jika melihat jangka waktunya maka sesuai dengan PP Nomor 54 Tahun 2005, penggunaannya untuk pelayanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan. Wakil rakyat perlu mencermati apakah 32 proyek yang akan didanai dengan pinjaman tersebut merupakan proyek yang menghasilkan penerimaan daerah atau tidak.
Hal ketiga yang perlu dicermati adalah kemungkinan adanya kebocoran dalam pelaksanaan proyek-proyek yang didanai dari pinjaman daerah tersebut. Pasalnya pembayaran pinjaman itu merupakan beban rakyat karena berasal antara lain dari pajak dan retribusi sehingga sangat menyakitkan kalau beban rakyat itu dikorupsi oleh oknum tak bertanggung jawab. (10)
— Nugroho SBM SE MSP, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
ADAN Anggaran DPRD Kota Semarang akhirnya menyetujui usulan utang pemkot Rp 77,1 miliar pada tahun anggaran 2011 (SM, 21/05/11) Utang itu kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jateng karena bunganya paling rendah di antara semua bank yang sudah dijajaki, yaitu 11% dengan jangka pelunasan dua tahun. Pelunasan pertama dilakukan 2012 sebesar Rp 61,5 miliar dan kedua tahun 2013 sebesar Rp 26,5 miliar.
Pinjaman itu akan digunakan membiayai 32 proyek dari berbagai dinas dan lembaga pemerintah. Belum ada penjelasan detail, khususnya berbagai ketentuan yang menyangkut pinjaman daerah. Padahal ada beberapa UU dan peraturan yang mengatur tentang pinjaman daerah, dan yang secara khusus mengatur adalah PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
Misalnya, pertama; prinsip mengenai pinjaman daerah. Beberapa prinsip itu yakni merupakan alternatif pembiayaan daerah dalam melaksanakan desentralisasi, digunakan membiayai kegiatan yang merupakan wewenang daerah, daerah tidak dapat meminjam langsung kepada luar negeri, jumlahnya tidak melebihi batas defisit APBD, dan batas kumulatif pinjaman daerah sesuai perundang-undangan.
Kedua; syarat-syarat pinjaman daerah. Beberapa syarat tersebut adalah jumlah sisa pinjaman daerah ditambah pinjaman baru yang akan ditarik tidak melebihi 75% penerimaan APBD tahun sebelumnya, rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman daerah atau debt service coverage ratio (DSCR) yaitu rasio penerimaan daerah bersih (PAD + dana bagi hasil + DAU - belanja wajib untuk pegawai) dibagi pembayaran cicilan dan bunga serta biaya lain-lain) minimal harus 2,5, tidak mempunyai tunggakan pinjaman, serta untuk pinjaman jangka menengah dan panjang harus sepersetujuan DPRD.
Ketiga; sumber pinjaman daerah. Ada beberapa sumber yang diperbolehkan yaitu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan nonbank, dan masyarakat. Keempat; jenis pinjaman berdasarkan jangka waktu. Berdasarkan jangka waktunya pinjaman dapat dibedakan dalam tiga jenis jangka pendek (kurang dari 1 tahun), jangka menengah (lebih dari 1 tahun tetapi tidak melebihi masa jabatan kepala daerah), dan jangka panjang (lebih dari 1 tahun sampai melebihi masa jabatan kepala daerah pada masa itu).
Rasio Penerimaan
Kelima; penggunaan pinjaman. Pinjaman jangka pendek hanya boleh digunakan untuk menutup kekurangan arus kas. Pinjaman jangka menengah digunakan membiayai pelayanan umum tetapi yang tidak menghasilkan penerimaan. Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Keenam; mengenai larangan-larangannya. Daerah dilarang melakukan penjaminan terhadap pinjaman pihak lain dan dilarang menjadikan pendapatan daerah atau barang milik daerah sebagai jaminan.
Atas dasar beberapa ketentuan tentang pinjaman daerah, kita bisa mengkritik pinjaman daerah yang dilakukan oleh pemkot. Pertama; mengenai kemampuan Pemkot Semarang mengembalikan pinjaman. Hal itu tercermin dari rasio penerimaan dalam APBD dibagi cicilan dan bunga pinjaman daerah atau yang disebut sebagai DSCR.
Berdasarkan ketentuan DSCR ini minimal harus 2,5 artinya penerimaan bersih Pemkot (= PAD + bagi hasil pajak + DAU - belanja wajib untuk pegawai) pada tahun anggaran tersebut minimal 2,5 kali dari cicilan dan bunga pinjaman daerah serta biaya lain-lain (biaya komitmen dan administrasi pinjaman).
Perlu dicermati apakah ketentuan ini sudah dipenuhi? Jangan sampai seperti kasus pinjaman luar negeri PDAM yang ternyata tidak hanya memberatkan PDAM di beberapa daerah tetapi juga pemda, bahkan akhirnya membebani pemerintah pusat karena pemda ternyata keberatan membayarnya.
Hal kedua yang perlu dicermati adalah penggunaannya. Jika melihat jangka waktunya maka sesuai dengan PP Nomor 54 Tahun 2005, penggunaannya untuk pelayanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan. Wakil rakyat perlu mencermati apakah 32 proyek yang akan didanai dengan pinjaman tersebut merupakan proyek yang menghasilkan penerimaan daerah atau tidak.
Hal ketiga yang perlu dicermati adalah kemungkinan adanya kebocoran dalam pelaksanaan proyek-proyek yang didanai dari pinjaman daerah tersebut. Pasalnya pembayaran pinjaman itu merupakan beban rakyat karena berasal antara lain dari pajak dan retribusi sehingga sangat menyakitkan kalau beban rakyat itu dikorupsi oleh oknum tak bertanggung jawab. (10)
— Nugroho SBM SE MSP, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Jumat, 06 Mei 2011
ASEAN Berprospek Bentuk Mata Uang Tunggal
Semarang - ASEAN di masa mendatang memiliki prospek membentuk mata uang tunggal seperti euro yang dilakukan Uni Eropa, mengingat akumulasi perdagangan anggota organisasi ini mencapai ratusan miliar dolar AS setiap tahunnya.
Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM, di Semarang, Jumat (6/5), mengatakan ASEAN secara geopolitik dan ekonomi tetap merupakan kekuatan penting di Asia, bahkan dunia. Karena itu pembentukan mata uang tunggal akan memperkuat mata uang ini dari tekanan dolar AS, misalnya.Nugroho menyatakan hal itu sehubungan akan dilaksanakannya Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT ASEAN di Jakarta pada 7-8 Mei 2011 yang dihadiri 10 kepala negara dan kepala pemerintahan ASEAN.
Dengan pemberlakuan mata uang tunggal ASEAN, menurut dia, pengaruh kuat dolar AS terhadap mata uang kawasan bisa disterilkan atau dikurangi sehingga bisa memperkuat posisi moneter negara-negara ASEAN.Nugroho menjelaskan Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina bisa menjadi lokomotif untuk mendorong pembentukan mata uang tunggal, karena anggota lama ASEAN ini memiliki volume perdagangan yang dominan di antara negara ASEAN.
Menurut dia, memang tidak mudah untuk membentuk mata uang tunggal ASEAN, sebab gagasan besar ini bakal mendapatkan kendala dari negara yang mata uangnya sudah relatif kuat dan tidak ingin data moneternya diketahui oleh negara lain.
"Pembentukan mata uang tunggal membutuhkan adanya transparansi antarbank sentral, padahal tidak semua bank sentral masing-masing negara anggota bersedia membuka informasi. Inilah salah satu kendala beratnya," katanya.Nugroho memperkirakan peran China dan India di sektor perekonomian dunia dan kawasan Asia semakin penting, yang ditandai dengan membesarnya volume perdagangan kedua negara itu dengan negara-negara ASEAN.Menurut catatan, nilai perdagangan ASEAN dengan India pada 2010 sekitar 50 miliar dolar AS, sedangkan China sejak diberlakukan perdagangan bebas China-ASEAN mematok target nilai perdagangannya dengan ASEAN mencapai US$500 miliar pada 2015. (Antara/Sugi,VOINEWS.06.05'11)
Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM, di Semarang, Jumat (6/5), mengatakan ASEAN secara geopolitik dan ekonomi tetap merupakan kekuatan penting di Asia, bahkan dunia. Karena itu pembentukan mata uang tunggal akan memperkuat mata uang ini dari tekanan dolar AS, misalnya.Nugroho menyatakan hal itu sehubungan akan dilaksanakannya Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT ASEAN di Jakarta pada 7-8 Mei 2011 yang dihadiri 10 kepala negara dan kepala pemerintahan ASEAN.
Dengan pemberlakuan mata uang tunggal ASEAN, menurut dia, pengaruh kuat dolar AS terhadap mata uang kawasan bisa disterilkan atau dikurangi sehingga bisa memperkuat posisi moneter negara-negara ASEAN.Nugroho menjelaskan Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina bisa menjadi lokomotif untuk mendorong pembentukan mata uang tunggal, karena anggota lama ASEAN ini memiliki volume perdagangan yang dominan di antara negara ASEAN.
Menurut dia, memang tidak mudah untuk membentuk mata uang tunggal ASEAN, sebab gagasan besar ini bakal mendapatkan kendala dari negara yang mata uangnya sudah relatif kuat dan tidak ingin data moneternya diketahui oleh negara lain.
"Pembentukan mata uang tunggal membutuhkan adanya transparansi antarbank sentral, padahal tidak semua bank sentral masing-masing negara anggota bersedia membuka informasi. Inilah salah satu kendala beratnya," katanya.Nugroho memperkirakan peran China dan India di sektor perekonomian dunia dan kawasan Asia semakin penting, yang ditandai dengan membesarnya volume perdagangan kedua negara itu dengan negara-negara ASEAN.Menurut catatan, nilai perdagangan ASEAN dengan India pada 2010 sekitar 50 miliar dolar AS, sedangkan China sejak diberlakukan perdagangan bebas China-ASEAN mematok target nilai perdagangannya dengan ASEAN mencapai US$500 miliar pada 2015. (Antara/Sugi,VOINEWS.06.05'11)
Minggu, 01 Mei 2011
MENCEGAH KEJAHATAN PERBANKAN
Oleh Nugroho SBM
Akhir-akhir ini kita disuguhi oleh berita maraknya kejahatan perbankan di Indonesia, khususnya kasus pembobolan Citibank Oleh MD. Kita juga sempat dikejutkan oleh pembobolan rekening seorang nasabah Bank Mandiri KCP RS Karyadi juga oleh orang dalam (karyawati bank).
Melihat sejarah, pembobolan bank tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Beberapa peristiwa pembobolan bank yang pernah terjadi beberapa negara bisa disebutkan. Pertama, pembobolan Bank of America tahun 2008 oleh direkturnya sendiri yaitu Kenneth D Lewis. Kedua, pembobolan Citibank di India tahun 2010 oleh relationship managernya Shivraj Puri. Ketiga, pembobolan European Bank For Reconstruction and Development yang dibobol oleh mafia Rusia di tahun 2011 ini.
Dalam kasus pembobolan Citibank oleh MD, kejahatan pembobolan bank dilakukan dengan modus yang sempurna. Pemindahbukuan rekening nasabah premium (yang simpanannya di atas Rp 500 juta) dilakukan oleh MD karena nasabah premium tersebut memberikan kepercayaan penuh kepada MD untuk mengelola rekeningnya dengan menandatangani blanko kosong. Tampaknya blanko kosong tersebut merupakan konfirmasi positif – dalam istilah audit bank – yang seharusnya menjadi kewajiban bank kepada nasabahnya untuk penarikan dana dalam jumlah besar. Di sisi yang lain, modus tersebut didukung oleh ketidakpedulian nasabah premium untuk secara rutin mengecek rekeningnya karena kesibukannya. Kalau toh dicek barangkali nasabah tersebut tidak “aware” terhadap rekeningnya karena yang diambil adalah sebagian “kecil” dananya. Bayangkan jika anda punya uang Rp 1 milyar, diambil Rp 10 juta saja tidak akan terasa.
Hampir sama modusnya, pembobolan Bank Mandiri KCP RS Karyadi dilakukan dengan memalsukan tandatangan nasabah untuk penarikan dana dan karyawati pemalsu tandatangan itu kemudian bekerjasama dengan karyawan yang bertugas memverifikasi keaslian tandatangan nasabah.
Bank Indonesia sebagai lembaga yang saat ini masih diberi tanggungjawab mengawasi bank tentunya harus serius mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kejahatan perbankan khususnya pembobolan bank. Sebab bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Sebagian dananya berasal dari dana pihak ketiga (deposan). Peraturan Bank Indonesia (PBI) mensyaratkan modal sendiri bank – yang dikenal dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) – hanya 8 persen. Artinya bank hanya diharuskan memiliki modal sendiri 8 persen dari total modal yang disetor. Dengan demikian jika kepercayaan masyarakat (deposan) hilang akan terjadi penarikan dana besar-besaran dari bank. Kalau hal itu terjadi, perekonomian secara keseluruhan juga akan terganggu.
Langkah-langkah Yang Harus Diambil
Ada beberapa langkah kebijakan yang perlu diambil oleh BI untuk mencegah terjadinya kejahatan bank khususnya pembobolan bank. Pertama, BI hendaknya menetapkan standar teknologi pengamanan yang seragam untuk semua perbankan. Saat ini teknologi pengamanan dana nasabah untuk setiap bank masih berbeda-beda. Misalnya untuk pengambilan uang di ATM. Ada bank yang mesin ATM nya jika kartu ATM nasabah belum dicabut bisa disalahgunakan oleh orang berikutnya yang menggunakan ATM tersebut. Tetapi ada mesin ATM jika suatu transaksi sudah selesai harus masuk ke menu awal lagi dengan memasukkan nomer PIN sehingga meskipun kartu ATM belum dicabut orang berikutnya tidak mungkin bisa mengambil aung atau menyalahgunakannya.
Untuk keperluan penciptaan teknologi pengamanan bank yang seragam itu BI bisa menyewa konsultan teknologi informasi yang setiap saat harus makin canggih. Untuk biayanya BI bisa meminta iuran dari pihak perbankan. Pihak perbankan sendiri bisa menyisihkan, misalnya, 5 persen dari keuntugannya untuk mendukung program pengembangan teknologi pengamanan yang diprakarsai BI tersebut.
Kedua, BI harus melakukan audit secara teratur setahun sekali terhadap bank-bank umum khususnya di cabang-cabang. Selama ini BI kesulitan melakukan hal tersebut karena keterbatasan auditor internal BI. Untuk mengatasi hal tersebut, BI bisa menggunakan auditor independen dari kantor akuntan publik. Hal itu tidak menyalahi aturan karena diperbolehkan sesuai dengan Pasal 31A UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU Nomer 10 tahun 1998 dan sesuai pula dengan Pasal 30 ayat 1 Undang-undang Nomor23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan audit rutin tersebut diharapkan kejahatan bank bisa dideteksi dan dicegah.
Ketiga, pihak bank juga harus melakukan audit intern secara rutin setahun sekali. Audit itu dilakukan oleh lembaga yang bisa saja disebut sebagai Satuan Pemeriksa Intern (SPI). Hasil pemeriksaan disampaikan kepada dewan komisaris bank dan BI. Hasil audit tersebut bisa dijadikan bahan verifikasi oleh BI untuk audit BI.
Keempat, calon karyawan bank harus menjalani tes psikologi untuk memastikan watak yang baik dari si calon karyawan. Artinya dalam tes psikologi itu harus dipastikan bahwa karyawan itu tidak akan berbuat jahat meskipun ada peluang di depan matanya.
Kelima, untuk karyawan lama harus diterapkanwajib tes psikologi unbtuk mengetahui konsistensi sikapnya. Sebab ada kemungkinan karyawan yang dulunya baik (lolos tes psikologi pada saat penerimaan) bisa berubah karena berbagai faktor misalnya lingkungan kerja, pergaulan, dan lain-lain. Contoh dari karyawan yang berubah adalah Melinda D yang membobol Citibank setelah dia bekerja di bank itu selama 17 tahun.
Keenam, BI, pemerintah, dan DPR harus merevisi UU Perbankan dengan menekankan pada antisipasi kejahatan bank. Undang-undang tersebut harus mengakomodasi atau merujuk pada berbagai UU yang sudah ada misalnya UU Nomor 31 tahun 1999 yang sudah diperbaharui dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang penyucian uang. Bentuk-bentuk kejahatan bank yang mungkin terjadi juga harus diantisipasi beserta sangsi hukumannya. Kejahatan perbankan tersebut bisa kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam, orang luar, orang luar yang dibantu orang dalam, serta yang dilakukan oleh organisasi kejahatan yang canggih seperti mafia. Sampai detik ini, nampaknya usulan terhadap revisi UU Perbankan ini belum terdengar. Yang selama ini dinyatakan oleh BI adalah BI hanya akan merevisi dan memperketat Peraturan BI tentang Private Banking yaitu pelayanan terhadap nasabah-nasabah kelas kakap (yaitu nasabah yang simpanannya Rp 500 juta ke atas).
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Akhir-akhir ini kita disuguhi oleh berita maraknya kejahatan perbankan di Indonesia, khususnya kasus pembobolan Citibank Oleh MD. Kita juga sempat dikejutkan oleh pembobolan rekening seorang nasabah Bank Mandiri KCP RS Karyadi juga oleh orang dalam (karyawati bank).
Melihat sejarah, pembobolan bank tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Beberapa peristiwa pembobolan bank yang pernah terjadi beberapa negara bisa disebutkan. Pertama, pembobolan Bank of America tahun 2008 oleh direkturnya sendiri yaitu Kenneth D Lewis. Kedua, pembobolan Citibank di India tahun 2010 oleh relationship managernya Shivraj Puri. Ketiga, pembobolan European Bank For Reconstruction and Development yang dibobol oleh mafia Rusia di tahun 2011 ini.
Dalam kasus pembobolan Citibank oleh MD, kejahatan pembobolan bank dilakukan dengan modus yang sempurna. Pemindahbukuan rekening nasabah premium (yang simpanannya di atas Rp 500 juta) dilakukan oleh MD karena nasabah premium tersebut memberikan kepercayaan penuh kepada MD untuk mengelola rekeningnya dengan menandatangani blanko kosong. Tampaknya blanko kosong tersebut merupakan konfirmasi positif – dalam istilah audit bank – yang seharusnya menjadi kewajiban bank kepada nasabahnya untuk penarikan dana dalam jumlah besar. Di sisi yang lain, modus tersebut didukung oleh ketidakpedulian nasabah premium untuk secara rutin mengecek rekeningnya karena kesibukannya. Kalau toh dicek barangkali nasabah tersebut tidak “aware” terhadap rekeningnya karena yang diambil adalah sebagian “kecil” dananya. Bayangkan jika anda punya uang Rp 1 milyar, diambil Rp 10 juta saja tidak akan terasa.
Hampir sama modusnya, pembobolan Bank Mandiri KCP RS Karyadi dilakukan dengan memalsukan tandatangan nasabah untuk penarikan dana dan karyawati pemalsu tandatangan itu kemudian bekerjasama dengan karyawan yang bertugas memverifikasi keaslian tandatangan nasabah.
Bank Indonesia sebagai lembaga yang saat ini masih diberi tanggungjawab mengawasi bank tentunya harus serius mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kejahatan perbankan khususnya pembobolan bank. Sebab bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Sebagian dananya berasal dari dana pihak ketiga (deposan). Peraturan Bank Indonesia (PBI) mensyaratkan modal sendiri bank – yang dikenal dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) – hanya 8 persen. Artinya bank hanya diharuskan memiliki modal sendiri 8 persen dari total modal yang disetor. Dengan demikian jika kepercayaan masyarakat (deposan) hilang akan terjadi penarikan dana besar-besaran dari bank. Kalau hal itu terjadi, perekonomian secara keseluruhan juga akan terganggu.
Langkah-langkah Yang Harus Diambil
Ada beberapa langkah kebijakan yang perlu diambil oleh BI untuk mencegah terjadinya kejahatan bank khususnya pembobolan bank. Pertama, BI hendaknya menetapkan standar teknologi pengamanan yang seragam untuk semua perbankan. Saat ini teknologi pengamanan dana nasabah untuk setiap bank masih berbeda-beda. Misalnya untuk pengambilan uang di ATM. Ada bank yang mesin ATM nya jika kartu ATM nasabah belum dicabut bisa disalahgunakan oleh orang berikutnya yang menggunakan ATM tersebut. Tetapi ada mesin ATM jika suatu transaksi sudah selesai harus masuk ke menu awal lagi dengan memasukkan nomer PIN sehingga meskipun kartu ATM belum dicabut orang berikutnya tidak mungkin bisa mengambil aung atau menyalahgunakannya.
Untuk keperluan penciptaan teknologi pengamanan bank yang seragam itu BI bisa menyewa konsultan teknologi informasi yang setiap saat harus makin canggih. Untuk biayanya BI bisa meminta iuran dari pihak perbankan. Pihak perbankan sendiri bisa menyisihkan, misalnya, 5 persen dari keuntugannya untuk mendukung program pengembangan teknologi pengamanan yang diprakarsai BI tersebut.
Kedua, BI harus melakukan audit secara teratur setahun sekali terhadap bank-bank umum khususnya di cabang-cabang. Selama ini BI kesulitan melakukan hal tersebut karena keterbatasan auditor internal BI. Untuk mengatasi hal tersebut, BI bisa menggunakan auditor independen dari kantor akuntan publik. Hal itu tidak menyalahi aturan karena diperbolehkan sesuai dengan Pasal 31A UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU Nomer 10 tahun 1998 dan sesuai pula dengan Pasal 30 ayat 1 Undang-undang Nomor23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan audit rutin tersebut diharapkan kejahatan bank bisa dideteksi dan dicegah.
Ketiga, pihak bank juga harus melakukan audit intern secara rutin setahun sekali. Audit itu dilakukan oleh lembaga yang bisa saja disebut sebagai Satuan Pemeriksa Intern (SPI). Hasil pemeriksaan disampaikan kepada dewan komisaris bank dan BI. Hasil audit tersebut bisa dijadikan bahan verifikasi oleh BI untuk audit BI.
Keempat, calon karyawan bank harus menjalani tes psikologi untuk memastikan watak yang baik dari si calon karyawan. Artinya dalam tes psikologi itu harus dipastikan bahwa karyawan itu tidak akan berbuat jahat meskipun ada peluang di depan matanya.
Kelima, untuk karyawan lama harus diterapkanwajib tes psikologi unbtuk mengetahui konsistensi sikapnya. Sebab ada kemungkinan karyawan yang dulunya baik (lolos tes psikologi pada saat penerimaan) bisa berubah karena berbagai faktor misalnya lingkungan kerja, pergaulan, dan lain-lain. Contoh dari karyawan yang berubah adalah Melinda D yang membobol Citibank setelah dia bekerja di bank itu selama 17 tahun.
Keenam, BI, pemerintah, dan DPR harus merevisi UU Perbankan dengan menekankan pada antisipasi kejahatan bank. Undang-undang tersebut harus mengakomodasi atau merujuk pada berbagai UU yang sudah ada misalnya UU Nomor 31 tahun 1999 yang sudah diperbaharui dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang penyucian uang. Bentuk-bentuk kejahatan bank yang mungkin terjadi juga harus diantisipasi beserta sangsi hukumannya. Kejahatan perbankan tersebut bisa kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam, orang luar, orang luar yang dibantu orang dalam, serta yang dilakukan oleh organisasi kejahatan yang canggih seperti mafia. Sampai detik ini, nampaknya usulan terhadap revisi UU Perbankan ini belum terdengar. Yang selama ini dinyatakan oleh BI adalah BI hanya akan merevisi dan memperketat Peraturan BI tentang Private Banking yaitu pelayanan terhadap nasabah-nasabah kelas kakap (yaitu nasabah yang simpanannya Rp 500 juta ke atas).
(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE Undip Semarang)
Langganan:
Postingan (Atom)